Pangkalan Perang Peninggalan Belanda di Ujung Barat Pulau Jawa

Hut bhayangkara

*) Oleh: Ilung (Sang Revolusioner)

PERSETERUAN antara Kerajaan Perancis dan Kerajaan Inggris pada awal-awal Abad 19, sepertinya berimbas juga dengan situasi dan kondisi di Nusantara pada waktu itu. Belanda sebagai negara vasal Kerajaan Perancis dengan dipimpin oleh Luois Bonnaparte adik dari Napoleon Bonaparte (Tokoh Revolusi Perancis), langsung membuat langkah kebijakan tegas terhadap wilayah-wilayah koloninya.

Seperti halnya di Pulau Jawa, dimana Batavia (sekarang Jakarta) menjadi pusat pemerintahan kolonial Belanda. Louis Bonnaparte langsung mengutus Jenderal yang terkenal kejam, yakni Herman Williems Deandels, untuk menjabat Gubernur Jenderal yang bertugas di Pulau Jawa. Suatu tugas yang berat memang, karena selain banyaknya pejabat pemerintahan Kolonial Hindia Belanda yang korup saat itu, rivalnya Kerajaan Inggris yang juga tengah melakukan kolonialisasi terhadap wilayah Kerajaan-kerajaan yang ada ditanah Melayu, armada lautnya bahkan sudah menguasai Selat Malaka, salah satu akses utama (dari Eropa) menuju Pulau Jawa.

Sejak didaulat Louis, kebijakan-kebijakan Deandels terhadap rakyat dan otoritas kerajaan-kerajaan yang ada di Pulau Jawa dikenal sangat keji dan sadis. Khususnya di Banten, dimana kala itu masih ada otoritas Kerajaan (Islam) Banten. Selain wilayah berbatasan dengan dan oleh dekatnya pengawasan Batavia. secara teritorial, perairan laut Banten juga menghadap ke Selat Malaka. Sehingga sangat dikhawatirkan Deandels menjadi pintu masuk bagi pasukan tentara Inggris ke Pulau Jawa.

Mungkin kita masih ingat dengan jalan Anyer-Panarukan, dimana mercusuar Bojong yang menjadi titik 0 dari jalan sepanjang sekitar 1000 Kilometer keujung Timur Pulau Jawa ini. Dalam banyak versi sejarah, jalan lintas pantai utara (Pantura) Jawa ini dibangun oleh Daendels dengan sistem kerja rodi. Namun dalam versi penulis, kemungkinan jalan ini sebelumnya sudah ada sebagai jalur perlintasan antar Kerajaan (Banten, Jayakarta yang diganti Batavia oleh Belanda, Cirebon, Demak), yang dilakukan Daendels bisa jadi hanya memperlebar ruas jalan ini dengan kerja paksa untuk mempermudah perlawanan/ mobilisasi tentara dan kendaraan perang darat Belanda ketika ada kapal pasukan Inggris yang mendarat di Pantai Utara Jawa.

Beda halnya dengan di Utara, diujung barat Pulau Jawa, Deandels membangun Benteng atau pangkalan perang untuk membendung masuknya kapal Inggris ke Pulau Jawa.
Akan tetapi, hadir rasa pilu, tragis dan menyayat hati dalam kisah sejarah pembangunan benteng yang mengorbankan ribuan rakyat pribumi ini untuk kerja rodi disana.

Pada tahun 1808, Deandels meminta 1000 orang kepada Sultan Banten untuk kerja rodi membangun Pangkalan Perang. Dengan berat hati Sultan menyuruh Patih menyediakan para pekerja.
Akan tetapi ditengah pembangunan, para pekerja banyak yang sakit dan menderita bahkan diantaranya banyak yang meninggal dan yang tersisa pun menjadi lemah disebabkan serangan Malaria yang kala itu dikenal “uap racun”. Kemudian diantara yang tersisa banyak melarikan diri dari daerah yang rawa-rawa yang jarang terjamah manusia.

Mengetahui hal itu Deandels pun marah dan membuat penjara di Tanjung Layar untuk menahan para pekerja yang kabur dengan dibantu Nelayan yang dianggap oleh Deandels sebagai Bajak Laut yang pro kepada Kesultanan Banten. Yang menjadi fokus kemarahannya adalah sang Patih karena dianggap menjadi dalang kaburnya para pekerja. Adanya kabar semakin tegangnya Kerajaan Inggris dan Prancis, Deandels pun kemudian menyurati Sultan Banten yang isinya meminta 3 hal:
1. Menyerahkan Patih untuk dihukum Pemerintah kolonial Hindia Belanda.
2. Kembali menyediakan 1000 orang untuk kerja rodi di Tanjung Layar
3. Meminta Sultan memindahkan Kesultanan Banten dari Keraton Surosowan karena akan diambil alih oleh Belanda untuk menjadi Benteng perlawanan terhadap pasukan kapal Inggris yang semakin mengancam di Selat Malaka.

Tentu saja Sultan Banten menolaknya, dan pada sekitar tahun 1812-1813, Deandels yang dikenal kejam inipun menyerang Kesultanan Banten dengan kekuatan dan pasukan penuh dari Batavia. Dan seperti kita ketahui keadaannya Keraton Surosowan sekarang, hancur akibat arogansi “tangan besi” Deandels.

Loading...

Dan pada akhirnya, Pangkalan Perang Hindia Belanda di Tanjung Layar ini tidak pernah terselesaikan.
Pada masa itu pula Tanjung Layar menjadi lokasi tempat penjara dari para pekerja rodi yang kabur dan Nelayan yang membantu Sultan. Dan yang baru berhasil dibangun adalah mercusuar pertama sekitar waktu itu.

Selain itu, di Cibom daerah yang tidak jauh dari Tanjung Layar, terdapat sisa-sisa dermaga Cibom. Hingga kini masih dapat dilihat dengan adanya formasi batu bata dan tiang besi pancang.
Disepanjang jalan menuju Tanjung Layar (dari Cibom) terdapat pal-pal batu petunjuk jarak, sumur-sumur air, kuburan-kuburan dan sisa bangunan pasangan batu bata.

DPRD Pandeglang

Terdapat juga sebuah tangga batu bata menuju ke lokasi mercusuar yang pertama dengan tinggi 40 meter, menjorok ke arah laut.
Diduga mercusuar pertama dibangun Deandels, sebagian fisik bangunannya terbuat dari batu asli. Pada tahun 1880, bagian atas mengalami kerusakan yang parah akibat gempa bumi. Mercusuar runtuh sesudah letusan Gunung Krakatau tahun 1883, dan bagian dasarnya yang bundar sekarang menjadi tempat tangki air besar. Sisa-sisa tangga batu yang melingkar dapat dilihat di kompleks bawah.

Kemudian mercusuar ini di bangun lagi dengan kontruksi baja dan dilengkapi sebuah lampu gas dengan ketinggian 25 meter.
Namun, mercusuar yang ada sekarang dibangun pada tahun 1972. Kata nelayan setempat letaknya lebih masuk kedalam dari lokasi Tanjung Layar (mercusuar yang lama) dan harus ditempuh dwngan jalur darat sekitar 2 Jam dan terdapat pos untuk para penjaga. Dengan tinggi 40 meter (atau 65 meter di atas pemukaan laut) lampunya dapat dilihat dari jarak 25 mil laut. Di seberang Selat Sunda di Pantai Sumatera.

Walaupun merusuar sudah yang ada sekarang bisa dikatakan hasil pembangunan Pemerintah Indonesia karena dibangun kembali untuk kebutuhan navigasi pelayaran. Namun sisa-sisa bukti struktur fisik dari mercusuar lama, dermaga, penjara, kuburan dan sebagainya menjadi kisah sejarah peninggalan Kolonial Hindia Belanda diujung Barat Pulau Jawa.

Bila sepintas mengilustrasikan struktur peninggalan tersebut, medan darat, dan sumber abstrak, penulis menganalisa sepertinya dulu ribuan pekerja rodi tersebut diangkut Belanda dari kawasan Banten Utara dengan menggunakan kapal besar yang sandar di Cibom, kemudian meneruskan dengan jalur darat ke Tanjung Layar.

Kawasan diujung barat Pulau Jawa ini yang secara administrasi masih masuk wilayah Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang ini merupakan kawasan konservasi Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Diakhir tulisan ini, saya masih saja terbayang dengan para korban kerja rodi ini, betapa kasihan mereka berpisah dengan keluarganya di wilayah Kesultanan Banten di Utara, mungkin banyak keluarganya yang saat itu sangat kehilangan dan anak keturunannya yang tidak mengetahui kuburannya.
Maka, saya minta kepada para pembaca sekalian, untuk kiranya berkenan mendo’akan atau mengirimi Al-fatihah, kepada ruh-ruh para korban kerja rodi Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda diawal abad 19 yang wafat di ujung Barat Pulau Jawa ini. (*)

*Dari banyak sumber
*Penulis adalah Jurnalis Fakta Banten

Ks rc
WP-Backgrounds Lite by InoPlugs Web Design and Juwelier Schönmann 1010 Wien