Tambang Ilegal di Lebak Untungkan Segelintir Orang, Bencana bagi Banyak Orang
LEBAK – Aktivitas tambang diduga ilegal di Kabupaten Lebak terus menjadi momok bagi lingkungan dan masyarakat setempat.
Meski telah berulang kali ditertibkan, pertambangan liar tetap tumbuh subur di Kabupaten Lebak.
Tidak hanya mengancam ekosistem, tambang ilegal juga membawa dampak sosial dan ekonomi yang merugikan banyak pihak.
Dampak paling nyata dari maraknya tambang ilegal adalah kerusakan lingkungan yang semakin parah.
Hutan-hutan yang dulunya hijau kini berubah menjadi tanah tandus penuh galian. Aliran sungai yang menjadi sumber air bersih bagi warga perlahan berubah menjadi keruh akibat limbah tambang yang mengandung zat berbahaya.
Menurut warga setempat, kondisi air sungai yang dulu jernih kini tidak lagi bisa digunakan untuk keperluan sehari-hari.
“Dulu kami bisa mandi, mencuci, dan mengambil air untuk minum dari sungai. Sekarang airnya keruh dan bau. Banyak warga yang mulai terkena penyakit kulit karena air yang tercemar,” ujar Tarman, seorang warga Kabupaten Lebak.
Lebih mengkhawatirkan lagi, kondisi tanah yang terkikis akibat aktivitas tambang ilegal meningkatkan risiko longsor dan banjir.
Warga pun mulai resah, tetapi mereka tidak punya banyak pilihan karena tambang ilegal terus beroperasi tanpa kontrol yang jelas.
Meskipun merugikan lingkungan, tambang ilegal juga menjadi mata pencaharian utama bagi sebagian masyarakat.
Lapangan pekerjaan yang terbatas membuat banyak warga, termasuk mereka yang sebelumnya bekerja di sektor pertanian, beralih menjadi penambang ilegal.
Seorang penambang, yang enggan disebutkan namanya, mengaku bahwa bekerja di tambang liar adalah satu-satunya cara untuk menghidupi keluarganya.
“Saya tahu ini berbahaya, tapi mau bagaimana lagi? Cari kerja susah, sementara kebutuhan terus bertambah. Kalau tambang ini ditutup, kami mau makan apa?” ujarnya.
Namun, keuntungan terbesar dari tambang ilegal ini tidak dinikmati oleh para penambang kecil.
Justru para pemodal besar yang menguasai jaringan distribusi emas dan mineral lainnya yang meraup untung besar.
Para pekerja hanya mendapatkan upah yang relatif kecil dibandingkan dengan risiko yang mereka hadapi setiap hari.
Pemerintah daerah bersama aparat kepolisian telah beberapa kali melakukan razia dan menutup lokasi tambang ilegal. Namun, praktik ini selalu kembali dalam waktu singkat.
Para penambang dan pemodal seolah sudah memiliki strategi untuk menghindari penertiban.
Menurut aktivis lingkungan, Fajar Maulana, lemahnya pengawasan dan dugaan adanya keterlibatan oknum tertentu membuat tambang ilegal sulit diberantas.
“Setiap kali ada operasi penertiban, tambang memang berhenti sementara, tapi hanya dalam hitungan hari mereka kembali beroperasi,” terangnya.
Beberapa pihak mendesak pemerintah untuk tidak hanya melakukan razia, tetapi juga memberikan solusi jangka panjang seperti menciptakan lapangan kerja alternatif.
Jika tidak, masyarakat yang kehilangan penghasilan dari tambang ilegal akan kembali mencari cara untuk mempertahankan usahanya, meskipun harus melanggar hukum.
Tahun 2025 seharusnya menjadi momentum bagi pemerintah untuk mengambil langkah tegas dalam memberantas tambang ilegal.
Tanpa solusi konkret, permasalahan ini hanya akan menjadi lingkaran setan yang terus berulang-lingkungan semakin rusak, masyarakat tetap terjebak dalam ekonomi tambang ilegal, dan hukum hanya menjadi formalitas belaka.
Kini, pertanyaannya adalah, apakah pemerintah benar-benar serius dalam menyelesaikan persoalan tambang ilegal di Lebak, ataukah praktik ini akan terus dibiarkan berlanjut demi kepentingan segelintir orang? Hanya waktu yang bisa menjawab. (*/Sahrul).