*) Oleh: Ilung (Sang Revolusioner)
MENANGGAPI maraknya isu persoalan perizinan aktivitas penambangan atau pengerukan pasir laut di perairan Banten di kalangan para pejabat Banten baru-baru ini, sepertinya para pejabat di Banten harus mengevaluasi kembali jika harus mengizinkan aktivitas yang bisa dikatakan sebagai bentuk eksploitasi alam tersebut.
Pasalnya jika aktivitas pegerukan pasir laut tersebut kembali beroperasi di perairan Banten dan atau diizinkan oleh Pemprov Banten, akan ada dampak kerusakan lingkungan pada ekosistem laut dan abrasi pasa kawasan pesisir. Selain itu dampak sosial berupa gejolak penolakan oleh masyarakat juga tidak menutup kemungkinan akan terus terjadi di Banten.
Bukan hanya di Banten memang, isu penambangan atau pengerukan pasir laut juga kabarnya terjadi di Kepulauan Riau dimana isunya pasir laut dikirim ke Singapura untuk memperluas wilayah teritorinya, di laut Takalar, Gelesong di Sulawesi Selatan, di Pulau Munate Kabupaten Muna, dan daerah-daerah lainnya di tanah air tercinta ini.
Mengingat penambangan pasir laut bukan merupakan isu baru, maka Pemprov Banten ada baiknya mengevaluasi kejadian pada satu dua tahun yang lalu juga pernah terjadi di kawasan laut Utara Banten, sebagai bahan pertimbangan untuk tidak memberikan izin. Apalagi aktivitas tersebut bukan untuk pembangunan di wilayah Banten, dan diketahui dari beberapa media bahwa pengerukan pasir laut di Banten ternyata untuk reklamasi Teluk Jakarta. Dan hendaknya Pemprov Banten bisa mengambil keputusan dengan bijaksana.
Dampak Lingkungan Dari Pengerukan Pasir Laut
Dari beberpa literasi kajian, pengerukan pasir laut ini membawa dampak pada kerusakan ekosistem laut yang semakin yang parah setelah dampak limbah industri di Banten dan pemanasan global, bisa menyebabkan abrasi pantai, kelangkaan ikan tangkapan nelayan, serta hancurnya karang laut, mangrove serta biota dan organisme ekosistem laut lainnya.
Tercatat dampak akibat penambangan pasir laut di pesisir Utara Banten tersebut terjadi di beberapa desa di Kabupaten Serang dan Kota Cilegon, antara lain Desa Lontar, Domas, Tengkurak, Alang-alang, Susukan, Linduk, Pontang, Sujung, Anyer, Ciwandan dan sebagainya.
Dan bila melihat regulasi yang ada, dan countur perairan Utara laut Banten yang sangat banyak terdapat pulau-pulau, penambangan atau pengerukan pasir di laut ini merupakan salah satu aktivitas yang dilarang. Aktivitas ini melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 (revisi atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007) tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Serta Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pelarangan penambangan pasir baik di wilayah pesisir maupun di wilayah pulau-pulau kecil bukan tanpa alasan. Aktivitas ini memiliki efek/dampak negatif diantaranya :
1. Penambangan atau pengerukan pasir laut menyebabkan tingkat kekeruhan air laut sangat tinggi. Keruhnya air laut akan berdampak pada terumbu karang sebagai habitat pemijahan, peneluran, pembesaran anak, dan mencari makan bagi sejumlah besar organisme laut, terutama yang memiliki nilai ekonomis penting. jika terumbu karang tercemar, kematian biota laut di dalamnya pun akan tercemar. Hanya beberapa jenis biota yang bisa bertahan. Terumbu karang keberadaannya dipengaruhi kejernihan air, mudah rusak bahkan oleh aktivitas manusia yang menghasilkan endapan.
2. Pengerukan pasir laut memicu berkurangnya hasil tangkapan ikan oleh nelayan. Hal ini disebabkan seluruh isi laut disedot tanpa pandang buluh. Tidak hanya pasir yang diangkat, tetapi telur-telur, anak ikan, terumbu karang, serta biota lainnya juga ikut musnah.
3. Penambangan pasir laut memicu terjadinya abrasi dan hilangnya pulau-pulau kecil. Di Kabupaten Muna, dampak ini sudah mulai muncul yakni aktivitas penambangan pasir di sekitar Pulau Munante telah mengancam hilangnya pulau kecil tersebut.
4. Pengerukan pasir laut menyebabkan terjadinya perubahan pola arus dan perubahan struktur geomorfologi pantai. Bila seluruh isi laut disedot tanpa pandang bulu, maka tidak hanya pasir yang diangkat, tetapi telur-telur, anak ikan, terumbu karang, serta biota lainnya juga ikut musnah.
Jika dilakukan penelitian lebih lanjut, mungkin akan banyak sekali dampak yang dapat diketahui dari pengerukan pasir laut ini.
Dampak Sosial Akibat Pengerukan Pasir Laut di Banten
Tentu saja dari dampak lingkungan tersebut secara otomatis juga menjalar pada dampak sosial, dimana masyarakat khususnya yang berada di kawasan pesisir seperti Nelayan yang merupakan lahan pencarian nafkah hidupnya secara langsung maupun tidak langsung, akan terusik karena dirugikan bila aktivitas penambangan atau pengerukan pasir laut ini diberikan izin oleh Pemprov Banten kembali beroperasi.
Maka, sudah selayaknya Pemprov Banten maupun Pemerintah Pusat melakukan evalusi dari gejolak sosial yang pernah terjadi beberapa wilayah di Banten, seperti di Kecamatan Anyer yang berada di Kabupaten Serang yang pernah unjuk rasa besar-besaran sebagai penolakan penambangan pasir laut. Masyarakat Anyer menolak tegas adanya penambangan pasir laut yang dilakukan pihak swasta. Bahkan mereka melakukan istighosah sebagai bentuk protes mereka atas penambangan Pasir laut di wilayah perairan Anyer. Mereka khawatir penambangan pasir laut ini akan berdampak rusaknya lingkungan dan ekosistem laut sehingga berdampak pada hasil tangkapan laut yang menurun.
Sebagaimana kita ketahui, Anyer merupakan daerah pariwisata yang dikenal dengan keindahan pantainya dan sebagai daerah penghasil tangkapan ikan laut.
Apa yang dikhawatirkan masyarakat Anyer memang wajar. Penambangan pasir laut sudah dipastikan akan berdampak kepada perusakan lingkungan dan ekosistem laut yang berdampak pada penghasilannya.
Selain di Anyer, belum lama ini (4/9/2017) lalu, Nelayan Karangantu juga sempat mendatangi gedung DPRD Kota Serang untuk mengadukan aktivitas pengerukan pasir di kawasan Teluk Banten dan menyampaikan aspirasi penolakannya karena bisa berdampak buruk pada hasil tangkapnya.
Belum aksi penolakan di wilayah lainnya di Banten yang terekspos di banyak media. Dan gejolak dampak sosial ini bisa berpotensi terus meluas ke wilayah lainnya bila Pemprov Banten tidak peka mendengar aspirasinya.
**
Contoh saja, penyedotan pasir laut di Provinsi Kepulauan Riau dilakukan untuk menambah perluasan daratan negara Singapura. Sungguh ironis bukan?!
Apalagi kalau pengerukan paris laut di Banten untuk pembangunan/reklamasi di Jakarta. Apa itu tidak ironis?!
Selain Nelayan, saya kira para pegiat atau Aktivis Lingkungan dan Sosial di Banten juga sudah seharusnya lebih concern menyuarakan penolakan pengerukan pasir laut ini, karena selain berdampak kerusakan lingkungan dan sosial dengan berkurangnya hasil tangkap Nelayan yang merupakan profesi usaha/mata pencaharian tradisional yang sudah turun menurun. Apalagi kalau menyalahi regulasi sebagaimana disebutkan diatas.
Maka saya kira, kita sebagai representasi “khalifah fil ardlh”, bisa bersikap arif terhadap bumi dengan mencegahnya dari kerusakan dimana kita manusia diberi amanah untuk itu sebagai Khalifah oleh Allah SWT. Untuk merealisasikannya, kita seyogianya menjaga keseimbangan alam terkait dalam persoalan ini. Bentuknya, bisa dimulai sekarang yang saya kira perlu dilakukan patroli laut yang intensif di kawasan laut Banten sampai selesai reklamasi Jakarta. Karena aktivitas pengerukan pasir laut dilakukan oleh kapal-kapal besar ditengah laut yang sulit terpantau secara visual dari daratan.
Dan harapan saya semoga pemerintah segera dapat menemukan solusi terbaik dari masalah polemik penambangan pasir laut di perairan Banten ini. Bagaimana mengatur sedemikian rupa supaya aktivitas industri berjalan tidak merusak lingkungan disekitarnya. (*)
*) Penulis adalah Jurnalis Fakta Banten