Oleh: Narliswandi Piliang
Dari Bandara International Lombok, Praya, siang jelang petang kemarin menuju Cakranegara saya amati di kiri kanan padi hijau pekat, hijau muda. Di ke jauhan bukit hijau tua. Matahari jelang petang menyigi dedaunan. Rona hijau mengalir di antara pematang sawah. Dulu ketika beberapa kali ke Lombok, 1985, 1986, masih banyak pokok Kelapa di antara sawah. Terngiang Rayuan Pulau Kelapa, teringat gambaran surga dominan hijau dan di mana air mengalir.
Pada medio 80-an itu saya sudah jatuh cinta dengan alam Nusa Tenggara Barat (NTB). Namun kala itu masih ada cerita kanak-kanak busung lapar. Presiden Soeharto hadir dengan solusi padi Gogo Rancah. NTB kemudian sempat dijuluki Bumi Gora, berhasil swasembada beras dari Padi Gogo Rancah.
Eksporasi saya akan daerah ini, sempat menghiasi halaman majalah Matra: mulai liputan tanaman Bawang Putih di Sembalun Lawang, lalu bagaimana terobosan PT Paloma Agung dulu di Sumbawa Besar, sudah bisa membiakkan tiram mutiara, sehingga tak harus dicari ke kedalaman laut, produksi mutiara bisa meningkatkan tajam. NTB di kenal dunia sebagai penghasil mutiara laut selatan terbaik.
Saya pun menulis tentang Moyo, di saat Pulau itu masih bisa berburu Menjangan dengan pola meniupkan senjata traditional panah sumpit panjang. Saya ingat betul kala itu sampai sakit tenggorokan meniup ujung panah tidak bergerak. Sementara Warga Pulau Moyo hanya dengan sekali tarikan nafas ujung panah sepanjang telunjuk melesat bak kilat dan Menjangan terkapar. Liputan saya itu sempat menjadi kepanikan Alm. Lalu Puguh Wira Bakti, kala itu Kepala Dinas Pariwisata. Takut ada sorotan terhadap perburuan alam yang sudah mulai dilarang.
Saya pernah kembali ke Moyo penghujung 80-an, berburu lobster di pantai Moyo. Laut dengan kedalaman 7 meter bening. Lobster seukuran betis masih ada. Kami masak dengan rempah alami wow.
Dulu itu kalau ke Gili Meno, Gili Terawangan, lalu ber-snorkel, maka masih bisa menyimak Blue Coral menghampar, kini sudah tiada lagi. Karenanya saya pernah bermimpi punya sebuah tempat tinggal di NTB.
Kemarin petang menjelang azan Magrib berkumandang, saya menyimak rekaman acara diikuti oleh Tuan Guru Bajang atau Zainul Majdi, Gubernur NTB di Jakarta. Di Universitas Paramadina ia jelaskan tentang Pancasila secara gamblang. Pancasila menurut TGB berisi ihwal Kemanusiaan dan Ketuhanan; 4 butir tentang Kemanusiaan dan Satu Ketuhanan.
Di saat petang merembang di puncak sebuah hotel di Lombok, saya teringat kalimat Alm Jend. Sarwo Eddie Wibowo, kala itu Kepala BP7. Ia bertanya singkat ke saya di kala menyerahkan sertifikat lulus sebagai Manggala, penatar P4, angkatan ke-34 tahun 1984.
“Hai anak muda, ” kata Sarwo Eddie sambil menepuk bahu kiri saya, “Apa Pancasila?”
Saya jawab singkat dan terburu-buru karena antrian penerima sertifikat masih panjang. Jawaban saya: Pancasila bicara manusia dan Tuhan. Gaprokan Sarwo, mertua mantan Presiden SBY itu, bertambah dan kencang, sehingga badan saya yang kurus kala itu sampai miring ke kiri. Wajah Jenderal berwibawa itu happy. Saya tertawa. Jadilah suasana formal riang.
Saya simak lagi topik-topik pembicaraan TGB di saat azan Magrib akan berkumandang itu. Bila Pancasila bicara esensi kemanusiaan dan ketuhanan, hakikat manusia ke dunia adalah beriman dan berilmu. Maka paripurna, singkat, jernih dan jelas paparan TGB. Bagi saya TGB adalah Manggalanya-manggala. Biasanya orang jernih berpremis dan bertutur bisa menjadi pemimpin Rahmatan Lilalamiin. Karena itulah saya happy kembali lagi ke Lombok. Punya lagi harapan akan ada Presiden RI, ya TGB. (*)
Sumber: kanigoro.com