LBH Rakyat Banten: Nelayan Pulau Pari Dikriminalisasi oleh Koorporasi Perampok Pulau
CILEGON – Masyarakat Pulau Pari sampai saat ini masih resah dengan adanya rencana pembangunan hotel oleh PT Bumi Pari Asri. Perusahaan pemilik izin ini memang telah mengantongi surat kepemilikan tanah Pulau Pari sekitar 90 persen. Dari sekitar 43 hektar luas Pulau Pari, 40 hektar dikuasai PT Bumi Pari Asri. Namun kepemilikan tanah itu sejatinya bertentangan dengan aturan gubernur.
Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 1592 Tahun 1991, menjelaskan jika wilayah Pulau Pari dibagi menjadi tiga peruntukkan. Pertama, 50 persen dari luas pulau digunakan untuk pariwisata. Sedangkan seluas 40 persen pulau harus dipergunakan untuk pemukiman warga. Sisanya sebanyak 10 persen digunakan oleh Lembaga Lembaga Oseanologi Nasional, yang saat ini berubah menjadi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Alasan inilah kemudian membuat beberapa warga memutuskan bertahan dari konflik dengan PT Bumi Pari Asri. Padahal, tempat tinggal dan usaha warga saat ini berada di tanah milik PT Bumi Pari.
Akibat konflik kepentingan inilah, pihak perusahaan melakukan kriminalisasi kepada nelayan di Pulau Pari Kepulauan Seribu ini.
Edi (65) seorang nelayan kecil di Pulau Pari dilaporkan ke kepolisian oleh PT Bumi Pari dengan tuduhan melakukan penyerobotan lahan dan bangunan milik perusahaan.
Padahal, Edi tidak melakukan penyerobotan atau pelanggaran lain terhadap lahan atau bangunan pihak perusahaan tersebut.
“Kenyataannya di lapangan itu Bapak Edi melakukan renovasi terhadap rumah gubuknya menjadi rumah permanen. Hal ini dianggap pihak perusahaan sebagai pelanggaran. Padahal Bapak Edi sudah menempati lahan tersebut sejak tahun 1999,” ujar Yayan, Aktivis LBH Rakyat Banten, Senin 23 Januari 2017.
Sebagaimana dakwaan yang dilayangkan, Edi diketahui dikenakan Pasal 167 KUHP atas laporan pihak perusahaan kepada Kepolisian.
“Laporan hukum ini menjadi hambatan buat Pak Edi sebagai nelayan untuk melakukan aktivitas sehari-harinya. Nelayan kecil ini diintimidasi dan ditakut-takuti dengan persoalan hukum,” tegas Yayan.
Setelah dilakukan penelusuran, LBH Rakyat Banten menemukan kasus yang hampir serupa. Bahwa beberapa penduduk di Pulau Pari juga mendapatkan tekanan yang sama ketika hendak melakukan renovasi rumahnya. Pihak perusahaan mengklaim bahwa wilayah Pulau Pari merupakan milik perusahaan dan setiap renovasi atau penambahan luas rumah harus sesuai ijin pihak PT Bumi Pari.
“Bahkan penduduk Pulau Pari lainnya sudah dilayangkan somasi, penyegelan, intimidasi melalui satpam perusahaan. Padahal sampai hari ini tidak pernah ada bangunan kantor perusahaan di wilayah Pulau Pari,” jelas Yayan.
Upaya kriminalisasi ini tetap berlanjut melalui upaya-upaya intimidasi lainnya. Nelayan lain Sulaiman (36) yang juga menjadi Ketua RW Pulau Pari bahkan sudah menerima 6 kali somasi karena membela penduduk setempat yang merenovasi rumahnya sendiri.
“Pihak perusahaan terus melakukan upaya intimidasi material dengan membangun pagar di berbagai tempat dan mengintai rumah-rumah warga yang dianggap akan melakukan renovasi rumah,” ujar Karsidi, Aktivis LBH Rakyat Banten lainnya.
Ditegaskan Karsidi, LBH Rakyat Banten bersama dengan Bapak Edi dan masyarakat Pulau Pari lainnya akan mengajukan Kasasi atas tuduhan pihak PT Bumi Pari yang mengklaim sebagai pemiliki Pulau Pari.
“Warga sempat meminta kepemilikan sah atas kepemilikan Pulau Pari, namun pihak perusahaan tidak pernah melakukan keterbukaan informasi. Bahkan memakai aparatur negara seperti Lurah hingga Bupati agar mendukung agenda-agenda perusahaan untuk menegaskan keberadaan perusahaan di Pulau Pari yang baru dilakukan setahun belakangan (sejak 2015),” tegas Karsidi.
“Melalui kriminalisasi yang dialami oleh Bapak Edi, dapat dilacak bagaimana prilaku koorporasi yang hendak menguasai pulau-pulau di Indonesia. Gagalnya negara mendukung posisi hukum nelayan kecil seperti Bapak Edi menunjukan bagaimana kondisi kemaritiman di Indonesia ke depan. Nelayan tidak lagi menjadi pemain inti atas roda ekonomoi di negeri kepulauan ini. Keberpihakan hukum terhadap Bapak Edi akan menunjukan sejauh mana arti nelayan bagi Negara Indonesia dengan cita-cita kemaritiman ini,” pungkas Karsidi. (*)