Sastra dan Tasawuf

FAKTA BANTEN – “Bahasa para sufi yang mabuk kadang perlu ditangkap sebatas sebagai karya sastra” (Al-Ghazali).

Pengalaman spiritual seorang sufi memang cenderung tersembunyi dari hiruk pikuk kehidupan bahkan terkadang sengaja disembunyikan, karena dihawatirkan ketika pengalaman spiritual yang dialami disampaikan kepublik akan menimbulkan persepsi yang salah. Kesalahan persepsi ini akan berujung pada sikap pengkafiran.

Untuk mencegah kesalah persepsi itu, ada beberapa tokoh sufi yang mencoba untuk menceritakan pengalaman spritualnya melalui bait-bait puisi. Diantara tokoh sufi yang menjadikan puisi sebagai tempat “curhat” adalah maulana Jalaluddin Rumi, Hamzah Fansuri, dan Al-Hallaj. Karena usaha ini, alhamdulillah pesan-pesan pengalaman spiritual mereka tetap terjaga dengan awet sampai saat ini.

Keluwesan puisi menjadi tempat penampung bagi gagasan spiritual yang didapat yang mungkin tidak bisa dianalogikan secara rasional, karena rata-rata pengalaman mereka bersifat metafisik yang irasional. Seperti pengalaman Jalaluddin Rumi yang menari secara tiba-tiba di tengah pasar ketika mendengar suara ketukan yang berasal dari pandai besi. Bagi Jalaluddin Rumi suara itu terdengar seperti penyebutan lafadz Allah yang berirama hingga ia tanpa sadar menari dan terus menari. Ketika dalam kondisi menari ia mengalami mabuk kepayang sehingga dia tidak sadar dengan keadaan sekitar (fana’ ).

Bertolak dari pengalaman Rumi di atas kalau dikaji dengan metode empiris pastilah akan ada banyak orang yang menuduh dia gila. Bagaimana mungkin suara pandai besi bisa berubah dengan suara lafadz Allah? Sangat irasional sekali bukan! Ya, itu bagi mereka yang menggunakan “telinga” empirisme bukan dengan “telinga” spiritualisme.

Nah, di sini kemudian bisa dilihat bahwa empirisme terbatas. Ia belum bisa menjangkau hal yang paling esensi yang berpusat pada rasa (dzauq). Ketika rasa yang berbicara, maka rasa juga yang harus mendengarkan.

Dalam hal ini sastralah yang memilki kuasa untuk menjabarkan. Dominannya rasa dalam sastra membuat ia menjadi tempat paling enak untuk membelai dan merawatnya. Sesuatu yang tidak mungkin bagi empirisme menjadi mungkin bagi sastra terlebih bagi sastra yang bergandengan tangan dengan spiritualitas.

Sastra seolah memberikan jalan untuk menapaktilasi pesan-pesan metafisik yang disampaikan oleh para tokoh sufi. Melalui puisi, salah-satu anak didik sastra, pesan-pesan metafisik yang semula buram tak bercahaya berubah memantulkan cahaya yang begitu indah dan sanggup membuat silau setiap mata yang melihat. Melalui diksi, metafora dan majas cahaya itu timbul dan membuncah memenuhi jagat semesta ini.

Bisa dilihat bagaimana Jalaluddin Rumi menjadi seorang sufi penyebar agama cinta dan perdamaian melalui suara-suaranya yang terangkum dalam rubaiyat, masnawi dll, menyebar seperti harum bunga di musim semi yang menyeruak dari barat sampai ke timur. Sebuah pencapaian yang cukup fantastis dan belum pernah ada tokoh seperti itu selain nabi Muhammad.

Suara-suara puitis Jalaluddin Rumi menghipnotis orang-orang lintas agama, suku, ras,bahasa dan generasi. Menjadikan mereka satu rasa dalam memaknai cinta dan kedamaian. Mengajari mereka tentang bagaimana menghargai, menghormati dan menyayangi orang-orang yang berdeda pendapat dengan mereka.

Andai Jalaluddin Rumi melakukan hal yang sama seperti al-Muhasibi pasti pesan-pesannya akan sirna dimakan masa, karena banyaknya orang-orang yang mengkritisi hasil ijtihadnya dalam upaya membumikan tasawuf.

Al-Muhasibi merupakan peletak dasar gagasan intelektualisasi tasawuf. Dia berusaha menjabarkan tasawuf secara rasional dan tidak bertentangan dengan fiqih yang menjadi ilmu terpenting dimasanya.Usahanya dalam menjabarkan tasawuf sebagai bagian dari fikih mendapat serangan dari beberapa tokoh yang semasa seperti Ahmad bin Hambal, salah satu tokoh ahli fikih yang pemimikirannya kemudian dijadikan landasan bermazhab.

Ahmad bin Hambal berpikir tasawuf tidak bisa dibawa pada bentuk teoritis, karena menurut dia tasawuf merupakan praktek keseharian yang besifat intim. Dengan alasan seperti ini Ahmad bin Hambal mengkritisi gagasan al-Muhasibi. Memang, gagasan al-Muhasibi cukup cemerlang bahkan bisa dikatakan bahwa gagsannya melintasi zaman si penulisnya hal ini sebagaimana dipujikan oleh Luis Masignon kepada al-Muhasibi.

Namun, meskipun begitu, gagasan al-Muhasibi cenderung terbatas pada kelas intelektual yang memang senang dengan hal-hal yang bersifat teoritis. Tidak bisa menjangkau kelas miskin intelektual yang hanya berkutat pada bahasa sederhana tanpa sebuah teori. Karena hal tersebut ketokohan al-Muhasibi dan gagasannya banyak orang yang tidak tau. Tapi juga yang mempengaruhi tidak tersampainya gagasannya karena terlalu derasnya kritik yang diterima sehingga banyak tokoh dan pemikir setelahnya yang enggan untuk membahas sekaligus mengembangkan. Baru kemudian pada masa yang cukup lama hadirlah al-Sarraj yang melanjutkan sampai menyentuh masa al-Ghazali.

Sungguh cukup pelik bila mengingat sejarah uapaya teorisasi tasawuf dan sungguh beruntung ketika tasawuf bergandengan tangan dengan sastra dalam upayanya menjabarkan hal yang metafisik, meskipun tidak seteoritis filsafat. (*/Red)

SUMBER: Inspirasi.co

Honda