Sentimen Gender dan Agama Disebut Masih Kuat dalam Pilpres

JAKARTA – Politik identitas dalam hal perbedaan jenis kelamin atau gender dan agama masih sangat kuat dalam masyarakat Indonesia terkait dengan pemilihan presiden.

Demikian temuan studi yang dilakukan ilmuan politik, Prof. Saiful Mujani. Temuan ini dipresentasikan dalam program ‘Bedah Politik bersama Saiful Mujani’ episode “Politik Identitas Dalam Pilpres 2024” melalui kanal Youtube SMRC TV pada Kamis, (27/72023).

Saiful menjelaskan bahwa politik identitas adalah politik yang bersandar pada identitas sosial. Di Indonesia, identitas sosial dimasukkan dalam satu kelompok yang disebut SARA (suku, agama, ras, dan antar-golongan).

Namun ada satu identitas sosial yang penting dan luput dari perbincangan politik sehingga tidak masuk dalam kategori SARA, yaitu identitas gender, laki-laki dan perempuan.

Saiful melihat bahwa berpolitik dengan sikap diskriminatif pada perempuan, misalnya, belum dimasukkan sebagai persoalan SARA. Diskusi mengenai identitas biasanya hanya memasukkan aspek kedaerahan, suku, dan agama.

“Unsur gender tidak dimasukkan ke dalam perdebatan itu,” katanya.

Guru Besar Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta itu menyatakan akan menarik jika memasukkan unsur gender dalam perbincangan politik, sebab faktanya, pada kepemimpinan nasional, Indonesia belum pernah punya presiden yang terpilih secara langsung oleh publik.

Adapun Megawati yang pernah menjadi presiden, dia terpilih melalui pemilihan di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), bukan berdasarkan pilihan masyarakat secara luas.

Pertanyaannya adalah, sejauh mana inklusivitas masyarakat Indonesia dari sisi politik identitas berkaitan dengan perbedaan gender? Menurut Saiful, ada sejumlah tokoh nasional perempuan yang berkualitas, seperti menteri keuangan Sri Mulyani dan menteri luar negeri Retno Marsudi.

Tapi dalam politik elektoral, mereka belum begitu kuat. Setidak-tidaknya tidak ada tokoh perempuan yang didukung oleh partai politik untuk menjadi calon presiden.

Sempat muncul isu tentang Puan Maharani sebagai calon presiden, namun aspirasi untuk Puan sebagai calon presiden tidak berkembang. Apakah semua ini merupakan cerminan dari sikap pemilih secara umum yang kurang inklusif dari sisi identitas sosial dalam perilaku politik?

Saiful Mujani Researh and Consulting (SMRC) memiliki data hasil survei nasional Juli 2023 yang salah satunya membahas tentang seberapa penting politik identitas atau politik yang bersandar pada sentimen identitas sosial.

Idealnya, kata Saiful, preferensi politik masyarakat disandarkan pada pertimbangan-pertimbangan rasional. Rasional artinya adalah sesuatu yang bisa diperdebatkan atau bisa dinilai salah atau benar. Sementara identitas seperti gender dan agama tidak bisa dinilai salah atau benar.

Menurut pendiri SMRC tersebut, politik yang inklusif dilihat dari sisi identitas sosial idealnya menunjukkan kurva normal di mana yang eksklusif minoritas dan yang banyak adalah mereka yang menganggap perbedaan identitas seperti agama, etnis, dan gender bukan faktor yang utama dalam pilihan politik. Kalau kelompok yang tidak mempersoalkan identitas sosial dalam perilaku politik itu dominan, maka politik menjadi lebih rasional dan bisa lebih programatik.

Dalam studi ini, diajukan tiga pendapat mengenai presiden republik Indonesia dilihat dari latar belakang laki-laki dan perempuan: ada yang berpendapat presiden Indonesia harus laki-laki, pendapat kedua menyatakan presiden Indonesia harus perempuan, dan pendapat ketiga adalah bahwa perbedaan laki-laki dan perempuan untuk presiden Indonesia tidak penting.

Hasilnya, 51 persen publik yang menyatakan presiden Indonesia harus laki-laki, 1 persen menyatakan harus perempuan, 45 persen menyatakan perbedaan laki-laki dan perempuan untuk presiden Indonesia tidak penting, dan 4 persen tidak jawab.

Menurut Saiful, data ini menunjukkan sikap patriarkal dalam masyarakat Indonesia sangat besar. Dalam hal apakah presiden Indonesia harus laki-laki atau perempuan, kecenderungan masyarakat Indonesia harus laki-laki.

Pijat Refleksi

“Kalau selama ini tidak mudah bagi seorang perempuan untuk kompetitif dalam politik hal itu terjadi karena basis masyarakatnya memang patriarkal,” ungkap Doktor Ilmu Politik dari Ohio State University, Amerika Serikat, itu.

Dari sisi etnis atau suku bangsa, ada 78 persen yang menyatakan perbedaan etnis atau suku tidak menjadi masalah dalam memilih presiden, hanya 17 persen yang menyatakan calon yang etnis atau sukunya sama dengan mereka, dan 5 persen tidak menjawab.

Menurut Saiful, hal ini menunjukkan masyarakat cukup inklusif dari sisi etnisitas dalam pemilihan presiden. Di negara-negara demokratis lain, sentimen etnis masih cukup kuat, seperti terjadi di Spanyol.

Dalam hal agama, ketika ditanya di antara calon-calon presiden yang akan maju dalam Pilpres mendatang, 50 persen menyatakan akan memilih calon yang agamanya sama, 45 persen menyatakan perbedaan agama tidak menjadi masalah, dan 5 persen tidak tahu.

Saiful menjelaskan bahwa identitas agama punya pengaruh yang sangat kuat dalam pemilihan presiden.

“Secara umum, pada dasarnya masyarakat Indonesia cenderung eksklusif secara agama dalam menentukan pilihan politik mereka dalam pemilihan presiden. Orang memilih bukan karena calonnya kompeten dan rekam jejaknya bagus, tapi karena agamanya sama dengan saya (pemilih),” jelas Saiful.

Apakah perbedaan identitas sosial itu akan memengaruhi pilihan politik dalam Pilpres? Studi ini menemukan bahwa yang menyatakan presiden harus laki-laki, 42 persen memilih Prabowo, 30 persen Ganjar, dan 28 persen Anies. Yang menyatakan presiden harus perempuan, 43 persen memilih Prabowo, 29 persen Ganjar, dan 29 persen Anies.

Sementara yang menyatakan perbedaan jenis kelamin untuk presiden Indonesia tidak penting, 40 persen memilih Prabowo, 41 persen Ganjar, dan 19 persen Anies.

Saiful menjelaskan bahwa perbedaan gender signifikan secara statistik dalam pemilihan presiden.

“Yang terlihat berbeda ada pada pemilih Ganjar, lebih tinggi yang menyatakan perbedaan gender tidak penting dibanding yang menyatakan presiden harus laki-laki.

Sebaliknya, pemilih Anies yang menyatakan presiden harus laki-laki lebih banyak dibanding yang tidak mempersoalkan identitas gender. Sedangkan pada Prabowo, perbedaan pandangan itu tidak berbeda secara signifikan.

“Yang berbeda di sini adalah pada pemilih Anies dan Ganjar. Yang memilih Anies lebih patriarkal dan yang memilih Ganjar lebih inklusif,” kata penulis buku Muslim Demokrat tersebut.

Studi ini menunjukkan bahwa sisi etnisitas tidak terlalu penting dalam menentukan pilihan warga. Selisih antara yang memilih calon yang etnisnya sama dan tidak mempersoalkan etnisitas tidak berbeda signifikan secara statistik dengan p-value 0,262 atau di atas 0,05.

Sementara faktor agama sangat kuat. Ada 44 persen yang menyatakan akan memilih calon yang agamanya sama dengan mereka memilih Prabowo, sementara yang menyatakan perbedaan agama tidak penting 38 persen.

Pada pemilih Ganjar, yang menyatakan akan memilih calon yang seagama 26 persen dan 45 persen yang tidak mempersoalkan agama. Sementara pada pemilih Anies, 30 persen yang memilih calon yang seagama dan hanya 17 persen yang tidak mempersoalkan agama.

Seperti pada kasus identitas gender, Saiful menyatakan bahwa efek dari identitas juga terlihat lebih jelas pada Ganjar dan Anies.

Secara umum, Saiful menyatakan bahwa politik identitas pada masyarakat Indonesia masih penting, terutama yang berkaitan dengan gender atau jenis kelamin dan agama.

“Masyarakat kita belum inklusif dalam persoalan gender dan agama. Anda harus berpikir dua kali (untuk maju dalam kepemimpinan nasional) kalau anda perempuan atau berasal dari agama minoritas,” simpulnya. (*/Faqih)

KPU Cilegon Terimakasih
WP-Backgrounds Lite by InoPlugs Web Design and Juwelier Schönmann 1010 Wien