Awal Tahun, Memasuki Masa Tanam Bagi Petani di Cilegon

*) Oleh : Cholis

PERAWAKANNYA kurus, tinggi, dan mempunyai kulit sawo matang yang mulai mengkerut. Tak ketinggalan, kopiah hitam berlist kuning bertuliskan Marlboro selalu melekat di kepalanya.
Ditangannya, terselip sebatang rokok Gudang Garam Merah yang sesekali ia hisap. Tak lupa, kopi hitam yang dibawanya dari rumah ia seruput sesekali di sela ia merokok.

Sebelum aktivitas dimulai, ia menikmati kopi dan rokok sambil memandang hamparan sawah yang mulai menyempit.
Duduk di galeng (pembatas sawah) adalah tempat favorit sebelum atau sesudah membajak sawah. Tepat disampingnya, Kerbau yang ia bawa sedang asyik melahap rumput. Garu (alat tradisional untuk penghalus tanah) ia letakan di sampingnya.

Tidak jauh dari itu, para petani lain sedang menyiapkan karung yang akan mereka gunakan sebagai wadah semaian bibit. Bibit-bibit itu akan dipindahkan ke sawah yang telah selesai di Garu.

Pagi itu, Minggu, 14 Januari 2018, Langit cerah biru, awan berjalan peralahan ke arah timur, setelah semalam hujan ringan. Matahari kian lama kian naik dan mulai terasa dikulit.

Hatani (70), warga Lingkungan Kubuang Saron, Kelurahan Tegalratu Kecamatan Ciwandan Kota Cilegon, sedang bersiap-siap membajak sawah untuk segera ditanami padi. Pagi itu, Ia tidak mempedulikan cuaca yang semakin siang semakin panas.
Ia sedang mempersiapkan peralatannya untuk dipasang di leher dan keapala Kerbau. Setelah selesai, terdengar suara “cia-cia” dari mulut Hatani, sebagai petanda agar kerbau segera bekerja.

Mendengar kata itu, Kerbau mulai berjalan dan memulai aktivitasnya. Membajak sawah satu petak, berukuran 20×30 meter. Hatani dan Kerbaunya berjalan perlahan, tangan kanan kiri Hatani memegang tali yang mengikat di kepala kerbau sedangkan tangan kanan memegang Garu.
Ia sudah sejak dulu berprofesi sebagai Petani. Di sawah adalah aktifitas sehari-harinya. Dibantu istri dan anak-anaknya ia menggarap sawah mulai dari tanam hingga panen.

Bulan Desember-Januari adalah bulan yang tepat untuk menanam padi. Karena bulan ini intensitas hujan tergolong tinggi. Hal ini memudahkan bagi petani agar tidak mengalami kekeringan.

Di Ciwandan, dalam musim tanam, para petani bisa menanam sebanyak dua kali periode. Setelah panen di periode pertama, petani akan melakukan Balik Dami (menanam kembali), memanfaatkan curah hujan yang masih tersisa.

Kartini dprd serang

Namun tidak semua petani melakukan ini, karena dalam perjalannya, ketika padi tumbuh, terkadang curah hujan tak menentu menyebabkan padi menjadi kering.
Saat ini, para petani belum mempunyai sumur bor. Sumur yang bisa mengantisipasi tanaman kering saat curah hujan semakin rendah. Mereka hanya memanfaatkan kali disekitarnya dengan cara sedot air. Itupun bila air kali tidak surut.

Tidak banyak petani yang mempunyai lahan sendiri, beberapa diantarnya masih menggunakan sistem sewa bagi hasil. Perbandingnnya 2:1, bila panen menghasilkan tiga karung, pemilik tanah kebagian satu karung dan petani dua karung.

Selain bagi hasil, sistem tanam dan panen dilakukan bergotong royong antar warga kampung. Dalam menanam dan panen, biasanya yang mengolah lahan akan memberitahukan kepada keluarga dan tetangga untuk membantu. yang membantu menanam akan terlibat dalam memanen.

Bagi hasil dilakukan antara pembantu panen dan pengolah lahan (petani). Perbandingannya, satu petak sawah pembantu petani akan mendapatkan empat ember padi.

Sistem panen yang dilakukan adalah masih menggunakan sistem tradisional, dengan mengarit kemudian menggebot (dipukul di kayu/bambu yang sudah di rakit). Sebelumnya, masyarakat Ciwandan menggunaka sistem ani-ani (alat cutting memanen padi menggunakan tangan), sistem panen dengan mengambil padinya saja, tanpa di arit dari bawah.
Namun sistem ini perlahan mulai ditinggalkan. Perubahan cara panen dari Ani-ani ke Gebotan dilakukan sekitar tahun 2000-an. Menurut keterangan Hatani, cara gebot lebih efektif dan lebih cepat. Sehingga padi yang sudah dipanen bisa langsung digiling.

“Dulu kan di Ani, terus di Palu, sampai Padi misah dari tangkainya. Pekeraannya lebih lama dibandingkan di Gebot. Karena kalo di Gebot Padi langsung terpisah dari tangkai dan siap untuk di jemur” Hatani menerangkan.

Untuk memanen padi, para petani harus menunggu selama 90 hari. Sampai padi mulai merunduk terlihat kuning dan siap untuk dipanen. Dalam prosesnya, Petani harus intens mengawasi, supaya padi tidak kena hama secara meluas yang menyebabkan gagal panen.

Pada umur satu bulan, hama Keong siap menyerang dan harus diambil setiap sorenya. Bulan berikutnya, hama ulat akan mengganggu proses tumbuhnya daun Padi, menyemprot menggunakan obat menjadi satu-satunya pilihan. Bulan ketiga, burung-burung akan mengintai dan memakan setiap tangkai Padi yang sudah tumbuh. Biasanya para petani akan menggunakan Jejodog (orang-orangan sawah).

Dalam tahap proses 3 bulan itu, petani harus intens mengawasi. Mulai dari mencari Keong, menyemprot pupuk hingga menjaga dari intaian burung. (*)

 

*) Penulis adalah wartawan Fakta Banten Online

Polda