Fadli Zon: Kalau Nasionalis, Harusnya Pemerintah Selamatkan Krakatau Steel

DPRD Pandeglang Adhyaksa

Oleh: Dr. Fadli Zon, M.Sc. (Wakil Ketua DPR RI, Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra)

 

Hari Senin kemarin, 15 Juli 2019, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menandatangani Perintah Eksekutif (Executive Order) yang meminta agensi-agensi pemerintahan federal untuk membeli produk-produk dengan komponen lokal lebih tinggi. Perintah tersebut makin memperkuat standar preferensi barang-barang lokal Amerika yang harus dibeli oleh pemerintah. Jika sebelumnya standar komponen lokal hanya 50 persen untuk produk non-baja dan non-besi, syarat itu kini dinaikkan menjadi 75 persen. Sedangkan untuk produk baja dan besi, syarat kandungan lokal bahkan dinaikkan menjadi 95 persen.

Perintah Eksekutif adalah kewenangan hukum yang dimiliki Presiden AS sebagai kepala pemerintahan kepada agensi pemerintahan federal di bawahnya. Sama seperti halnya produk legislasi, perintah tersebut juga memiliki kekuatan hukum. Bedanya, Perintah Eksekutif disusun tanpa perlu meminta persetujuan Kongres. Para Presiden AS biasanya menggunakan Perintah Eksekutif sebagai instrumen untuk memenuhi janji-janji politiknya. Instrumen ini dianggap tak bertele-tele karena tidak harus melalui persetujuan parlemen.

Kebijakan terbaru Presiden Trump ini terus terang membuat saya iri. Saat negara liberal seperti Amerika berusaha melindungi industri logam dasarnya sedemikian rupa, pemerintah kita belum juga merilis kebijakan untuk melindungi PT Krakatau Steel dan industri logam nasional dari serbuan produk-produk impor. Alih-alih menyelamatkan industri baja nasional dan PT Krakatau Steel, kebijakan pemerintah kita justru sering menjadi penyebab terpuruknya bidang ini.

Selama 6 tahun terakhir kita tahu PT Krakatau Steel terus menerus merugi. Selain karena faktor internal perusahaan, kerugian ini juga disebabkan oleh peraturan pemerintah yang memungkinkan terjadinya impor baja besar-besaran ke Indonesia. Misalnya, bagaimana bisa produk baja nasional kompetitif, jika Pemerintah malah membebaskan bea masuk baja-baja impor? Ini menjelaskan kenapa saat Pemerintah katanya sedang jorjoran membangun infrastruktur, industri logam nasional kita malah terpuruk dan bahkan sedang menuju kebangkrutannya!

Serbuan baja impor yang terjadi beberapa tahun terakhir merupakan implikasi terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 22/2018 tentang Ketentuan Impor Besi atau Baja, Baja Paduan dan Produk Turunan. Aturan ini, sesudah saya baca kembali, memang ngawur.

Ada tiga poin dari peraturan tersebut yang merugikan industri baja nasional dan rawan penyelewengan. *Pertama*, peraturan itu telah menghapus syarat pertimbangan teknis yang diterbitkan Kementerian Perindustrian dalam hal impor besi dan baja. Penghapusan pertimbangan dari kementerian teknis ini tidaklah benar. Industri baja nasional di negara manapun selalu diposisikan sebagai industri strategis, sehingga Kementerian Perdagangan tak boleh bermain sendiri dan memperlakukan sektor ini tak ubahnya bisnis kacang goreng yang seolah-olah ringan konsekuensinya.

Loading...

*Kedua*, secara gegabah peraturan tersebut telah memperlonggar pemeriksaan barang masuk, dari sebelumnya barang harus diperiksa dulu sebelum masuk, menjadi masuk dulu baru diperiksa. Itupun yang melakukan pemeriksaan juga bukan bea cukai, tapi Kementerian Perdagangan sendiri. Jadi, potensi penyelewengannya besar sekali.

Dan *ketiga*, pemeriksaan hanya dilakukan secara random. Karena barang baru diperiksa sesudah masuk, dan pemeriksaannya dilakukan random. Bisa mudah terjadi praktik kecurangan. Yang terjadi di lapangan catatan spesifikasi produk impor bisa diganti untuk menghindari bea masuk. Akibatnya, hancurlah pasar PT Krakatau Steel. Praktik ini kemungkinan sudah lama terjadi.

Memang, sejak akhir Desember 2018 lalu Pemerintah akhirnya mencabut Permendag No. 22/2018 dan menggantinya dengan Permendag No. 110/2018. Tapi, kerusakannya sudah terlanjur parah. Kini baja impor dari Cina telah mendominasi pasar dalam negeri. Harganya memang lebih murah, tapi kualitasnya juga rendah, kalah oleh produk lokal kita sendiri. Sayangnya, karakter pasar kita memang sangat sensitif terhadap harga dan kurang sensitif pada kualitas.

Sebagai catatan, saat ini sekitar 55 persen persen kebutuhan konsumsi baja nasional yang mencapai 14 juta ton pada 2018 dipenuhi produk impor. Pangsa baja impor ini terus mengalami kenaikan, karena pada 2017 pangsanya masih 52 persen. Dengan volume impor baja yang terus meningkat, Indonesia kini menduduki peringkat pertama dari 6 negara ASEAN sebagai pengimpor baja tertinggi. Di bawah Indonesia ada Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam yang rata-rata volume impornya minus.

Kerugian dan ancaman kebangkrutan yang kini dialami PT Krakatau Steel seharusnya dijadikan alarm oleh Pemerintah. Negara kita tak mungkin menjadi negara maju jika industri logam dasar nasional kita gulung tikar. Kita mestinya bisa mengambil pelajaran dari negara-negara lain, seperti
Amerika Serikat, Uni Eropa, atau Turki, yang memproteksi pasar baja domestiknya dari serbuan produk impor.

Pembangunan infrastruktur mestinya memberikan insentif bagi industri baja, atau industri semen nasional. Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Artinya orientasi pembangunan kita selama ini telah salah arah.

Kalau pemerintahan ini nasionalis dan bukan komprador asing, mereka seharusnya segera menyelamatkan PT Krakatau Steel dan industri baja nasional. Pemerintah seharusnya mendorong konsumsi baja dan semen nasional dalam semua proyek infrastruktur yang sedang dibangun. Ini harus dilakukan demi menyelamatkan industri strategis kita. (***)

WP-Backgrounds Lite by InoPlugs Web Design and Juwelier Schönmann 1010 Wien