Fenomena Golput Sebagai Bentuk Protes Masyarakat Terhadap Pemerintah
Penulis: Faqih Nuruh Huda, Pegiat Pemilu Indonesia
Terhitung sejak Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945 Indonesia sudah melewati berbagai dinamika pada pemilu, mulai dari pemilihan kepala daerah, pemilihan legislative, sampai pemilihan presiden.
Menjelang pemilu partai politik biasanya disibukan dengan kegiatan yang bersifat hegemoni. Tindakan hegemoni yang ditemukan di Indonesia biasanya
menggunakan pendekatan politik aliran (nasional vs agama), hegemoni politik teritorial (Jawa vs non Jawa), hegemoni politik profesi (militer vs sipil), dan politik tribalisme (suku, ras dan golongan) masih mewarnai dinamika perpolitikan Indonesia.
Melihat peristiwa ini sering terjadi dari masa ke masa, wajah partai politik rupanya belum signifikan menampilkan pembaruan yang berarti, belum cukup juga bagi parpol untuk berbenah serta mendamaikan keadaan ini.
Sebagai contoh, pada pemilu tahun 1999 dan pemilu 2004 terdapat kecenderungan semakin terkikisnya pandangan positif publik terhadap partai politik. Bahkan kini muncul berbagai sikap pragmatis elemen masyarakat terhadap parpol. Sampai sejauh ini, masyarakat menilai bahwa parpol belum mampu memenuhi apa yang diaspirasikan masyarakat.
Kondisi tersebut terungkap pada survei Indo Barometer, bahwa peran partai politik lebih menonjol memperjuangkan kepentingan partai itu sendiri (18,3%), selanjutnya narasi rebutan kekuasaan
di pemerintahan (18,3%).
Sedangkan peran positif seperti pendidikan politik dan kaderisasi kepemimpinan presentasenya kecil sekali, masing-masing 7,5% dan 2,6%. Mereka yang tidak puas menganggap bahwa parpol bukan organisasi yang memperjuangkan keinginan rakyat, bahkan kinerja parpol tidak dirasakan rakyat.
Di sisi lain, tindakan parpol sebagai entitas politik lebih menggambarkan sebuah satuan gerakan yang bertujuan mencapai kekuasaan atau bentuk- bentuk keuntungan materi lainnya daripada sebagai saluran kehendak umum.
Kita tidak lagi berbicara tentang baik dan jelek pada sistem demokrasi yang kita pilih saat ini, semuanya tergantung pada kemampuan dalam menerapkannya.
Begitu juga dengan fenomena Golput yang sering terjadi di berbagai tempat di Indonesia yang tercipta dari rasio dan peluang demokrasi itu sendiri.
Namun pada akhirnya kita percaya bahwa sistem demokrasi merupakan
sistem yang mampu mengobati dirinya sendiri di tengah serangan Golput masa kini, seperti diibaratkan demokrasi terkoreksi antara musibah dan anugerah.
Golongan putih atau Golput dapat diartikan sebagai bentuk protes dan penolakan terhadap mekanisme sistem pemerintahan yang sedang berjalan.
Dalam dunia politik, setiap masyarakat
yang memenuhi umurnya 17 tahun memiliki hak untuk memilih siapa calon pemimpin Indonesia mendatang, baik pada eksekutif maupun legislatif.
Hak memilih bukanlah suatu
kewajiban, melainkan hak individu. Bicara pemilu konteksnya adalah demokrasi dan kacamata untuk melihat pemilu sendiri masih tetap demokrasi.
Jadi dalam demokrasi kita golput adalah
hak semua warga negara. Namun pada tulisan kali ini, penulis akan menjelaskan beberapa kemungkinan jika warga negara banyak yang melakukan golput pada proses pemilihan calon
pemimpin.
Sebelum itu, kita ketahui terlebih dahulu akibat munculnya fenomena golput:
Pertama, sebagai aksi protes warga negara terhadap pemerintah, anggota DPR dan partai politik. Mereka menganggap bawah pemerintah tidak mampu memperbaiki keadaan serta gagal dalam membangun kehidupan politik yang demokratis.
Kedua, ketidakhadiran pada bilik suara dianggap tidak memiliki nilai lebih dari proses pemilu, sebagian orang menilai bahwa menghadiri pada bilik suara dapat merugikan baik dari sisi finansial, waktu dan tenaga.
Ketidakhadiran pada bilik suara juga dapat disebabkan karena ada urusan penting seperti berjualan bagi pedagang, ke kantor bagi pekerja dan lain sebagainya.
Ketiga, masyarakat apatis terhadap pemilu. Bisa juga karena malas.
Keempat, ada ketidakpercayaan masyarakat terhadap para pejabat karena seringkali adanya indikasi penyelewengan, penyalahgunaan kekuasaan.
Kelima, ada unsur ketidakcocokan sang pemilih dengan calon-calon pemimpin yang mendaftarkan diri pada pemilu.
Suara tidak sah sebenarnya terdapat dua kategori, pertama mereka yang tidak menggunakan hak pilihnya. Kedua mereka yang memilih tapi suaranya benar-benar dianggap tidak sah,
sehingga suaranya tidak diperhitungkan sebagai suara.
Pada pemilihan umum presiden dan wakil presiden tahun 2014 lalu, banyak angka golput yang disebabkan karena kekecewaan masyarakat terhadap sistem pemilu yang disajikan atau bisa diartikan sebagai bentuk protes masyarakat yang tidak tersuarakan, tentu ini mengakibatkan rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam dunia politik. Adapun beberapa dampak jika kebanyakan golput dalam pemilu:
Rendahnya Moral Pemimpin
Sebenarnya masyarakat golput tidaklah berpengaruh dalam proses pemilu. Tetapi kasus ini harus dijadikan pelajaran bagi pemerintah dalam mengurangi angka golput yang terjadi di
Indonesia.
Pemerintah perlu mengoreksi lebih serius kenapa masyarakat bisa apatis. Golput akan memberikan efek berkurangnya legitimasi kekuasaan pemerintah yang tidak kuat, jika hal
tersebut terjadi maka akan mudah juga pemerintah tersebut digoyahkan.
Jadi ketika ada salah satu calon pemimpin yang sudah menang dalam pemilu, tetapi hanya dipilih sekian persen saja akan mempengaruhi kekuatan posisi.
Misalnya pada proses pemilu
warga negara atau DPT diwajibkan memilih minimal 70% dari seluruh rakyat Indonesia, tetapi dari jumlah 70% tersebut yang memilih hanya 20% saja yang menggunakan hak suaranya
dalam pemilihan, sedangkan 50% lagi tidak memilih.
Tetap akan ada pemenang dalam angka
20% tersebut, tetapi jumlahnya jauh lebih kecil daripada yang tidak mengikuti pemilu.
Jika peristiwa ini terjadi akan mengakibatkan lemahnya moralitas seorang pemimpin itu sendiri.
Pudarnya demokrasi seperti dijelaskan pada paragraf sebelumnya, rakyat diberikan hak kebebasan memilih sesuai
dengan hati nuraninya masing-masing untuk memilih siapa calon yang menurutnya layak menjadi pemimpin negeri ini.
Bayangkan jika golput semakin berkembang dan mengakar, sudah bisa dipastikan Indonesia akan mengalami krisis identitas.
Maksudnya adalah rakyat Indonesia akan sulit bahkan tidak akan menerapkan nilai-nilai demokrasi pada kehidupan mereka, padahal mereka adalah rakyat demokrasi sesuai dengan konsep demokrasi Indonesia “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.”
Misalnya akan terjadi konflik di berbagai daerah akibat adanya perbedaan kubu, seperti yang sudah terjadi pada penyebab pecahnya perang Aceh dan juga penyebab konflik kerusuhan yang terjadi di Kota Ambon tahun 1999 lalu.
Akibatnya politik dijadikan sebagai alat penghancur, bukan sebagai alat pemersatu bangsa atau proses peningkatan negara.
Uang terbuang sia-sia dalam pemilihan umum sendiri, membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk membeli banyak kotak suara, bilik suara, cetak kertas, gaji panitia pemilu.
Padahal pada pemilihan presiden dan
wakil presiden uang yang dikeluarkan merupakan dana APBN, artinya uang tersebut dihasilkan dari pajak rakyat yang dihimpun oleh negara.
Jadi jelas jika banyak masyarakat yang golput dalam pemilihan umum sama saja dengan membuang uang pajak sia-sia dan menjadikan pemilu tanpa makna.
Menimbulkan Aksi Gerakan Masa (Pemberontak dan Radikal) Jika negara kita tidak ada lagi demokrasi, sangat mungkin masyarakat akan membentuk
kelompok sendiri-sendiri. Akan muncul kelompok dengan ideologi tertentu yang mengarah pada radikalisme, dan menentang keras pemahaman yang lainnya.
Gerakan-gerakan tersebut
dikhawatirkan akan memecah belah bangsa dan pancasila. Jika hal ini terjadi, maka dimungkinkan penyebab konflik horizontal dan juga konflik antar agama akan terjadi juga.
Lebih parah lagi, dikhawatirkan jika koalisi pemilih melihat peluang golput dan parpol merupakan celah untuk mencapai kepentingannya dalam proses pemilu, saya katakan saja “kecurangan dalam perhitungan suara”.
Selain itu, akan terjadi negosiasi, kerumunan pendapatan, kontrak politik semakin dekat seperti yang kita temukan di berbagai surat kabar.
Koalisi harusnya bersikap produktif dan efektif, demikian juga dengan kepentingan golput yang tentu saja harus diakomodir sehingga demokrasi kita tidak terjebak dalam tradisi politik
yang primordial.
Oleh karena itu, untuk menekan tingginya angka golput, sebaiknya lembaga pemerintahan dan partai politik harus lebih serius lagi dalam melakukan sosialisasi kepada masyarakat bahwa
menggunakan hak suara pada pemilihan umum merupakan kewajiban setiap warga negara Indonesia.
Pemerintah harus bisa meyakinkan masyarakat tentang pentingnya memilih calon pemimpin, dan sebagai bentuk kepedulian masyarakat terhadap negara.
Kemudian, penting juga pemerintah menyajikan program pendidikan demokrasi. Pendidikan demokrasi diharapkan berperan aktif dalam menekan angka golput, yang paling efektif pendidikan demokrasi diajarkan pada kurikulum-kurikulum pendidikan formal seperti di sekolah dan kampus. ***