Mengenal Sosok Brigjend KH Syam’un, Pendiri Al-Khairiyah
*) Oleh: Ilung (Sang Revolusioner)
SEBAGAI lembaga pendidikan formal berbasis Islam tertua di Provinsi Banten, yakni Al-Khairiyah hingga kini masih terus eksis memberikan pencerahan kepada masyarakat luas. Tentunya hal ini tidak lepas dari sosok pendirinya Al Mukarrom Brigjend KH Syam’un bin H Alwiyan.
Perguruan Islam Al-Khairiyah yang berlokasi di Citangkil Kota Cilegon, Provinsi Banten, ini dalam perjalanan sejarahnya didirikan dalam beberapa tahap, dari sistem pesantren (tradisional), dengan masih mempertahankan sistem pertama pada tahap kedua dengan system madrasah (klasikal) dan hingga kini terus berkembang beberapa perguruan tinggi, dan saat ini sedang tahap rencana terbentuknya Universitas Al-Khairiyah.
Figur KH Syam’un yang dilahirkan pada tanggal 05 April 1894 oleh seorang Ibu yang bernama Hj Hajar, dan ayahnya yang bernama H Alwiyan dari Kampung Beji, Bojonegara, Kabupaten Serang ini, merupakan cucu dari KH Wasyid, seorang pemimpin perjuangan melawan pemerintah kolonial Belanda di Cilegon pada bulan Juli, tahun 1888 yang dikenal dengan Peristiwa Geger Tjilegon.
Sejak KH Syam’un masih belia, yakni tahun 1898 – 1900, beliau sudah mengenyam gemblengan di pesantren Delingseng di bawah asuhan KH. Sa’i, dan tahun 1901-1904 beliau memasuki pesantren Kamasan di bawah asuhan KH. Jasim di Kampung Kamasan, Desa Kamasan, Kecamatan Cinangka, Kabupaten Serang. Pada tahun 1905-1910, beliau melanjutan studi ke Makkah, dan pada tahun 1910-1915 beliau melanjutkan studi ke AL-Azhar University di Kairo, Mesir.
Sepulangnya dari Makkah dan Mesir, pada tahun 1916-1963, beliau mengabdikan ilmunya dengan membina dan memimpin pesantren Citangkil, yang kemudian di tingkatkan dan terus berkembang yang kita kenal bernama Al-Khairiyah hingga saat ini.
Di bawah kepemimpinannya, para santri (siswa) yang belajar semula di pesantren itu berasal dari desa sekitarnya saja, selanjutnya berkembang banyak sekali santri-santri yang berasal dari luar Cilegon dan Banten, bahkan ada diantaranya yang dari Jawa Barat, Lampung dan daerah lainnya.
Dari para santrinya, lulusan pertama diantaranya seperti;
1. KH. Ahmad
2. KH. Ali Jaya
3. KH. Muhammad
4. KH. Moh. Nur
5. KH. Moh. Zein
6. KH. Moh. Sadeli
7. KH. Ismail
8. KH. Karna
9. Kyai Rosyidin
10. Kyai Arifuddin
11. KH. Asy’ari
12. KH. Rafe’i
13. Kyai M. Sufi
14. KH. Halimi
15. KH. Abdul Jali
Para lulusan pesantren yang dipimpin oleh KH.Syam’un sebagaimana tersebut diatas, adalah santri produk periode 1916-1925. Mereka berbai’at (berjanji) akan berjuang untuk melanjutkan cita-cita KH Syam’un dan mengembangkan pendidikan-pendidikan agama Islam, dan sampai saat ini tampaklah madrasah-madrasah dengan nama Perguruan Islam Al-Khairiyah yang menyebar ke berbagai daerah dari Cilegon, Serang Jawa Barat dan Lampung.
Antara tahun 1923-1925, KH Syam’un kembali ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji kembali dan mengajar di Masjidil Haram. Sementara itu para santri beliau kembali ke asalnya masing-masing sambil mengembangkan ilmu-ilmu mereka.
Setelah beliau kembali dari Makkah (1925), beliau kembali mengembangkan pesantrennya di Citangkil dengan beberapa diantaranya mengikuti model pendidikan yang pernah dialaminya di Al-Azhar University, Mesir. Dan pada tanggal 5 Mei 1925 beliau merubah nama pesantren dan madrasahnya menjadi Al-Khairiyah. Nama tersebut diambil dari nama sebuah bendungan (Al-Khairiyah) di sungai Nil Mesir.
Di tengah pengabdiannya pada pendidikan, di tahun 1943-1948 beliau menjadi tentara Pembela Tanah Air (DAI DANCO PETA) di Serang pada saat pendudukan tentara Jepang. Pada Tahun 1945-1948 beliau diangkat menjadi panglima Divisi Banten
dengan pangkat Brigadir Jenderal merangkap menjadi Bupati Kabupaten Serang.
Di Masa Perang Dunia II, sebagaimana diketahui pada tahun 1942, Jepang merebut dan menduduki Pulau Jawa umumnya dan Banten pada khususnya termasuk di dalamnya daerah Citangkil. Pendudukan Jepang tersebut membawa perubahan-perubahan sebagai akibat atau resiko dari keadaan perang pada waktu itu, baik dalam bidang ekonomi, sosial, politik maupun yang lainnya.
Di dalam masa pendudukan Jepang ini, Madrasah Al-Khairiyah Pusat Citangkil (juga mungkin yang lainnya) mengalami beberapa kesulitan, antara lain: ekonomi, transportasi, komunikasi dan lain-lain.
Maka, dengan pertimbangan;
-Jepang tidak akan lama berkuasa di Indonesia (menurut ramalan hanya seumur jagung)
-Perhitungan politis; sesudah perang dunia ke II maka terbuka lebar jalan menuju Indonesia Merdeka.
-Untuk tercapainya Indonesia Merdeka dibutuhkan perjuangan yang gigih dari segala segi, terutama perjuangan fisik.
-Jepang membutuhkan tenaga Bangsa Indonesia untuk melawan sekutu dalam melanjutkan perangnya. Oleh karenanya Jepang memberikan kesempatan kepada Bangsa Indonesia untuk memasuki Militer Jepang dengan nama “Hei Hoo” atau tentara sukarela dengan nama Pembela Tanah Air (PETA).
Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, pada tahun 1943-1945, KH Syam’un beserta sebagian anak muridnya memasuki PETA dan dilatih oleh Jepang di Bogor. Selesai latihan, beliau pulang dan membentuk PETA di Serang dan beliau sebagai pimpinannya dengan sebutan “Dai Dan Choo” dengan pangkat Brigjend.
Semasa di Bogor tahun 1943 itu, kepemimpinan Al-Khairiyah Citangkil sementara dipercayakan kepada Ustdaz Syibromelisi Awi, salah seorang anak didiknya.
Pada tahun 1945-1950 yang dikenal masa revolusi/kemerdekaan dan sejak terbentuknya BKR (Badan Keamanan Rakyat) yang kemudian diganti menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat) Divisi 1000/Banten, dan kemudian berubah lagi hingga kini menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia).
Peran KH Syam’un pada waktu itu sudah ke kancah Nasional atau setara dengan tokoh seperti Jenderal Soedirman yang kini sudah dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional, karena KH Syam’un menjadi panglima divisi 1 yang membawahi Banten, Bogor, Sukabumi. Kolonel AH Nasution Panglima divisi 3 Priangan. Sedangkan kolonel Soedirman panglima divisi 5 membawahi wilayah Banyumas kedu.
Lebih lengkapnya, Pemerintah melalui Presiden mengeluarkan Dekrit dan Maklumat No. 6 tanggal 5 Oktober 1945 tentang didirikannya Tentara Keamanan Rakyat di Yogyakarta dengan Panglima TKR Supriyadi (tokoh pemberontak Peta Blitar) dan Kepala Staf Umum Letjen Urip Sumoharjo. Di pulau Jawa dibentuk 10 Divisi TKR yaitu :
-Divisi I Banten – Bogor dengan Panglima Kolonel KH.Syam’un.
-Divisi II Jakarta – Cirebon dengan Panglima Kolonel Asikin.
-Divisi III Priangan dengan Panglima Kolonel Aruji Kartawinata.
-Divisi IV Pekalongan – Semarang – Pati dengan Panglima Jenderal Mayor GPH. Djatikusumo.
-Divisi V Banyumas – Kedu dengan Panglima Kolonel Sudirman.
-Divisi VI Madiun – Kediri dengan Panglima Jenderal Mayor Sudiro.
– Divisi VII Bojonegoro – Surabaya dengan Panglima Jenderal Mayor Jonosewoyo.
-Divisi VIII Malang – Besuki dengan Panglima Jenderal Mayor Imam Sujai.
-Divisi IX Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Panglima Kolonel Sudarsono.
-Divisi X Surakarta dengan Panglima Kolonel Sutarto.
Dan paska kalahnya Jepang (Setelah Hiroshima dan Nagasaki di bom atom) dalam Perang Dunia II, Belanda bersama pasukan kembali masuk dan menduduki Kota Serang. KH Syam’un ditawan di gedung Kabupaten Serang, pada malam harinya (malam jum’at) setelah sholat magrib, beliau berhasil meloloskan diri dan bersembunyi di salah satu rumah di Serang. Pada pagi harinya beliau meninggalkan Kota Serang menuju ke Gunungsari.
Tepatnya hari Senin pagi tanggal 28 Februari 1948/ 1 Jumadil awal 1368 Hijriyah, beliau meninggal dunia dikarenakan penyakit yang dideritanya. Di tengah-tengah bergerilya di bukit Cacaban Desa Kamasan, Kecamatan Cinangka Kabupaten Serang, beliau pun dikebumikan disana.
Pada waktu beliau meninggal dunia, Madrasah-madrasah Cabang Al-Khairiyah sudah mencapai 81 Madrasah Cabang yang sudah berdiri.
Atas peran dan jasa-jasa pengorbanan perjuangan beliau terhadap bangsa ini, maka sudah selayaknya pemerintah Indonesia untuk memberikan award/penghargaan (tanda jasa) kepada KH Syam’un sebagai Pahlawan Nasional.
Karena selain jasanya dulu, peninggalan beliau lembaga pendidikan Al-Khairiyah yang sudah banyak tersebar sampai ke beberapa daerah, dan hingga kini masih terus berjalan dalam mencerdaskan anak bangsa.
Apalagi kini di bawah kepemimpinan H Ali Mujahidin dan Ustadz Alwiyan yang merupakan cucu dari KH Syam’un, dalam beberapa tahun ini Perguruan Islam atau Ormas Islam Al-Khairiyah terus berbenah dalam mengembangkan pendidikan berbasis Islam kepada generasi bangsa ini. (*)
*) Penulis adalah Jurnalis Fakta Banten Online