Muhammadiyah-NU Mundur dari Program Organisasi Penggerak Kemendikbud

JAKARTA – Pimpinan Pusat Muhammadiyah melalui Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) menyatakan mundur dari Program Organisasi Penggerak (POP) yang telah diluncurkan Kemendikbud pada 10 Maret 2020 lalu. Program Organisasi Penggerak merupakan bagian Merdeka Belajar yang fokus mencapai hasil belajar siswa dalam peningkatan numerasi, literasi, dan karakter.

Dikutip dari CNNIndonesia, Ketua LP Ma’arif NU, Arifin Junaidi menjelaskan alasan mundur karena hasil seleksi calon organisasi penggerak tidak mencerminkan konsep dan kriteria organisasi penggerak yang jelas.

“Sehingga tidak ada pembeda dan klasifikasi antara lembaga CSR dengan lembaga masyarakat yang layak dan berhak mendapatkan bantuan dari pemerintah,” ujarnya pada Rabu (22/7/2020).

Muhammadiyah dikenal serius bergerak di bidang pendidikan dalam membantu negara. Wakil Ketua Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah PP Muhammadiyah, Kasiyarno, menilai Program Organisasi Penggerak merupakan program serius dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan dan penguatan sumber daya manusia. Sehingga sebagai salah satu garda terdepan bangsa, melalui Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah, PP Muhammadiyah sempat menyatakan komitmen untuk ikut bersama mewujudkan perubahan pendidikan.

Muhammadiyah juga sudah mengajukan proposal Program Pengembangan Kompetensi Kepala Sekolah dan Guru Penggerak untuk mewujudkan perubahan pendidikan di Indonesia.

”Mengingat rekam jejak yang dimiliki persyarikatan Muhammadiyah terhadap bangsa ini telah dilakukan sejak tahun 1918, yang meliputi tidak hanya dibidang kesehatan dan gerakan sosial keummatan tetapi juga bidang pendidikan,” kata Kasiyarno dalam keterangan tertulisnya, Selasa (21/7/2020).

Ia menjelaskan, infrastruktur yang dimiliki oleh Majelis Dikdasmen di wilayah Indonesia sudah sangat lengkap. Dalam melaksanakan kegiatan itu, Perguruan Tinggi Muhammadiyah di pelosok negeri akan dilibatkan dalam program pengembangan kompetensi kepala sekolah dan guru penggerak di seluruh wilayah.

Sementara dalam kasus Nahdlatul Ulama, Arifin Junaidi menilai, program ini dari awal sudah janggal. Pasalnya, dia mengaku, pihaknya dimintai proposal dua hari sebelum penutupan.

“Kami nyatakan tidak bisa bikin proposal dengan berbagai macam syarat dalam waktu singkat, tapi kami diminta ajukan saja syarat-sayarat menyusul. Tanggal 5 Maret lewat website mereka dinyatakan proposal kami ditolak,” jelasnya.

Dalam perjalanannya, Muhammadiyah memutuskan untuk mundur dari Program Organisasi Penggerak Kemendikbud. Setidaknya ada tiga pertimbangan utama yang mendasari keputusan itu.

“Setelah kami mengikuti proses seleksi dalam Program Organisasi Penggerak Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kemendikbud RI dan mempertimbangkan beberapa hal maka dengan ini kami menyatakan mundur dari keikutsertaan program tersebut,” tegas Kasiyarno.

Berikut tiga pertimbangan PP Muhammadiyah mundur dari Program Organisasi Penggerak:

1. Muhammadiyah memiliki 30.000 satuan pendidikan yang tersebar di seluruh Indonesia. Persyarikatan Muhammadiyah sudah banyak membantu pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan sejak sebelum Indonesia merdeka. Sehingga tidak sepatutnya diperbandingkan dengan organisasi masyarakat yang sebagian besar baru muncul beberapa tahun terakhir dan terpilih dalam Program Organisasi Penggerak Kemdikbud RI sesuai surat Dirjen GTK tanggal 17 Juli Tahun 2020 Nomer 2314/B.B2/GT/2020.

Kartini dprd serang

2. Kriteria pemilihan organisasi masyarakat yang ditetapkan lolos evaluasi proposal sangat tidak jelas. Karena tidak membedakan antara lembaga CSR yang sepatutnya membantu dana pendidikan dengan organisasi masyarakat yang berhak mendapatkan bantuan dari pemerintah.

3. Muhammadiyah akan tetap berkomitmen membantu pemerintah dalam meningkatkan pendidikan dengan berbagai pelatihan, kompetensi kepala sekolah dan guru melalui program-program yang dilaksanakan Muhammadiyah. Sekalipun tanpa keikutsertaan kami dalam Program Organisasi Penggerak ini.

Menurut Kasiyarno, tiga pertimbangan itu menjadi dasar Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah PP Muhammadiyah mundur dari Program Organisasi Penggerak Kemedikbud RI. Ia juga meminta Kemendikbud meninjau kembali program tersebut.

“Kami mengusulkan agar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI meninjau kembali terhadap surat tersebut untuk menghindari masalah yang tidak diharapkan di kemudian hari,” tutupnya.

Dilansir dari merdeka.com, saat ini Lembaga Pendidikan Maarif NU sedang fokus menangani pelatihan kepala sekolah dan kepala madrasah 15 persen dari total sekolah/madrasah.

“Tadi pagi kami dihubungi untuk ikut rakor pagi tadi, saya tanya rakor apa dijawab rakor POP. Saya jawab belum dapat SK penetapan penerima POP dan undangan. Dari sumber lain kami dapat daftar penerima POP. Ternyata banyak sekali organisasi/yayasan yang tidak jelas ditetapkan sebagai penerima POP,” ujar Arifin Junaidi.

Entah mengapa, Arifin mengungkapkan, pihak Kemendikbud kembali menghubungi Lembaga Pendidikan Maarif NU untuk melengkapi syarat-syarat. Kala itu, dia menjelaskan, Lembaga Pendidikan Maarif NU diminta menggunakan badan hukum sendiri bukan badan hukum NU.

“Kami menolak dan kami jelaskan badan hukum kami NU. Kami terus didesak, akhirnya kami minta surat kuasa dan memasukkannya di detik-detik terakhir,” tegasnya.

“Meski kami tidak ikut POP kami tetap melaksanakan progran penggerak secara mandiri,” tutupnya.

Sementara itu, Sampoerna Foundation dan Tanoto Foundation masuk menjadi salah dua dari 156 ormas yang lolos sebagai Organisasi Penggerak. Mereka masuk Organisasi Penggerak dengan Kategori Gajah. Untuk kategori ini organisasi penggerak bisa mendapatkan alokasi anggaran hingga Rp 20 miliar per tahun dengan sasaran lebih dari 100 sekolah baik jenjang PAUD/SD/SMP.

Dengan demikian Sampoerna Foundation maupun Tanoto Foundation masing-masing bisa mendapatkan anggaran hingga Rp.20 miliar untuk menyelenggarakan pelatihan bagi para guru penggerak di lebih 100 sekolah.

Yayasan-yayasan dari perusahaan raksasa bisa menerima anggaran dari pemerintah untuk menyelenggarakan pelatihan guru. Padahal yayasan-yayasan tersebut didirikan sebagai bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility).

Seharusnya dengan semangat CSR mereka mengalokasikan anggaran dari internal perusahaan untuk membiayai kegiatan yang menjadi concern perusahaan dalam memberdayakan masyarakat. (*/IBtimes)

Polda