Pagar Misterius di Laut Tangerang Bersertifikat, Nelayan Kholid Miqdar Tegaskan Bakal Melawan
TANGERANG-Isu mengenai pagar bambu sepanjang 30,16 km di laut Kabupaten Tangerang, tengah hangat diperbincangkan dan disoroti publik. Teranyar, kawasan pagar laut tersebut telah bersertifikat Hak Guna Bangunan (HGB).
Nelayan yang terkena dampak pagar misterius di Laut Tangerang, Kholid Miqdar menegaskan bakal melawan tindakan kesewenangan-wenangan tersebut.
Kholid Miqdar yang juga Nelayan Pontang Kabupaten Serang mengatakan, pagar laut di perairan merupakan bentuk nyata pengkavlingan atau privatisasi sumber daya laut. Hal ini sebagai bentuk nyata perampasan laut oleh korporasi.
“Tindakan ini menunjukkan bagaimana pemerintah membiarkan terjadi ketidakadilan sosial terjadi yang mengakibatkan nelayan kecil menjadi korban ketidakadilan karena akses dan kontrol atas laut dirampas,” kata Kholid, Selasa (21/1/2025).

Ia menilai, pemerintah terkesan abai pada kasus ini. Padahal, kata dia, pemagaran itu jelas melanggar hukum. Apalagi dalam kasus ini, terlihat jelas korporasi mendapatkan keistimewaan dibandingkan rakyat nelayan dan masyarakat pesisir Banten, merupakan bentuk
“Terbitnya HGB di perairan pesisir ini menunjukkan pemerintah menganggap perairan serupa layaknya tanah pada kepulauan dan daratan,” ujarnya.
Selain melanggar undang-undang, Kholid menganggap munculnya HGB di perairan sebagai bentuk pengakuan wilayah laut bagi segelintir golongan.

Kholid menjabarkan, HGB tersebut dilegitimasi oleh aturan turunan rezim UU Cipta Kerja/Omnibus Law dalam PP 18/2021 dan PP 43/2021.
Aturan itu sebelumnya, terdapat dalam Permen ATR/BPN No. 17/2016 tentang Penataan Pertanahan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menjadi legitimasi hukum terhadap HGB di perairan tersebut.
Dalam Pasal 65 ayat (2) PP 18/2021, menunjukkan bahwa pemberian HGB tersebut diterbitkan oleh perizinan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Kemudian dalam Pasal 17 PP 43/2021 menunjukkan kontradiksi pengaturan karena memutihkan dan legalisasi pelanggaran adanya hak atas tanah yang diterbitkan di wilayah perairan.
Dalam kewajiban memberikan ruang dan akses kepada nelayan, pembudi daya ikan dan petambak garam yang menunjukkan pemerintah yang menerbitkan aturan tidak memahami realitas sosial ketimpangan kuasa antara nelayan dengan pemilik modal yang merupakan unequal treatment yang melanggar konstitusi UUD 1945.
Atas adanya persoalan itu, ribuan para nelayan Banten terkena dampak dan mengalami kerugian yang tak sedikit.
Kholid juga menuntut lima terkait pemagaran itu, pertama, laut jangan di kavling dan di privatisasi, lalu ditransaksikan. Kedua, tambak dan sawah jangan diurug untuk kepentingan pengusaha yang serakah.
“Ketiga, kami rakyat negara Indonesia tidak ingin dikuasai dan dikendalikan oleh korporasi yang diistimewakan. Kempat, kedaulatan negara tidak boleh kalah dengan oligarki. Terakhir, jika instrumen negara tidak digunakan untuk mengurus kami, maka kami akan melawan sendiri korporasi itu,” pungkasnya. (*/Ajo)
