Kepemimpinan Intelektual Dibutuhkan Bangsa

BI Banten Belanja Nataru

*) Oleh: Ahmad Basori

MEMADUKAN kepemimpinan dan intelektual tidaklah mudah dijadikan satu kesatuan yang utuh. Pasalnya seseorang yang memiliki kapasitas intelektual biasanya tidak diiringi dengan kemampuan kepemimpinan yang kuat.

Ketika masuk ke dunia struktur, mereka dihadapkan pada kemampuan empiris yang tidak didapat di literatur akademik. Kemampuan mempengaruhi orang lain, manajemen konflik dan agregasi kepentingan mesti mereka miliki, jika tidak maka seorang intelektual itu akan mengalami kesulitan dalam menjalankan kebijakannya, mudah di goyang lawan politik bahkan memiliki kecenderungan dikerjai teman maupun lawan politiknya.

Kelemahan seorang intelektual dalam memimpin dapat tergambarkan saat menjadi mahasiswa. Mereka memiliki kebiasaan hanya fokus pada studinya saja (Study Orientied), lebih banyak meluangkan waktunya diperpustakaan. Mereka memiliki nilai akademik yang bagus (Cumlaude) dan lulus tepat waktu bahkan lebih cepat.

Sebaliknya seseorang yang memiliki kemampuan kepemimpinan yang baik tidak diiringi dengan kemampuan intelektual yang mumpuni. Ilmu yang diperoleh lebih banyak dari pengalaman daripada teoritis.

Ketika menjadi mahasiswa, biasanya memiliki nilai akademik yang kurang baik dan lulusnya lebih lama. Pasalnya mereka aktif dalam struktur organisasi kemahasiswaan, berjuang merealisasikan program organisasi, membangun jejaring, bergulat dengan konflik, memilih untuk berdemonstrasi daripada berlama-lama di perpustakaan.

Idealnya intelektual dan kepemimpinan berjalan berdampingan. Mereka sukses dalam organisasi tetapi juga sukses dalam studinya. Tetapi tipe mahasiswa dalam kategori ini memang tidak banyak. Mereka sosok pilihan yang paripurna ketika kemampuan kepempinan dan intelektual di ramu menjadi satu kesatuan yang utuh.

Pijat Refleksi

Selain itu impian akan sosok Kepemimpinan Intelektual telah lama digaungkan oleh seorang Filsuf Yunani Kuno, Plato, di dalam bukunya The Republic, menyatakan bahwa suatu masyarakat sebaiknya dipimpin oleh seorang intelektual (filsuf) yang memiliki pengetahuan teoritik mendalam, sekaligus kemampuan praktis untuk menerapkannya, guna menyelesaikan masalah-masalah sehari-hari.

Model kepemimpinan intelektual di Indonesia tergambar jelas setelah Perang Dunia yang melahirkan pemimpin yang berasal dari tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan. Mereka ini bukan hanya kuat secara kepemimpinan, tetapi juga dalam basis keilmuan.

Perdebatan adu argumentasi mengenai dasar Negara Indonesia didasarkan atas ilmu yang didapat dengan latar belakang mereka yang berbeda. Tipe pemimpin model ini bisa dikenali dari sosok seperti Bung Karno dan Bung Hatta, Syahrir, Natsir, Hamka, atau Moh. Yamin di era awal-awal kemerdekaan. Mereka itu pemimpin-pejuang yang juga sosok intelektual.

Dalam konteks kekinian munculnya sosok Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, yang berlatar belakang akademisi telah menunjukan bahwa ia mampu membawa perubahan. Anies Baswedan selama menjadi mahasiswa telah berhasil meramu kepemimpinan dan intelektualitas. Berprestasi di bidang akademik juga aktif di organisasi mahasiswa Islam (HMI).

Kepemimpinan intelektual inilah yang dibutuhkan oleh bangsa saat ini di berbagai struktur dan tingkatan kekuasaan. Sebab kelebihan dari seorang intelektual itu mampu menemukan kebenaran, berani memperjuangkannya meskipun menghadapi tekanan dan ancaman.

Selain itu seorang intelektual memiliki kemampuan berfikir abstrak dan penguasaan teori-teori sehingga dapat memahami akar dari masalah yang dihadapi dan memberikan solusi dengan basis teori yang kuat.

Dengan basis teori yang kuat permasalahan akan dapat diselesaikan dengan baik sehingga akan membawa Bangsa ini menjadi bangsa yang berperadaban tinggi. (*/Red)

*) Penulis adalah pemerhati sosial politik, yang juga Pengurus Himpunan Pemuda Al-Khairiyah (HPA).
PJ Gubernur Banten
WP-Backgrounds Lite by InoPlugs Web Design and Juwelier Schönmann 1010 Wien