Menelusuri Penyebab Jatuhnya Pesawat Lion Air
TANGERANG – Teka-teki mengapa pesawat Lion Air register PK-LQP jatuh pada Senin (29/10) masih misterius. Kendati kotak hitam telah ditemukan, masih membutuhkan waktu untuk mengungkap penyebab pesawat jatuh.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan, hasil investigasi dari Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) terhadap kecelakaan pesawat Lion Air JT610 paling cepat terbit enam bulan kemudian.
“Saya tanya KNKT berapa lama proses itu berlangsung. Memang cukup lama, paling tidak enam bulan karena ada beberapa proses yang dilakukan,” kata Budi seusai pembukaan Lokakarya Wartawan di Jakarta, Jumat (1/11).
Sebelumnya, pesawat JT610 dilaporkan juga mengalami persoalan dalam penerbangan Denpasar-Jakarta pada Ahad (28/10) malam. Namun, persoalan itu diklaim telah berhasil diatasi.
Sementara itu, program ABC 7.30 menunjukkan simulasi persoalan yang dihadapi saat penerbangan Denpasar-Jakarta. Managing Director Lion Group, Daniel Putut Kuncoro Adi, menunjukkan langsung simulasi itu.
Dalam simulator itu, dijelaskan instrumen mana yang mengalami kerusakan atau malfungsi. Seperti tercantum dalam Aircraft Flight and Maintenance Log, kerusakan tersebut merupakan instrumen pengukur kecepatan dan ketinggian.
Dalam simulasi yang dilakukan Lion Air, mereka memakai kondisi pesawat yang rusak dua alat vitalnya tersebut untuk melihat apakah bisa selamat. Kerusakan yang disimulasikan itu merupakan kerusakan instrumen yang terjadi saat pesawat mengudara dalam penerbangan dari Denpasar ke Jakarta. Penerbangan itu adalah penerbangan terakhir sebelum peswat tersebut hilang kontak dan jatuh menghempas ke laut dengan kecapatan tinggi.
Kendala teknis itu berupa masalah di dua vital pesawat, yakni instrumen penunjuk kecepatan pesawat dan instrumen pengukur ketinggiannya. Catatan masalah tersebut tertulis dalam log maintenance-nya “IAS & ALT Disagre Shown After Take Off”.
Sebelumnya seorang sumber Republika.co.id di Lion Air mengatakan, permasalahan itu sudah dilaporkan. Log maintenance tersebut merupakan alat komunikasi antara piot dan teknisi. “Itu media komunikasi antara teknisi dan pilot, teknisi memberi tahu pilot soal masalah teknisnya, lalu akan ada tindakan, log itu dicatat di Jakarta setelah penerbangan dari Denpasar,” ujarnya saat berbincang dengan Republika.co.id di kantor Lion Air.
Baca juga, Nelayan Raksan Dentuman Keras Pesawat Lion Air Jatuh.
Sumber Republika.co.id yang merupakan engineer pesawat komersial dan pernah menangani pesawat Boeing 737 menyebutkan, bahwa “IAS & ALT Disagre Shown After Take Off” adalah pemberitahuan dari teknisi bahwa ada dua instrumen yang bermasalah di pesawat tersebut setelah lepas landas dari bandara Ngurah Rai, Denpasar, Bali.
IAS menurutnya adalah Indicated Air Speed. Sedangkan ALT adalah Altitude. Dua instrumen ini berdasar dari catatan log maintenance tersebut dicatat “Disagree Shown” artinya perbedaan penunjukan kecepatan dan ketinggian. Dua instrumen itu tidak akurat selama penerbangan dari Denpasar ke Jakarta.
Pesawat register PK-LQP itu terbang dengan indikator kecepatan yang berbeda, artinya kecepatan pesawat sebenarnya tidak terekam di dalam sistem pesawat. Begitupun instrumen ketinggian pesawat yang memiliki perbedaan antara instrumen pengukurnya dengan ukuran ketinggian pesawat sebenarnya.
Sementara itu, Daniel menjelaskan pada wartawan ABC, Tim Lion Air memasukkan data yang sama ke dalam simulator kokpit berteknologi tinggi. Simulator ini berupaya mereka ulang kondisi yang diduga menjadi salah satu penyebab jatuhnya pesawat yang menewaskan 189 orang tersebut.
“Kami tidak tahu persis apa yang terjadi, tetapi kami akan mencoba latihan ini (simulasi dengan dua instrumen yang rusak),” ujar instruktur Kapten Felix Kurniadi dalam tayangan ABC 7.30 yang berdurasi sekitar tujuh menit itu.
Sebagaimana yang tertulis di dalam Aircraft Flight and Maintenance Log itu bahwa alat pengukur kecepatan dan alat pengukur ketinggian tersebut mengalami kerusakan. Maka dalam tayangan ini lebih jelas di mana letak kerusakan tersebut.
Dalam simulasi itu, hanya beberapa menit setelah take-off, raungan alarm dalam cokpit pesawat langsung berbunyi. Alarm itu menunjukkan instrumen pengukur ketinggian dan intrumen pengukur kecepatan yang ada di tempat pilot berbeda dengan yang ada di tempat co-pilot.
“Anda dapat melihat pada titik ini, kedua indikator kecepatan udara berbeda,” jelas Felix sembari menunjuk instrumen yang dimaksud. “Nomor satu adalah 274 (knot), sedangkan indikator kedua adalah 302 knot. Jadi malfungsi sudah terjadi dan kru kami sedang mencoba memecahkan masalah ini.” terang Felix.
Perbedaan itu membuat masalah lain ikut timbul, sebagaimana dijelaskan sebelumnya dan menurut belasan laporan KNKT (Komisi Nasional Kecelakaan Transportasi) bahwa satu instrumen atau bahakan satu alat kecil saja yang bermasalah akan merembet ke alat lainnya di pesawat dan ini bisa memicu masalah serius saat pesawat mengudara.
Masih dari keterangan Felix, masalah itu membuat kecepatan dan ketinggian pesawat tidak bisa diukur. Jika pembacaan kecepatan udara tidak akurat, autopilot ataupun pilot sekalipun tak akan mengetahui dan tak punya cara untuk memastikan hidung pesawat diarahkan ke sudut mana, agar tetap berada di udara. Kuat dugaan, komunikasi dengan menara ATC yang menanyakan soal kecepatan dan ketinggian yang ditanyakan berulang dipicu oleh hal ini.
Dalam simulasi itu, sesuai dengan SOP-nya, co-pilot akan menggunakan instruksi darurat manual untuk melihat, membaca dan melakukan prosedur perbaikan. Hal itu dilakukan selangkah demi selangkah, agar pilot dapat mengikuti apa yang dibacakan oleh co-pilot dalam instruksi manual tersebut.
Dalam simulasi itu, pilot dan co-pilot yang sudah melakukan beberapa kali simulasi tersebut berhasil mempertahankan ketinggian dan simulasi berakhir dengan pesawat berhasil mendarat kembali dengan selamat di Bandara Soekarno Hatta, Jakarta.
Namun hal tersebut hanyalah simulasi, hitung-hitungan komputer dan pilot yang melakukan simulasi telah diberitahu apa yang akan terjadi.
Sementara dalam kejadian jatuhnya pesawat PK-LQP tersebut, belum ada konfirmasi pasti tentang apa penyebab hilangnya kontak pada menit ke 13 setelah lepas landas, hingga akhirnya jatuh menukik menghempas lautan.
Kotak hitam pesawat JT610 yang merekam penerbangan itu kini telah ditemukan dan akan dianalisis untuk mencoba menentukan apa yang sebenarnya terjadi.
Apakah perbaikan atas dua instrumen itu sudah diperbaiki saat akan terbang menuju Depati Amir pada Senin (29/10) belum ada konfirmasi atas hal tersebut. Namun menurut Plt Direktur Teknik Lion Air, Muhammad Rusli, perbaikan itu sudah dilakukan sesuai dengan aturan dan SOP-nya.
Hal berbedda didapati Republika.co.id. Dalam catatan log maintenanace kedua, perbaikan itu sudah dilakukan, namun tidak terkonfirmasi. Republika.co.id mendapati nama pilot dan kopilot yang menerbangkan pesawat tersebut adalah W Martin dan Fulki.
Dari penelusuran Republika.co.id di situs resmi Federal Aviation Administration (FAA) Amerika, hanya terdapat pilot dengan nama Paul Wallace Martinus, namun dengan informasi yang tidak lengkap. Data ini berbeda dengan pilot Bhavye Suneja yang memiliki keterangan lengkap di FAA.
Sementara kopilot Moch. Fulki Naufan, tidak mau berkomentar apa pun terkait dua instrumen yang rusak tersebut. Ia menolak untuk mengonfirmasi hal itu. (*/Republika)
[socialpoll id=”2521136″]