Sentimen di Asia Tenggara Menghambat Sense Of Community

 

Penulis: Adhestie Apriliyanda Awaliyaturrohmah, Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang

 

Pada pertemuan ASEAN ke-12 para pemimpin negara-negara ASEAN mencapai keputusan dan kesepakatan untuk membangun komitmen One Caring and Sharing Community pada tahun 2015, dan melakukan upaya  membangun rasa kekitaan dalam ASEAN Community kepada rakyat.

Mekanisme dalam ASEAN Community adalah dengan merubah ASEAN dari institusi yang diarahkan oleh para anggota menjadi institusi yang memiliki otoritas yang jauh lebih besar untuk dapat mengatur perilaku negara anggotanya dengan melibatkan aktor non-state.

Untuk dapat membentuk ASEAN Community membutuhkan pengembangan terhadap kesadaran regional dan identitas yang nantinya akan memberi penekanan terhadap sense of belonging dalam satu bangsa yang terdiri dari banyak negara dalam satu kawasan. Namun prinsip non intervensi yang negara-negara anggota ASEAN yakini serta sikap sentimen di Asia Tenggara menjadi penghambat dalam mencapai komitmen sense of community, sehingga ASEAN community masih membutuhkan perjalanan yang panjang.

Sentimen Nasioanal Indonesia terhadap Malaysia dan Anti-China di Asia Tenggara

Sentimen yang terdapat di kawasan Asia Tenggara adalah sentimen anti-China dan sentimen nasional seperti kasus yang terjadi antara Indonesia dan Malaysia. Sentimen anti-China di Asia Tenggara berkembang pada saat adanya hegemoni dari China.

Memang China bukan termasuk negara ASEAN, akan tetapi karena penyebaran Chinatown yang tersebar di banyak negara mengakibatkan warga negara yang memiliki keturunan China merasakan sentimen tersebut. Sentimen anti-China timbul karena ada rasa nasionalisme antar orang-orang Thailand dan orang China yang menetap di Thailand. Kebijakan pemerintahan Thailand membuat terjadinya aksi diskriminasi terhadap etnis China.

Kebangkitan China di tengah-tengah hubungan antar regional mengubah hubungan menjadi antagonisme, dimana efek yang diberikan dari kekuatan China terhadap negara-negara lain bersifat negatif karena merusak kestabilan politik dan legitimasi rezim Thailand.

Untuk menekan pengaruh negatif dari China, Perdana Menteri Thailand Phibun Songkhram bekerjasama dengan Amerika untuk memperkuat kekuatan militer dan ekonomi. Alasan dasar mengapa Thailand tergabung dengan SEATO (Southeast Asian Treaty Organization) pada tahun 1954 adalah karena kehawatiran Thailand terhadap aksi campur tangan China dalam politik domestik Thailand.

DPRD Cilegon Anti Korupsi

Namun di tahun 1974 Thailand mengumumkan hubungan diplomatik dengan China di bawah pimpinan Perdana Menteri Kukrit Pramoj. Menunjukan bahwa secara keseluruhan citra positif di kawasan telah terbentuk. Adanya pergeseran perspsi terhadap China mengenai pengaruh China dalam kestabilan politik domestik. Pengaruh dari dukungan politik dan militer yang diberikan China  membuat anti-China berkurang.

Di awal tahun 1990-an ada keterlibatan China terhadap politik dan militer di kawasan Indocina, menimbulkan kembali kecemasan terhadap kehadiran China. Tetapi karena adanya upaya yang dilakukan China dalam memulihkan hubungannya dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara membuat hubungan China dengan negara lain kembali positif. Sejak saat itu banyak sentimen bervariasi dikalangan negara-negara ASEAN terhadap China.

Khawatir karena China yang berpotensi sebagai saingan dalam ekonomi, pengaruh China yang mendominasi di regional, atau persaingan dalam politik. Pada abad ke-20 sikap negara-negara di Asia Tenggara terhadap China belum menunjukan sikap yang tegas. Sebagian masyarakat di negara Asia tenggara sentimen anti-China masih cukup kuat. Sejarah dan budaya tidak dapat menentukan negara-negara Asia Tenggara bersikap seperti apa terhadap China.

Secara substansial sentimen anti China mulai berkurang karena perubahan faktor politik dalam negeri. Di indonesia anti-Cina berkurang di masa orde baru, tetapi saat ini Indonesia juga menerapkan sikap waspada terhadap China selama menjalin kerjasama. Sedangkan masyarakat Indonesia sebagian masih ada rasa anti China karena adanya provokasi yang dilakukan sejumlah kelompok demi kepentingan politik atau ekonomi.

ASEAN harus menghadapi tantangan kembali karena adanya pluralitas ASEAN terhadap perbedaan etnis yang terjadi antar sesama anggota negara ASEAN. Sentimen ini terjadi karena adanya faktor internal dan eksternal di negara-negara ASEAN. Seperti yang terjadi antara masyarakat Indonesia dan Malaysia. Sejak konfrontasi Indonesia dan Malaysia di tahun 1960-an persepsi bangsa serumpun tidak terealisasikan seindah itu. Karena ketika adanya masalah bilateral yang terjadi, masyarakat antar kedua negara tersebut akan ikut menegang. Sosial media dijadikan sebagai alat untuk melancarkan aksi internet war.

Saling melempar ejekan dan hujatan antar netizen Indonesia dan Malaysia. Hal ini bisa saja mengancam perkembangan integrasi sosial dan budaya, karena terdapat hubungan antar sentimen nasional dengan integrasi regional. Untuk meredakan konflik yang ditimbulkan oleh sentimen nasional, negara melakukannya dengan jalur diplomasi.

Diplomasi menjadi pendekatan rasional untuk menyelesaikan masalah. Walaupun begitu akan tetap berdampak pada kepentingan jangka panjang Indonesia dan Malaysia. Isu ini terus menjadi pembahasan yang menarik banyak perhatian, karena media pers ikut andil dalam membuat isu menjadi gaduh membuat masyarakat terprovokasi, sehingga intensitas isu ini berpotensi menambah sentimen antar masyarakat di negara-negara ASEAN.

Dilihat dari kedua kasus ini, komitmen ASEAN Community yang telah disepakati begitu terlihat jauh untuk digapai, hal ini disebabkan adanya sikap yang tidak terima adanya perbedaan etnis. Netwar yang terjadi dalam isu Indonesia dan Malaysia juga dapat menghambat integrasi sosial di ASEAN.

Secara keseluruhan sesungguhnya sentimen anti China di negara-negara Asia Tenggara bersifat ambivalen, belum ada sikap yang jelas untuk negara-negara anggota ASEAN terapkan terhadap China. Hal ini dikarenakan adanya dilema yang dialami ASEAN karena ketergantungan terhadap negara yang memiliki kekuatan besar setelah pengaruh dari Amerika mengurang dan muncul China dengan kekuatan besarnya. Sentimen yang terdapat di negara-negara Asia Tenggara memiliki sisi negatif dan positif.

Dimana sisi positifnya negara dapat meminimalisir dominasi dari negara lain terhadap kedaulatan negaranya. Negara dapat menjalin hubungan yang membawa keuntungan dengan China, namun tetap bersikap waspada dalam setiap keputusan, sehingga negara tidak terlalu bergantung dengan hubungan tersebut. Dari sisi negatifnya, hal ini mempengaruhi sikap masyarakat kepada suatu kelompok seperti rasis terhadap etnis Tionghoa atau etnis lainnya.

Membuat hubungan antar masyarakat tidak stabil, karena dengan mudah dapat terpancing emosi seperti yang terjadi antar Netizen Indonesia dengan Malaysia. Sentimen nasional memiliki dampak terhadap komitmen ASEAN Community yang telah disepakati.  Terlihat jauh untuk digapai karena adanya Netwar antar masyarakat Indonesia dengan Malaysia yang menghambat pergerakan integrasi sosial di ASEAN. Kesadaran masyarakat menjadi kunci terbentuknya ASEAN Community. Maka dari itu masalah ini menjadi masalah krusial yang harus ditangani secara regional. ***

KS Anti Korupsi
WP-Backgrounds Lite by InoPlugs Web Design and Juwelier Schönmann 1010 Wien