DPK Banten Diskusi Buku Manis Tapi Tragis; Kisah Saidja Adinda dalam Novel Max Havelaar

 

LEBAK – Novel Max Havelaar yang ditulis oleh Multatuli atau Eduard Douwes Dekker pada tahun 1859 tak lekang oleh zaman. Tiap tahunnya menjadi tema yang terus didiskusikan dari berbagai disiplin ilmu.

Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (DPK) Provinsi Banten pun tak ketinggalan. Dalam program diskusi buku yang biasa digelar tiap pekan luring dan daring, DPK memberikan waktu khusus untuk mendiskusikannya dengan Kepala UPT Museum Multatuli, Ubadillah.

Sementara buku yang dibahas yakni Buku prosiding simposium Manis Tapi Tragis, Kisah Saidja Adinda dalam Novel Max Havelaar. Buku tersebut merupakan salah satu dari tiga buku yang diterbitkan Festival Seni Multatuli tahun 2021.

Kepala Bidang Deposit, Pengembangan Koleksi dan Layanan Perpustakaan pada DPK Provinsi Banten, Evi Syaefudin mengatakan, diskusi buku kali ini tidak hanya ingin memperkenalkan kisah Saidja dan Adinda, atau Multatuli sebagai penulisnya, tapi juga Kota Rangkasbitung sebagai sebuah daerah pusat kolonialisme pada masa itu.

Kartini dprd serang

“Ini penting dan harus diketahui anak-anak muda saat ini, bahwa Kita Rangkasbitung atau Lebak bahwa sejak dulu kota ini sudah multikultural. Pasti ada alasan yang kuat, kenapa Belanda membangun jalan kereta, selain sebagai pusat perdagangan,” kata Evi pada Minggu, 21 Agustus 2022.

Sementara itu, Kepala Museum Multatuli, Ubaidillah mengatakan, ada beberapa alasan kuat kenapa Multatuli atau Eduard Douwes Dekker.

Pertama ia ingin membersihkan nama baiknya, keluarga dan anak cucunya bahwa dia pernah bekerja di Hindia Belanda.

Kedua ia ingin novel tersebut dibaca oleh Kerajaan Belanda bahwa orang Jawa di Hindia Belanda dianiaya. Itu tidak bisa dibantah. Maka dari itu, Roman yang ia tulis itu menggunakan bahasa rakyat yang vulgar bahwa orang Jawa dianiaya.

“Pesan yang ingin ia sampaikan bahwa ada orang Jawa yang tidak bisa berbuat adil, dan ada orang Belanda yang bisa berbuat adil. Ada rakyat yang teraniaya, ada pemimpin lokal yang tidak bisa berbuat adil. Dia melihat ketidakadilan itu dan tahu apa yang harus dilakukan; menulis buku. Ia ingin novelnya dibaca,” kata Ubay. (*/Adv)

Polda