Menengok Upaya Pemuda Cilegon Dalam Melestarikan Kesenian Ubrug

CILEGON – Ubrug sebagai kesenian teater rakyat yang sepadan dengan menampilkan keaktoran yang penuh lawakan khas daerah Banten.

Sebagaimana halnya suku bangsa di seluruh Indonesia, di Betawi punya Lenong, Jawa Barat ada Longser-nya, Jawa Tengah dengan Ketoprak-nya, Jawa Timur dengan Ludruk-nya. Banten khususnya di Kota Cilegon memiliki kesenian khas Ubrug.

Dari semua bentuk kesenian teater rakyat di daerah-daerah, terbentuknya kesenian tersebut merupakan hasil dari asimilasi kesenian keraton dan kesenian masyarakat yang berbaur lintas geografis, berkembang sesuai dengan karakter daerahnya.

Istilah Ubrug diambil dari bahasa Sunda yaitu saubrug-ubrug yang artinya bercampur baur. Dalam pelaksanannya, kesenian Ubrug di Banten ini memang bercampur yaitu antara pemain atau pelaku dari latar Sunda, Jawa dan selipan Melayu.

Keberadaan Ubrug di Cilegon dulu pernah populer mengisi acara hiburan rakyat seperti untuk tanggapan hajatan, acara pemerintahan dan acara-acara masyarakat Cilegon lainnya. Namun seiring pergeseran zaman dengan modernisasi global dan arus pembangunan di Cilegon. Kini mungkin orang-orang Cilegon berusia di atas 30 tahunan masih mengetahui Ubrug dan segelintir anak muda yang mungkin kenal namanya saja. Karena eksistensi Ubrug di Cilegon kini bisa dikatakan nyaris punah.

LBC (Lembaga Budaya Cilegon) salah satu yang berupaya menghidupkan kembali kesenian rakyat Ubrug ini dengan mendirikan komunitas “Ubrug Bandos”.

Ditemui disela-sela latihan menjelang pementasan Ubrug di SMP PGRI Cilegon besok, saat ditemui Fakta Banten Minggu, (21/5/2017) di Sanggar Ubrug Bandos di Link Kuweni, Kelurahan Kalitimbang Cibeber, Ketua LBC Bambang Irawan, mengatakan akan tetap menjaga eksistensi kesenian Ubrug ini di Cilegon.

“Besok kita ada pementasan di SMP PGRI Cilegon, jadi hari ini kita sedang persiapan perform. Walaupun ‘terseok-seok’, bagaimanapun Ubrug ini akan terus kami pertahankan,” ujar Bambang.

Lebih lanjut, pria yang akrab disapa kang Bambang ini, mengutarakan walaupun terkendala dana untuk terus menghidupkan kesenian Ubrug ini.

“Terseok-seok dalam arti kita keterbatasan dana untuk mengadakan alat musik pengiring pementasan Ubrug. Sehingga dalam menghidupkan kembali Ubrug ini yang kami tampilkan adalah Ubrug Modern karena iringan musiknya tape recorder,” jelas Kang Bambang.

Sementara Yanto, Ketua Ubrug (Modern) Bandos ini menjelaskan, perbedaan Ubrug Modern dengan Ubrug Klasik.

Dikatakannya perbedaan hanya karena tidak menggunakan alat musik asli atau secara langsung.

“Ubrug Modern ini ada 17 orang kang, bedanya dari yang klasik karena kami belum mampu memiliki perangkat alat musik untuk mengiringi pementasan. Alat musik seperti kendang, angklung, gong, terompet dan sebagainya,” kata pria yang akrab disebut Yanto Maning ini.

Pemuda yang sangat bersemangat untuk terus menghidupkan Ubrug di Cilegon ini juga mencatat keberadaan Ubrug asli atau klasik yang ada di Cilegon sedang vakum.

“Namun keterbatasan alat musik itu tidak menyurutkan upaya kami untuk terus menghidupkan Ubrug ini. Ubrug yang masih asli atau mempunyai alat musik ada dua; ‘Kembang Tanjung’ di Klelet dan ‘Jemede’ di Cimerak,” pungkas Kang Yanto.

Melihat semangat belasan pemuda dalam mempertahankan seni budaya Cilegon ini, sudah sepatutnya Pemkot Cilegon untuk mengapresiasi perjuangan mereka dalam melestarikan kesenian Ubrug ini dengan membantu segala kekurangannya seperti dukungan luar biasa Pemkot kepada peguron-peguron seni bela diri. (*)

Honda