*) Oleh: Randi Muhariman
Hari ini saya akan bercerita tentang satu kelompok atau satu generasi di Indonesia (atau mungkin juga di negeri lainnya) yang menapakkan kakinya di atas dua tanah yang berbeda. Mereka memiliki satu keadaan yang khas, dan mereka harus mempertahankan keadaan itu untuk dapat mempertahankan dirinya dalam entitas yang memberikan atribut bagi setiap diri mereka.
Mereka dilahirkan dari keluarga dan masyarakat yang mayoritas beragama Islam. Mereka besar dalam ritual Islam, namun mengecap pengalaman atau memori sosial yang didasari atas nilai-nilai Barat. Sekolah telah membuat mereka tak terikat dalam ikatan keilmuan Islam sehingga berada pada wilayah pinggiran dari budaya dan peradaban Islam. Sekolah telah membuat mereka terikat pada tatanan kehidupan kapitalisme yang didasari atas kebudayaan Barat. Namun hal itu tidak membuat mereka berada di pusat peradabannya.
Kelompok generasi ini seolah memiliki dua hal secara sekaligus dalam dirinya. Islam dan modernitas dengan kadar masing-masing yang berada di wilayah pinggiran. Mereka tidak dapat sepenuhnya dalam dunia kapitalisme dan mereka juga tidak dapat sepenuhnya berada dalam Islam. Itulah atribut yang melekat dari kelompok generasi ini dan mereka seperti sebuah perahu yang terombang-ambing di tengah badai di samudra.
Kelompok generasi ini tak dapat sepenuhnya memasuki dunia kapitalisme karena nilai-nilai dasarnya telah bertentangan dengan ritualitas yang telah menjadi kebiasaan. Ritus-ritus dalam Islam mewajibkan mereka untuk tetap tidak sekedar percaya, tetapi yakin bahwa akhirat itu ada. Namun, mereka juga tahu, bahwa untuk bertahan di dunia mereka harus menerima kapitalisme yang telah menjadi niscaya dalam kehidupan mereka.
Meskipun ritus-ritus itu memberikan salah satu atribut kepada mereka, namun Islam tidak mampu dicapai seutuhnya. Jiwa dan alam pikir Islam pada dasarnya adalah sesuatu yang asing dalam kehidupan. Mereka tidak paham bagaimana mereka terhubung dengan Rasulullah saw karena mereka telah terputus dengan ulama pewarisnya. Islam menjadi visi kehidupan yang sangat terbatas dan tidak menjadi penggerak kehidupan sosial. Mereka tahu bahwa Al Quran itu adalah mukjizat, namun tidak mampu mengenalinya secara wajar dan layak.
Rumus kelompok generasi ini adalah sebagai berikut.
((Modernitas+islamisme) : atribut sosial ) × informasi
Yakni isi dirinya adalah modernitas dan islamisme yang kedua-duanya menjadi bernilai sedikit karena harus dibagi oleh atribut sosial yang terbangun dalam diri mereka. Atribut sosial ini adalah hasil daripada model peradaban dunia yang mempertahankan imperialisme dalam berbagai sisi kehidupan termasuk terkait produksi ilmu pengetahuan. Nilai mereka akan menjadi besar ketika dikalikan dengan informasi tertentu yang membangun arah atribut sosial mereka. Apabila nilainya sama-sama positif atau negatif, maka akan semakin membesar. Namun apabila positif negatifnya tidak sama, hal itu akan membuat hasilnya menjadi negatif.
Sekian dahulu renungan saya hari ini. Kelompok generasi ini boleh diberi nama dengan generasi “ngajegang” (bahasa Sunda yang berarti membuka kaki kanan dan kiri sehingga menjadi berjauhan satu sama lainnya atau mengangkang dalam bahasa Indonesia). Disebut ngajegang karena ia tidak mampu berjalan dalam keadaan itu. Dan ia harus mempertahankan keadaan itu untuk sekedar tetap bertahan. Bila ia hendak berjalan apalagi berlari, maka ia harus menarik salah satu kakinya ke sisi satu kaki lainnya dan hal itu berarti meninggalkan pijakan kaki di daratan yang lainnya. Bisa jadi, untuk menarik salah satu kakinya, ia perlu dibantu atau berpegang kepada sesuatu yang sesuai dengan beban tubuhnya.
*) Ketua Umum Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia (PB PII) Periode 2012-2015, Penulis Buku ‘Siyasah Kebangsaan’.
Sumber: Kanigoro.com