Pengidap Gangguan Jiwa Bisa Coblos Pemilu, Begini Syaratnya
JAKARTA – Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Mochammad Afifuddin mengatakan para pengidap gangguan jiwa yang telah telah berusia 17 tahun tetap harus didata oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Sedangkan apakah mereka memiliki hak suara atau tidak, hal tersebut ditentukan oleh rekomendasi dokter kemudian.
“Kalau ada keputusan dokter dan mereka dianggap disabilitas berat, dia hilang hak pilih, tidak bisa menggunakan hak pilih,” kata Afif di gedung Kemendagri, Jakarta, Rabu, 21 November 2018.
Afif menambahkan, bila gangguan jiwa masih bisa direkomedasikan dokter, maka masih memiliki hak pilih. Dengan cara didampingi sesuai dengan peraturan KPU.
“Mereka bisa didampingi. Jadi jangan sampai orang dikeluarkan duluan sebelum dimasukkan data, tapi orang ini dimasukkan dulu baru dikeluarkan. Jadi bukan ditafsirkan berat dulu,” jelasnya.
Afif mengungkapkan, jumlah masyarakat yang mengidap gangguan jiwa dan berpotensi mempunyai hak pilih tidak lah terlalu besar. “Sekitar 5.000an,” ujarnya.
Namun, meski jumlahnya kecil mereka tetap warga negara yang mempunyai hak pilih dan harus dilindungi hak pilihnya. “Semangat ini kan kembali ke pasal hak pilih sebagai hak dasar. Disabilitas itu kan tidak hanya fisik, mental juga,” katanya.
Selain itu, menurutnya, KPU harus terus memperbaiki diri, dengan memberikan fasilitas pelayanan bagi para kaum difabel untuk memberikan hak suara dalam pemilu.
“Yang lain juga semakin terfasilitasi, yang tunanetra semakin baiklah, ada namanya braille template. Orientasi di pelatihan penyelenggara juga ada mainstream disabilitas. TPS yang mudah dijangkau, kalau ini sudah menjadi pandangan penyelenggara ini akan memudahkan semua orang,” tuturnya. (*/Viva)
[socialpoll id=”2521136″]