KH Ali Jaya: Ulama Ahli Hikmat, Camat dan Negosiator
Oleh: Maftuh Ajmain
KH Ali Jaya adalah salah satu dari 25 santri generasi awal KH Syam’un yang telah berkontribusi terhadap eksistensi organisasi besar Al-Khairiyah. Ia dikenal sebagai negosiator ulung dan pandai menggalang dana untuk menopang operasional Al-Khairiyah.
Ali Jaya lahir di Delingseng, Cilegon, sekitar tahun 1901. Ayahnya disebutkan bernama Aldin. Namun tidak dapat diperoleh keterangan lebih lanjut mengenai Aldin ini.
Di usia anak-anak, Ali Jaya belajar ilmu agama kepada ustad di kampung halamannya, Delingseng. Ketika usianya beranjak remaja, ia mondok di pesantren yang diasuh KH Syam’un.
Seiring berjalannya waktu, Ali Jaya diajak oleh KH Syam’un untuk ikut terlibat mendirikan madrasah dengan sistem pendidikan ala modern. Madrasah ini diberi nama madrasah Al-Khairiyah.
Diambilnya nama Al-Khairiyah dikarenakan KH Syam’un saat masih menuntut ilmu di Mesir, terinspirasi oleh sebuah bendungan yang ada di anak sungai Nil yaitu Qanathir al-Khairiyah yang berada di Provinsi Qalyubiyah, Mesir.
Bendungan tersebut dapat mengairi sekian luas lahan pertanian sehingga meningkatkan taraf hidup masyarakat yang ada di sekitarnya. Madrasah Al-Khairiyah juga diharapkan seperti bendungan tersebut, yakni banyak menebarkan kemanfaatan bagi masyarakat di sekitarnya.
KH Syam’un melihat kelebihan Ali Jaya dalam melakukan negosiasi dan membangun jaringan. Oleh karena itu, ia mengutus Ali Jaya untuk ke Lampung dalam rangka penggalangan dana demi berdirinya madrasah. Tugas yang diberikan oleh gurunya tersebut, dilaksanakan dengan baik.
Berhasil membantu Al-Khairiyah di Citangkil, Ali Jaya kemudian melebarkan daya jangkau madrasah. Ia mendirikan cabang madrasah Al-Khairiyah di Delingseng, pada tahun 1929. Madrasah ini adalah madrasah cabang pertama yang Al-Khairiyah dirikan.
Pada tahun 1931, untuk mengelola lembaga pendidikan secara lebih baik, KH Syam’un mendirikan organisasi yang diberi nama “Jam’iyyah Nahdat asy-Syubban al-Muslimin”. Ali Jaya dipercaya untuk menduduki jabatan ketua (Voorzitter).
Di bawah kepemimpinannya ini, organisasi yang mengelola dan mengembangkan madrasah di berbagai daerah mengalami pertumbuhan jumlah yang pesat. Dapat dikatakan bahwa pada tahun 1930-an, Al-Khairiyah mengalami masa keemasannya.
Madrasah-madrasah yang berada di bawah naungan Al-Khairiyah tidak hanya berdiri di sekitar Banten, bahkan juga berdiri di Lampung (1936) dan Palembang (1939).
Pengabdian Ali Jaya bersama dengan gurunya ini, tidak terbatas pada bidang pendidikan. Di tahun 1945 saat KH Syam’un diangkat menjadi Bupati Serang, Ali Jaya ditunjuk untuk menjadi Kepala Kantor Kecamatan Cinangka.
Saat itu, Kecamatan Cinangka dikenal sebagai gudangnya para perampok. Hampir setiap hari laporan kriminalitas perampokan terjadi di sekitar Cinangka.
Ali Jaya adalah ulama yang pemberani. Ia juga disebut-sebut sebagai ahli hikmat, yaitu ulama yang memiliki ilmu-ilmu supranatural.
Sebagai camat, ia diberi fasilitas seekor kuda. Dengan mengendarai kuda, Ali Jaya sering keluar masuk kampung-kampung untuk berpatroli dan sekaligus untuk memastikan keamanan wilayahnya.
Di samping Ali Jaya pernah menjadi camat Kecamatan Cinangka, ia juga pernah menduduki camat Kecamatan Pulomerak dan camat Leuwidamar, Rangkasbitung.
Ketika pemerintah pusat mempunyai program Pembangunan Perluasan Pabrik Besi Baja, yakni Krakatau Steel, madrasah Al-Khairiyah Pusat Citangkil terkena dampak perluasan yang mengharuskan relokasi.
Ali Jaya sekali lagi menunjukkan sebagai ahli negosiasi. Ali Jaya mengusulkan agar pemerintah membangun kembali madrasah tersebut lengkap dengan sarana dan prasarana belajarnya, seperti lapangan olahraga, aula pertemuan, asrama, kantin, masjid, perumahan guru, dan kantor. Tanah yang terkena gusuran perlu diganti menjadi luasnya tiga kali lipat dari luas tanah semula.
Usulan Ali Jaya tersebut diterima oleh pemerintah dengan terbitnya Surat Keputusan Pemerintah Daerah Tingkat I Gubernur Jawa Barat No 336 tahun 1973.
Seperti yang bisa disaksikan kini, Al-Khairiyah Pusat Citangkil masa sekarang adalah bangunan baru hasil relokasi dari Al-Khairiyah Citangkil masa dulu. Sementara tempat asal madrasah Al-Khairiyah sudah “ditumbuhi” pabrik-pabrik Krakatau Steel.
Ali Jaya wafat karena sakit dan usia yang sudah udzur. Ia berangkat haji ke Mekkah dan berniat melanjutkan perjalanan ke Madinah. Akan tetapi karena ia sakit, ia kembali ke tanah air dan meninggal dunia pada tahun 1982.
Catatan Minggu, 25 Agustus 2019.