Marsinah, Buruh Perempuan yang Dibunuh karena Perjuangkan Kenaikan Upah

 

FAKTA – Di balik riuhnya pabrik arloji di Porong, Sidoarjo, sosok Marsinah muncul sebagai suara yang tak gentar memperjuangkan hak buruh. Perempuan kelahiran Nganjuk ini dikenal vokal, cerdas, dan memiliki empati besar terhadap rekan-rekan sesama buruh. Namun keberaniannya membuatnya menjadi target.

Marsinah memperjuangkan kenaikan upah buruh sesuai dengan Surat Edaran Gubernur Jawa Timur tahun 1992. Bersama rekan-rekannya di PT Catur Putra Surya (CPS), ia memimpin aksi mogok kerja.

“Tidak usah kerja. Biar Pak Yudi saja yang bekerja,” serunya lantang saat aksi, menurut kesaksian yang terdokumentasi.

Namun keberanian itu dibayar mahal. Pada 5 Mei 1993, Marsinah menghilang usai mendatangi Kodim Sidoarjo untuk mempertanyakan 13 temannya yang ditahan.

Tiga hari kemudian, jasadnya ditemukan di hutan Wilangan, Nganjuk, dengan luka-luka yang menunjukkan tanda penyiksaan berat.

Marsinah bukan sekadar buruh. Sejak kecil, ia dikenal sebagai siswa cerdas, rajin membaca, dan aktif berdiskusi.

Meski hidup dalam keterbatasan, ia bercita-cita kuliah hukum demi membela kaum lemah. Tak bisa kuliah, ia tetap belajar—mengikuti kursus komputer dan bahasa Inggris di sela-sela kerja.

Di PT CPS, ia aktif di Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) dan menjadi garda depan perjuangan hak-hak buruh. Saat aksi mogok digelar pada 4 Mei 1993, Marsinah ikut dalam tim perunding yang menyampaikan 12 tuntutan buruh, termasuk soal upah, cuti haid, hingga penghapusan intimidasi dan PHK semena-mena.

Kasus kematian Marsinah sempat disebut “kriminal biasa” oleh aparat. Namun tekanan dari LSM dan komunitas internasional memaksa dibentuknya tim khusus.

Sembilan petinggi dan staf PT CPS ditangkap—namun kemudian dibebaskan Mahkamah Agung karena bukti tak cukup, dan karena dugaan pengakuan diperoleh lewat penyiksaan.

Hingga kini, tak ada satu pun pelaku pembunuhan Marsinah yang dihukum. Komnas HAM pun belum menuntaskan pengusutan ulang kasus ini. Padahal, menurut dr. Mun’im Idris dari RSCM, Marsinah kemungkinan besar tewas karena luka tembak, bukan sekadar penganiayaan.

Marsinah mungkin telah tiada. Namun semangatnya abadi. Ia adalah simbol keberanian perempuan melawan ketidakadilan.

Kisahnya menjadi pengingat pahit bahwa membela hak bisa berarti kehilangan nyawa—namun juga bahwa suara satu orang bisa menginspirasi gerakan panjang untuk keadilan. (*/Net)

WP-Backgrounds Lite by InoPlugs Web Design and Juwelier Schönmann 1010 Wien