Dari Kota Industri ke Kota Peduli Sosial
Oleh: Faruk Oktavian, S.Kom, M.Si
Kepala Bidang Hubungan Industri dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Disnaker Cilegon
CILEGON – Kota Cilegon berdiri sebagai jantung industri nasional. Puluhan perusahaan baja, kimia, energi, hingga logistik menguasai lanskap ekonomi daerah ini.

Namun di balik deru mesin industri, masih ada realitas getir: ribuan pekerja informal hidup tanpa perlindungan jaminan sosial.
Pedagang kaki lima, buruh pelabuhan, tukang ojek, asisten rumah tangga, hingga buruh bangunan, semuanya bekerja keras setiap hari tetapi tetap berada dalam bayang-bayang risiko kemiskinan bila sakit, kecelakaan, atau meninggal dunia.
Ironisnya, di tengah melimpahnya modal dan keuntungan industri, kesadaran pekerja informal terhadap BPJS Ketenagakerjaan masih rendah.
Banyak yang menganggap iuran Rp16.800 per bulan terlalu berat. Padahal, angka itu tidak lebih dari harga sebungkus rokok.
Dengan Rp16.800, seorang pekerja memperoleh perlindungan yang nilainya tak ternilai: santunan kematian Rp42 juta, hingga beasiswa bagi dua anak.
Jika hanya menabung sendiri, butuh lebih dari 200 tahun untuk mengumpulkan dana setara manfaat tersebut.
Cilegon adalah kota dengan salah satu kontribusi pajak terbesar bagi negara, tetapi masih ada pekerja di lingkar industrinya yang tidak terlindungi jaminan sosial.
Perusahaan memang patuh melindungi pekerja formal, tetapi tanggung jawab sosial terhadap pekerja rentan di sekitar mereka masih minim.
Sementara itu, pekerja formal sendiri sering lupa bahwa di balik kenyamanan gaji tetap, ada tetangga, Asisten rumah tangga, atau driver pribadi yang bekerja tanpa perlindungan dasar.
Di sinilah pentingnya mimpi membangun Kampung Sadar Jamsostek: sebuah kampung di mana seluruh pekerja baik formal maupun informal memiliki kesadaran dan akses penuh terhadap program jaminan sosial.
Mimpi ini bukan sekadar angan-angan. Negara sudah memberikan arah melalui Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2025 tentang optimalisasi pengentasan kemiskinan dan penghapusan kemiskinan ekstrem.
Salah satu instruksinya adalah memperluas kepesertaan jaminan sosial bagi pekerja miskin dan rentan.
Cilegon seharusnya tidak hanya mengikuti, tetapi menjadi pelopor terdepan.
Untuk mewujudkan kampung ini, semua pihak harus terlibat aktif:
Pemerintah Kota Cilegon: menetapkan pilot project Kampung Sadar Jamsostek di tiap kecamatan, dengan target kepesertaan minimal 80% pekerja informal.
Perusahaan: tidak cukup hanya melindungi karyawan formal. CSR wajib diarahkan untuk membiayai iuran pekerja rentan di lingkungan sekitar pabrik.
Pekerja Formal: melalui gerakan Gemet Sekul (Gerakan Melindungi Pekerje Sekitar Kule), mereka bisa menyisihkan sedikit rezeki untuk melindungi ART, driver pribadi, atau pedagang di sekitar rumah.
Komunitas RT/RW dan Tokoh Agama: menjadi motor kesadaran kolektif bahwa jaminan sosial adalah bagian dari ibadah sosial—perlindungan terhadap sesama pekerja adalah bentuk nyata gotong royong.
Kampung Sadar Jamsostek bukan hanya kegiatan sosial, melainkan gerakan moral: melindungi yang lemah, menguatkan yang rentan, dan memastikan tidak ada pekerja yang jatuh miskin karena musibah, musibah kerja atau kehilangan tulang punggung keluarga
Jika Kota Cilegon mampu mewujudkannya, bukan hanya citra sebagai kota industri yang melekat, tetapi juga sebagai kota dengan kepedulian sosial tinggi.
Cilegon akan menjadi contoh bahwa perlindungan pekerja bukan hanya urusan negara, tetapi juga kewajiban moral seluruh masyarakat.
Pada akhirnya, keberhasilan Cilegon mewujudkan Kampung Sadar Jamsostek akan menjadi inspirasi daerah, bahwa kota industri pun bisa menjadi kota yang menjunjung tinggi keadilan sosial dan kesejahteraan bagi seluruh pekerjanya.
“Mimpi mempunyai Kampung Sadar Jamsostek di Kota Cilegon adalah mimpi untuk keadilan sosial. Saatnya mimpi ini diwujudkan—bukan besok, bukan nanti, tapi sekarang”
Kalau bukan kita siapa lagi? Yang peduli pekerja informal di sekitar kita?.***

