Sejarah Peradaban Islam di Cilegon Sebelum Masa Walisongo dan Kesultanan Banten

Sankyu

Oleh : Sang Revolusioner

BANYAKNYA kisah sejarah yang tertulis dan mungkin sebagian sudah menancap pada ingatan orang-orang Banten dan umumnya Indonesia, yang lazimnya menganggap bahwa awal masuknya agama Islam di Banten adalah pada masa Walisongo Abad 15 atau tepatnya setelah Sultan Hassanudin Banten menyebarkan syiar Islam dan secara simbolik mendirikan Keraton Surosowan di Banten pada awal Abad 16.

Padahal jauh sebelum periode itu, tepatnya pada Abad 13 syiar Islam sudah masuk ke Banten melalui pesisir Utara yakni di Cilegon, sebagaimana penyebaran Islam di tanah Jawa yang umumnya bermula di pesisir Utara, seperti Leran-Gresik, Tuban di Jawa Timur, Demak di Jawa Tengah, Cirebon, Karawang di Jawa Barat. Hal ini dikuatkan oleh rujukan sejarawan Banten, KH. Nawawi Sahim, saat Fakta Banten menyambangi kediamannya di daerah Kebon Dalem, Kota Cilegon, Rabu (26/4/2017).

Cilegon di Abad 13 adalah sebuah Kerajaan Hindu Legon Gede yang dipimpin oleh Ki Gdheng Teulageu Wangi. Berpusat di Legonan Gede Teulage Wangi (yang kini bernama kampung Tegal Wangi Kecamatan Grogol).

Letak Teulageu Wangi diapit oleh dua candi, yakni Candi Dangdang (sekarang kampung Cidangdang-Grogol) dan Candi Wuluh (yang sekarang kampung Sumur Wuluh-Grogol) dan Altar persembahannya diatas gunung yakni Watu Lawang, yang mungkin serpihan batu-batu sisa peninggalan candi itu masih ada sampai sekarang.

Di pertengahan Abad 13 sejalan dengan masuknya Islam di negeri jawawut (sebutan pulau Jawa Jawawut – Al Jawi). Pada periode pertama Islam masuk di Leran Gresik dibawa oleh Maulana Malik Ibrahim. Dan masuknya Islam di Lemmah Wungkuk Caruban (Cirebon, sekarang) yang dibawa oleh Syaikh Nur Djati. Sejalan dengan itu masuklah Islam yang dibawa pesyiar dari Negeri Kesultanan Cempa (Kampucia atau sekarang Kamboja).

Dua pesyi’ar asal Kesultanan Cempa itu, Syaikh Hasanudin (Anak Ulama Cempa) dan Syaikh Qudrotullah bin Barkat Zainal Alim bin Jamaludin (Sultan Cempa nasab ke 19 dari Nabi Muhammad SAW).

Dalam perjalanannya, Syaikh Hasanudin mendarat di Tanjung Wadas, Keruwing (sekarang Karawang), menetap di Dukuh Kruwing dan mendirikan pesantren Quro dengan santri pertamanya Nyi Mas Subang Larang (anak Sultan Malaka). Nyi mas Subang Larang ini dinikahi oleh Prabu Siliwangi (Raja Padjajaran), mempunyai anak 3, yakni Walang Sungsang, Rara Santang dan Kian Santang.

Kemudian, Rara Santang dinikahi sama Sultan Mesir Syarief Abdulah dan mempunyai anak Syarief Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati.

Sedangkan Syaikh Qudrotullah melanjutkan perjalanan pelayarannya untuk syiar Islam, mendarat di Tanjung Gibig Maraki (sekarang Merak). Merak masih masuk kekuasaan Kerajaan Legon Gede.

Memulai syiar peng-Islaman dengan mendirikan Pedukuhan Grogol (Grogol nama sebuah rumah yang dibuat dari bambu bulat direnteng atau diikat sejajar). Lalu Syaikh Qudrotullah menikah dengan puteri Ki Gdheng Telageu Wangi yang bernama Nhai Naras Wati (gelar ningrat Hindu kuno untuk laki-laki Gdheng, sedangkan perempuan bergelar Nhai).

Orang Grogol yang pertama masuk Islam yaitu Mbah Bolong yang makamnya dekat dengan makam Sunan Ampel di Surabaya.

Syaikh Qudrotulloh pertama mendirikan Masjid di Kampung Masigit (Masigit dulunya sebutan Sunda pada Masjid) agar dekat dengan air buat hidup dan berwudhu yaitu Sumur Menjangan (sekarang kampung Sumur Menjangan).

Sekda ramadhan

Daerah Grogol dulunya adalah daerah susah air, satu-satunya mata air yaitu Sumur tempat minum binatang Menjangan (jenis binatang khas pegunungan daerah Legon Gede yaitu Menjangan Wulung).
Syaikh Qudrotulloh wafat dan dimakamkan di perbukitan Grogol berdampingan dengan putranya Syaikh Abdul Karim.

“Hasil pernikahan Syarief Qudrotulloh dengan Nhai Naraswati mempunyai anak dua yaitu Syaikh Abdul Karim dan Syarifah Halimah,” lanjut cerita KH Nawawi kepada Fakta Banten.

Lebih lanjut, Sejarawan sekaligus Kyai yang masih aktif di Yayasan Al-Khairiyah dan Paku Banten ini menerangkan bagaimana perkembangan Islam pasca wafatnya Syarif Qudrotulloh ini.

Setelah Islam berkembang di daerah Legon Gede di akhir Abad 13 mendaratlah seorang Syaikh dari daerah Bukhoro (wilayah Uni Soviet) seorang putera dari Pendiri Thoriqoh Saziliyah yaitu Syaikh Malik Isroil bin Syaikh Sazili.

Mendarat di Tanjung Wadas Bojonegareu (Bojonegara) dimana saat itu di Bojonegareu Hindu berkembang pesat dengan kuwunya Ki Gdeng Ireng dan berpusat di dukuh Peragasan Candi.

Syaikh Malik Isroil adalah Ahli Fiqih Syiasyah (fiqih tata negara dan politik). Syaikh Malik Isroil menikahi Syarifah Halimah anak dari Syaikh Qudrotulloh Grogol. Kemudian dan membuat pedukuhan di bawah pertonggohan (bukit) yakni Pedukuhan Beici (sekarang kampung Beji).

“Karena Islam berkembang pesat di sebagian besar wilayah Hindu Legon Gde. Masyarakat yang sudah bertauhid ketika itu ingin mempersiapkan pembentukan Tatanan Kesunanan maka banyaklah orang berdatangan dari berbagai daerah baik dari Mataram, Perlak dan lain-lain,” tuturnya lagi.

Sejarawan yang juga merupakan keturunan ke 13 dari Syaikh Qodratulloh ini mengakhiri ceritanya saat malam mulai larut.

Maka Kampung Baici dikenal dengan sebutan Kampung Santri. Maulana Malik Isroil wafat dan dimakamkan di atas Bukit Kampung Baici (Gunung Santri), Syaikh Malik Isroil hasil pernikahannya dengan Syarifah Halimah mempunyai anak Syarief Kajib (Syarif Hizbullah), Syarief Kajib meneruskan syi’ar Islam ayahnya di wilayah Pegunungan Hindu Bojonegareu sampai wafat dan dimakamkan di Gunung Gede.

Dan syiar Islamnya diteruskan oleh putranya yakni Syaikh Djamaludin yang membuat Pedukuhan di daerah Meudakseu untuk meng-Islamkan penduduk Hindu pimpinan Ki Gdeng Pujut Suralayeu dan Syaikh Djamaludin meninggal dan dimakamkan di pegunungan Meraki (pelabuhan merak).

Keturunan para peng-Islam Legon Gde masih banyak tinggal di Cilegon dan masih konsisten sampai sekarang dalam membina Umat.

Wallahu a’lam.
Astaghfirullohal Adhim.
Semoga bermanfaat ..

Selanjutnya: Persinggungan Islam dan Hindu…

Honda