Puasa, Pelajaran Hidup Prihatin dari Nabi Muhammad SAW dan Keluarganya

Sankyu

*) Oleh: Ilung (Sang Revolusioner)

RAMADHAN memang fenomena tersendiri dalam perekonomian Indonesia. Ketika sebagian besar masyarakat berpuasa dengan konsekuensi konsumsi makanan berkurang, justru permintaan bahan pangan melonjak. Masyarakat cenderung konsumtif dengan membeli makanan berlebih dibandingkan bulan-bulan biasa.

Studi AC Nielsen di bulan Ramadhan menunjukkan penjualan barang konsumen di Indonesia naik 9,2 persen. Penjualan biskuit misalnya meningkat 11 kali lipat, ikan dan daging kalengan naik dua kali lipat, sosis dan bakso meningkat 34 persen. Itu di pasar modern. Di pasar tradisional juga terjadi peningkatan permintaan yang tinggi.

Logika pasar, ketika permintaan naik, harga akan terdorong naik. Tetapi, masih ada satu lagi yang berperan, yakni para tengkulak atau spekulan yang berada di antara produsen dan konsumen. Mereka ini memanfaatkan momen puasa untuk mempermainkan harga. Jika kenaikan harga terjadi karena kenaikan permintaan X, misalnya, spekulan menjadikannya X+1 sehingga keuntungan mereka berlipat karena harga naik tak terkontrol.

Mungkin ada baiknya kita mencoba berpuasa, sebagai salah satu jalan untuk kembali menemukan wajah asli kita. Berpuasa dari segala kesenangan, agar kita pun bisa lebih belajar memahami kebutuhan. Berpuasa dari segala bisikan yang tidak sejalan dengan hati nurani kita. Tidak mudah memang, berjalan melawan derasnya arus yang ada. Akan tetapi, setidaknya jalan ini yang kini bisa kita upayakan untuk kembali pada kemurnian, kembali pada kesejatian.

Berbicara tentang wajah asli kita, dalam tradisi Mudik Lebaran mungkin tanpa kita sadari kita pun mencoba menggali di mana tanah kelahiran kita, mencari leluhur kita. Akan tetapi, setidaknya dengan belajar memahaminya, kita bisa menjadikannya masukan untuk kemudian kita proses dalam perjalanan hidup kita dengan Ibadah puasa yang tengah kita jalani di bulan suci Ramadhan ini.

Puasa adalah kontemplasi ‘laku prihatin’ merog-rog keaseman jiwa, secara kultur merupakan tradisi para leluhur kita dahulu dalam menempuh jalan hidup yang mulia. Dan hal itu sangat sejalan secara tauhid, puasa Ramadhan adalah perintah Allah SWT kepada ummat Islam. Maka Kanjeng Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa risalah agama Islam sangat perlu untuk kita ummat Islam jadikan panutan dan diteladani.

Maka ada baiknya saat kita puasa mengetahui kisah prihatin kehidupan Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya, untuk kita aktualisasikan dengan kehidupan kita sekarang.

Setelah dibantai dengan jenis kekejaman yang sukar dicari tandingannya dalam peradaban umat manusia, penggalan Sayidina Husein putra Fatimah putri Muhammad Rasulullah SAW diarak, diseret dengan kuda sampai sejauh 1.300 kilometer. Wallahua’lam , ada yang bilang dibawa sampai ke Mesir, yang lain bilang ke Syria –sebagaimana ada beberapa makam Sunan Kalijogo di Pulau Jawa– tapi pasti pembantaian sesama muslim itu terjadi di Karbala.

Orang yang mencintai beliau bisakah menangis hanya dengan mengucurkan air mata, dan bukan darah? Jutaan pencintanya memukul-mukul dada mereka agar terasa derita itu hingga ke jantung dan menggelegak ke lubuk jiwa. Ribuan lainnya membawa cambuk besi atau apa saja yang bisa melukai badan mereka agar kucuran darah itu membuat mereka tidak siapa pun kecuali Imam Husein sendiri.

Orang yang mencintai melarutkan eksistensinya, melebur, hilang dirinya, dirinya sirna, menjadi orang yang dicintainya. Keperihan maut Husein itulah yang menjadi sumber kebesaran jamaah Syi’ah di dunia. Duka yang mendalam atas apa yang dialami cucu Nabi itulah yang membuat kaum Syiah menyerahkan hatinya dengan sangat penuh perasaan kepada komitmen ahlul bait, keluarga Nabi.

Sekda ramadhan

Sementara di pusat Islam sendiri, Arab Saudi, kerajaan yang didirikan oleh koalisi keraton Abdul Aziz dengan ulama Wahabi, konsentrasi emosional terhadap ahlul bait sangat dicurigai sebagai gejala syirik yang melahirkan berbagai jenis bid’ah , yakni perilaku-perilaku budaya keagamaan yang diciptakan tidak atas dasar ajaran Nabi sendiri, sehingga dianggap mengotori kemurnian peribadatan Islam.

Semacam ”dendam sejarah” yang berasal dari tragedi Karbala itulah yang melahirkan soliditas sistem imamah dalam budaya keagamaan kaum Syi’ah. Kepemimpinan dan keumatan dalam Syi’ah merupakan kohesi horizontal-vertikal yang sangat berbeda vitalitasnya dibandingkan dengan tradisi kaum Sunni.

Kaum Sunni menyebut Abu Bakar, Umar, dan Utsman dulu sebelum Ali. Bahkan tidak secara spesifik menyebut Hasan dan Husein. Orang Syi’ah jengkel kepada ketiga khalifah itu karena menurut versi sejarah mereka, tatkala Nabi Muhammad SAW wafat, yang menguburkan hanya Ali, Aisyah, Fatimah, Abbas, dan seorang lagi pekerja penguburan. Sementara Abu Bakar, Umar, dan Utsman sibuk di Tsaqifah atau ”KPU” yang memproses siapa pemimpin pengganti Nabi — tanpa memedulikan jenazah Nabi.

Bahkan, ketika tengah malam usai penguburan, sejumlah rombongan dipimpin Umar menggedor rumah Ali untuk memaksa menantu Nabi ini menandatangani pengesahan pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah pertama. Sayidina Hasan, kakak Husein, juga tak kalah sialnya. Pagi-pagi, ia disuguhi racun oleh istrinya yang lantas mengaku bahwa itu atas suruhan Muawiyah.

Hasan memaafkan istrinya, dan besok pagi sesudah kejahatannya dimaafkan, sang istri kembali menyuguhkan racun, Hasan meminumnya dan menemui ajal.
Dalam kandungan hati orang Syiah, memang tidak banyak orang menderita seperti Rasulullah Muhammad SAW: jenazah beliau belum diurus, orang-orang yang sangat dicintainya sudah ribut memperebutkan jabatan. Nabi unggul dan sangat populer sepanjang sejarah, tapi rumah yang ia tempati bersama Aisyah istrinya hanya seluas 4,80 x 4,62 meter. Makhluk diciptakan oleh Allah berupa cahaya, namanya Nur Muhammad –meskipun secara biologis ia dihadirkan 600 tahun sesudah Isa/Yesus– namun semasa hidupnya ia menjahit sendiri baju robeknya, mengganjal perut laparnya dengan batu di balik ikat pinggangnya, dan waktu wafat masih punya utang beberapa liter gandum.

Manusia yang paling mencintai Allah dan paling dicintai Allah, namun Allah merelakan keningnya berdarah dilempar batu oleh pembencinya, mengizinkannya mengalami tenung sebelum menerima tiga surah firman-Nya. Tak ada kemewahan dunia apa pun melekat padanya. Bahkan, ia tak sanggup menolong Fatimah putrinya yang beberapa hari bersembunyi telanjang dalam selimut di kamar karena pakaiannya dijual Ali suaminya untuk bisa makan.

Muhammad dan keluarganya sangat disayang, bahkan dicintai dengan gelegak rasa perih, karena derita. Ia pun memilih karakter abdan nabiyya, nabi yang rakyat jelata, dan menolak ditawari Allah menjadi mulkan nabiyya, nabi yang raja diraja.

Allah menawarinya jabatan raja agung dengan kekayaan berupa gunung emas — yang ternyata memang sudah disediakan oleh-Nya, di wilayah antara Madinah dan Mekkah, yang hari ini menjadi cadangan kekayaan Arab Saudi, di samping tambang minyak temuan baru di perbatasan Saudi-Yaman yang hari ini bisa menjadi sumber konflik antara kedua negara. Sebab, jika Yaman menguasai sumber minyak itu, karena daerah geografisnya lebih rendah, maka minyak Saudi di perut bumi akan terserap olehnya.

Rasulullah pernah bersabda bahwa kelak kaumnya akan mengalami kekalahan dan hidup dalam kehinaan, karena ”hubbud dunya wa karohiyatul maut” — kemaruk pada harta dunia dan takut mati.

Semoga sepenggal kisah keprihatinan hidup yang dialami Kanjeng Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya ini bisa menjadikan pembelajaran bagi kita yang sedang menempuh ibadah puasa dengan belajar hidup prihatin. (*)

*) Penulis adalah Jurnalis Fakta Banten Online

Honda