Analisis Dugaan Kartel Dalam Rantai Pasok Minyak Goreng

 

Oleh : Muhamad Agung Laksono,  lulusan Teknik Industri, yang saat ini menjabat sebagai Sekretaris Bidang Media Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPP GMNI)

Polemik minyak goreng beberapa bulan terakhir masih terus menghantui masyarakat, bongkar pasang kebijakan Pemerintah dalam mengatasi persoalan ini masih belum efektif.

Terakhir, Pemerintah memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) atas kenaikan harga minyak goreng, sebesar Rp 300 ribu kepada 20,5 juta keluarga dan 2,5 juta pedagang, dengan rentang 3 bulan dengan total Rp 1,2 juta per penerima BLT.

Dimana, bagi penulis ini adalah hal paling kompromis menghadapi gurita swasta dalam bisnis minyak goreng. Dalam hal ini, penulis akan menganalisis rantai pasok minyak goreng dari perkebunan kelapa sawit, produsen Crude Palm Oil (CPO), kilang, hingga pabrik minyak goreng, dengan menggunakan data sebaran yang terdapat di berbagai sumber sebagai bahan analisis.

Sebab, industri sawit idealnya menjadi cukup strategis untuk dibahas selain merupakan consumer goods, sejak tahun 2006 Indonesia telah menjadi produsen minyak sawit mentah (CPO) terbesar di dunia.

Jumlah Perkebunan Sawit: Swasta Unggul Sejak di Hulu

Sebagai bagian paling hulu dalam analisis ini, jumlah perkebunan sawit di Indonesia akan dibagi menjadi tiga kelompok yakni, perkebunan rakyat, perkebunan besar negara (milik BUMN) dan perkebunan besar swasta (milik korporasi swasta).

Senada dengan pernyataan sebelumnya, bahwa Indonesia merupakan produsen penghasil sawit terbesar di dunia sejak tahun 2006 dan angka luas perkebunan terus meningkat hingga tercatat tahun 2021 ada 15,08 juta hektare dengan total produksi sebesar 49,7 juta ton.

Atau, bila merujuk pada data luas perkebunan dari tahun 2017 ke 2021 maka akan muncul angka rata-rata (Mean) kenaikan luas lahan sebesar 0,275 juta hektar per tahun. Bila menggunakan metode peramalan dengan rumus Sn = a + (n-1)b untuk tahun 2030 turunan rumus peramalan sebagai berikut S2030 = 1 + (13-1) 0,275 maka akan ada 17,85 juta hektare perkebunan sawit di Indonesia.

Namun, sayangnya luas lahan ini didominasi perkebunan milik swasta (PBS) yaitu seluas 8,42 juta ha (55,8 persen). Selanjutnya, Perkebunan Rakyat (PR) seluas 6,08 juta ha (40,34 persen) dan terakhir Perkebunan milik BUMN (PBN) seluas 579,6 ribu ha (3,84 persen). Artinya, di hulu swasta menjadi pemain dominan dalam industri bahan baku utama minyak goreng.

Ditambah, peningkatan perkebunan sawit dari tahun ke tahun tak sejalan dengan produksi minyak sawit mentah (CPO) yang menurun belakangan ini sebagaimana data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mencatat, produksi CPO Indonesia mencapai 46,89 juta ton pada 2021.

Angka ini melanjutkan penurunan dalam produksi CPO di Indonesia selama dua tahun terakhir, dimana tahun 2020 hanya sebesar 47,03 juta ton, dibanding tahun 2019 sebesar 47,18 juta ton.

Data Pengolahan CPO Belum Jelas

Dengan produksi CPO terbesar di dunia yang mencapai 46,89 juta ton, ternyata konsumsi CPO di Indonesia pun paling tinggi di dunia. Menurut data Index Mundi, konsumsi minyak sawit di Indonesia mencapai 15,4 juta ton sepanjang 2021, atau hampir dua kali lipat dari negara posisi kedua tingkat konsumsi minyak sawit yakni, India yang sebesar 8,5 juta ton.

Penggunaan Tandan Buah Sawit (TBS) sendiri diolah menjadi dua produk utama: Minyak Sawit Mentah (CPO), yang diekstrak dari mesocarp atau daging buah, dan Minyak Inti Sawit (PKO), yang berasal dari biji keras di tengah tandan. Umumnya CPO untuk diolah menjadi minyak goreng, dan biodiesel, sementara PKO digunakan untuk obat-obatan dan kosmetik.

Dilain sisi, baik harga TBS dan harga CPO dunia terus mengalami peningkatan, merujuk data Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappepti) Kementerian Perdagangan, pada perdagangan 31 Desember 2021 harga CPO di pasar spot Medan ditutup di level Rp 20.051,52 per kilogram (kg), bila dibandingkan dengan harga akhir 2020 yang berada di Rp 14.428,23 per kg, maka naik 38,97 persen.

Namun, Trase.earth memaparkan hal yang cukup menarik dimana 50 persen luasan kebun sawit Indonesia tidak jelas pengelola atau pemiliknya. Sehingga, melacak rantai pasok dari industri hulu ke hilir serta afiliasi kebun sawit dengan perusahaan pemilik fasilitas pengolahan atau refinery cukup membuat pertanyaan besar bagi penulis.

Dimana, menurut laporan tersebut dengan 16.822.834 hektare perkebunan sawit yang dimiliki 1739 perusahaan dengan 187 kelompok korporasi, dan ada 874 perusahaan pengolahan sawit dengan 1093 pabrik dari 178 kelompok korporasi, dimana jumlah perusahaan kilang sebanyak 85 perusahaan dengan jumlah perusahaan sebanyak 57 dengan jumlah korporasi hanya sebanyak 25, dan terkahir ada 352 perusahaan pengekspor CPO dan RPO di Indonesia.

Maka tak heran bila kemudian orang terkaya di Indonesia adalah pemain kelapa sawit, sebagaimana data The Science Agriculture yang memaparkan 10 perusahaan kelapa sawit dengan pendapatan terbesar di Indonesia pada 2020 yakni:

PT Sinar Mas Agro Resources and Technology (SMART) Tbk – Rp 40,3 triliun

PT Astra Agro Lestari Tbk – Rp 18,8 triliun

PT Salim Ivomas Pratama Tbk – Rp 14,4 triliun

PT Dharma Satya Nusantara Tbk – Rp 6,6 triliun

PT Mahkota Group Tbk – Rp 4,1 triliun

PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk – Rp 4 triliun

PT PP London Sumatra Indonesia Tbk – Rp 3,5 triliun

PT Sampoerna Agro Tbk – Rp 3,5 triliun

PT Bakrie Sumatera Plantations – Rp 2,5 triliun

PT Austindo Nusantara Jaya Tbk – Rp 2,5 triliun

Selain itu, dengan kemampuan produksi CPO di tahun 2021 mencapai 46,88 juta ton, ternyata volume ekspor produk minyak sawit Indonesia tahun 2021 yang mencakup CPO, olahan CPO, palm kernel oil (PKO), oleokimia (termasuk dengan kode HS 2905, 2915, 3401 dan 3823) dan biodiesel (kode HS 3826) mencapai 34,2 juta ton atau hampir 73 persen. Dan, untuk konsumsi CPO dalam negeri 2021 mencapai 18,42 jt ton, atau hanya sekitar 27 persen.

Dengan angka sekitar 27 persen dari total produksi CPO dalam negeri, tak seluruhnya digunakan untuk industri minyak goreng melainkan digunakan untuk beberapa industri lainnya, seperti Biodiesel.

Bagaimana Dengan Minyak Goreng? Ada Dugaan Kartel?

Dari data BPS, tercatat ada 45 pabrik atau 60,8 persen dari 74 pabrik minyak goreng berbasis sawit ada di Pulau Jawa, yang notabenenya bukan penghasil Tandan Buah Sawit.

Akibatnya, margin perdagangan dan pengangkutan tinggi: 17,41 persen. Maka, bagi penulis rantai pasok dari proses produksi minyak goreng amat tidak efisien, bahkan Kalimantan Timur tak memiliki pabrik pengolahan dari Tandan Buah Sawit ke CPO.

Ditambah, kajian Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyimpulkan bahwa terdapat struktur pasar oligopolistik di sektor minyak goreng, karena hampir sebagian besar pasar minyak goreng (CR4) concentration ratio 4 perusahaan terbesar dikuasai oleh empat produsen.

Selain itu, tercatat delapan produsen menguasai hampir 70 persen pangsa pasar minyak goreng nasional. Maka, penulis amat berharap KPPU dapat terus mendorong hal ini ke ranah hukum, agar Negara seolah tak bertekuk lutut pada oligarki minyak goreng dan menegaskan bahwa sistem perekonomian Indonesia bukan Kapitalisme, yang diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar bebas.

Kesalahan Tata Kelola Minyak Goreng

Berdasarkan uraian dari hulu hingga hilir yang telah penulis uraikan, maka penulis menyimpulkan bahwa korporasi swasta mengendalikan penuh pasar CPO di Indonesia, meskipun kemudian Pemerintah bisa mengintervensi melalui Kemendag yang mengeluarkan aturan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) serta harga eceran tertinggi, bahkan pemerintah sempat menaikan DMO hingga 30 persen.

Namun ada dua hal yang penulis duga menjadi penyebab kelangkaan minyak goreng yakni, seolah produsen di pengolahan Tandan Buah Sawit menjadi CPO menahan ekspor, sehingga bahan baku produksi minyak goreng sulit didapat di industri pengolahan CPO menjadi minyak goreng yang berakibat pada kelangkaan minyak goreng. Lalu, bisa jadi produsen CPO sekaligus minyak goreng yang ada dalam satu korporasi menahan stok di gudang, sampai HET dicabut sebagaimana berita ditemukannya stok minyak goreng di gudang milik produsen.

Maka, bagi penulis dalam sistem pasar yang patut diduga oligopoli ini, langkah pemerintah dengan memberi BLT ke 20,5 juta keluarga dan 2,5 juta pedagang sudah cukup tepat, agar kemampuan daya beli masyarakat meningkat. Lain cerita, bila kemudian pemerintah memberi subsidi kepada produsen minyak goreng seperti pengolahan CPO lainnya yakni, biodiesel. Maka, besar kemungkinan Pemerintah kembali menyerah dengan korporasi swasta minyak goreng, karena tidak ada jaminan stok migor di pasar akan aman dan terjangkau ditengah situasi harga komoditas CPO yang terus bullish.

Sebab, berbicara korporasi swasta maka tujuannya adalah untung, lain hal dengan BUMN yang memiliki peran kemanfaatan umum.

Maka, pendapat salah satu pimpinan DPD RI soal Pemerintah kalah hattrick oleh mafia minyak goreng pun dirasa kurang tepat sejak point pertama, sebab kenaikan harga CPO dunia justru menguntungkan Pemerintah, sebab pungutan ekspor oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) pada tahun 2021 mencapai Rp 70 triliun. Dan, angka pungutan ekspor ini ada potensi terus meningkat ditengah situasi ketidakstabilan pasokan energi dunia akibat konflik Rusia – Ukraina, ditambah embargo Sekutu atas Rusia.

Kemudian, dengan melihat rantai pasok industri CPO khususnya produk turunan migor yang dikuasai oleh swasta, maka jumlah ketersedian barang di pasar pun mengikutinya hukum pasar yakni, Supply and Demand, dimana bila harga rendah kuantitas akan berkurang. Namun, bila harga tinggi, kuantitas akan mengalami keberlimpahan di pasar. Dengan dugaan kondisi sistem oligopoli oleh KPPU, tentu patut diduga juga ada kartel dalam industri minyak goreng di Indonesia.

Rantai Pasok Minyak Goreng /Dok

Penulis juga melihat, sulitnya berdikari dalam hal industri CPO khususnya produk turunan untuk minyak goreng disebabkan hilangnya kendali pemerintah sejak di hulu, dimana BUMN atau Perkebunan milik negara (PBN) dalam hal kepemilikan lahan sawit hanya menguasai seluas 579,6 tibu ha atau 3,84 persen saja.

Maka, penulis menyarankan agar Pemerintah sebagai pemilik lahan dari industri sawit baik PBN, PBS dan PR dapat menggunakan kedaulatannya atas 38 ribu konsesi untuk lahan sawit yang telah dikeluarkan pemerintah kepada 187 kelompok korporasi sawit.

Selain itu, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.23/PMK.05/2022 tentang Perubahan Ketiga Atas PMK No. 57/PMK.05/2020 tentang Tarif Layanan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit pada Kementerian Keuangan, merupakan wujud paling kompromis bagaimana Pemerintah mengatur mekanisme pasar agar tak memberatkan perekonomian masyarakat menengah kebawah dengan subsidi silang yakni, mengambil pungutan ekspor (PE) CPO dengan kompensasi memberikan BLT Rp 300 ribu per bulan sebagai stimulus Pemerintah dalam kenaikan harga minyak goreng.

Tak hanya rantai pasok minyak goreng yang perlu dievaluasi, tapi juga bagaimana terbitnya regulasi sebagai wujud konsepsi perekonomian bangsa berdasarkan asas kekeluargaan dan sumber daya alam (SDA) mesti dikuasai negara demi kemakmuran rakyat, yang kemudian direalisasikan Bung Hatta dan Bung Karno dalam Pasal 33 UUD 1945. Contoh paling relevan ada di negara-negara Skandinavia yang mampu mengelola SDA untuk kepentingan rakyatnya, bukan memberhalakan investasi asing yang berujung pada negara kehilangan kontrol atas sistem pasar terkhusus untuk barang-barang consumer goods, yang setiap harinya dibutuhkan masyarakat. ***

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Honda