Pengamat Sebut 100 Hari Kerja Walikota dan Wakil Walikota Serang Penuh Sensasi Serta Minim Prestasi
SERANG– Pemerintahan dalam kepemimpinan Wali Kota Budi Rustandi dan Wakil Wali Kota Serang Nur Agis Aulia dinilai pengamat penuh sensasi serta minim prestasi selama 100 hari pertama keduanya bekerja
Penilaian ini berdasarkan evaluasi tajam yang datang dari lembaga kajian Election and Democracy Studies (EDS). Lembaga ini juga menilai bahwa periode awal keduanya lebih sarat kontroversi dan seremoni ketimbang capaian nyata.
Dilantik pada 20 Februari 2025 usai meraup suara lebih dari 60 persen, pasangan Budi–Agis dinilai belum menunjukkan gebrakan signifikan dalam pemerintahan. EDS menyebut 100 hari pertama ini sebagai “panggung populisme seremonial.”
Pendiri EDS sekaligus Pengamat Hukum Tata Kelola Pemerintahan,
Yhannu Setyawan, mengatakan program-program unggulan seperti Serang Makmur, Serang Cerdas, hingga Serang Bebas Pungli masih minim realisasi konkret dan cenderung simbolik.
Satu indikatornya, kata dia, lemahnya kinerja awal terlihat dari capaian Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Serang yang baru menyentuh angka 15,42% hingga Mei 2025.
Meski demikian, pemerintah tetap menargetkan PAD sebesar Rp600 miliar pada 2026, angka yang dinilai tidak realistis tanpa adanya peta jalan fiskal yang terukur.
Program lainnya seperti Serang Sehat dan Serang Digital pun belum menampakkan kemajuan nyata. Meski program BPJS untuk warga miskin telah diumumkan, pelaksanaannya belum jelas.

Aplikasi layanan publik “Ragem” yang diandalkan dalam digitalisasi layanan justru dinilai hanya meneruskan warisan pemerintahan sebelumnya yang belum efektif menjangkau masyarakat luas.
EDS juga menyoroti tajam penandatanganan nota kesepahaman Corporate Social Responsibility (CSR) dengan PT Pantai Indah Kapuk Dua (PIK 2).
Korporasi yang belum memiliki basis ekonomi di Kota Serang tersebut justru sudah diminta kontribusi hibah, memunculkan kekhawatiran soal potensi “jebakan filantropi strategis” yang bisa menutupi agenda bisnis tanpa kajian manfaat yang transparan.
“Forum CSR Kota Serang bahkan belum memiliki legitimasi publik yang kuat. Ketika mereka menyatakan urgensi menerima PIK 2, ini justru memperkuat kecurigaan publik akan potensi konflik kepentingan,” ujar Yhannu, dikutip Minggu (8/6/2025).
Program lain seperti Serang Mengaji, Serang Kreatif Produktif, Serang Menyala, hingga Serang Bebas Banjir, menurut EDS, masih berada pada level slogan. Beberapa belum memiliki indikator kinerja, dan lainnya hanya menjadi pelengkap seremoni tahunan.
Dugaan pungutan liar di Kelurahan Banjarsari pada April 2025 juga menjadi preseden buruk bagi jargon “bebas pungli.” Tanggapan pemerintah yang menyebut kasus tersebut sebagai “inisiatif pribadi oknum” dinilai justru melemahkan kredibilitas komitmen terhadap reformasi birokrasi.
“Jika narasi ‘pembangunan butuh waktu lebih dari 100 hari’ hanya dijadikan dalih untuk menutupi ketiadaan hasil, maka ini adalah alarm dini bagi kredibilitas pemerintahan,” tegas Yhannu.
EDS menyimpulkan bahwa pemerintahan Budi–Agis sejauh ini belum berhasil mengubah momentum politik menjadi momentum pelayanan publik yang substansial.
“Jika tren retorika ini terus berlanjut tanpa pembenahan serius, kekecewaan warga dikhawatirkan akan berkembang menjadi bentuk referendum sosial terhadap kepemimpinan mereka dalam lima tahun ke depan,” pungkas Yhannu. (*/Ajo)