Keluh Nelayan di Lebak Minta Pemerintah Legalkan Menangkap Benur

Loading...

 

LEBAK – Nelayan di Desa Muara, Kecamatan Wanasalam, Kabupaten Lebak mengeluhkan adanya kebijakan pemerintah yang melarang benur atau benih lobster untuk ditangkap secara sembarang apalagi untuk diekspor.

Pasalnya, para nelayan yang ada di wilayah Banten Selatan itu sempat merasakan membaiknya perekonomian dari menangkap benur.

Namun, terbitnya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 17 Tahun 2021 tentang penutupan ekspor benur atau benih lobster membuat kehidupan nelayan semakin terhimpit.

Seperti disampaikan salah satu istri nelayan di Kabupaten Lebak, Siti (47) yang mengaku kehidupan ekonomi keluarganya merosot drastis usai tak lagi leluasa menangkap benur yang ada di Perairan Binuangeun, Lebak.

Itu karena, lanjut Siti, para nelayan di daerahnya merasa kesulitan bila harus mengandalkan perekonomian keluarga dari hasil menangkap ikan saja lantaran perubahan cuaca yang sudah tak menentu.

“Kalau jumlah tangkapan ikan tak menentu. Kalau benur iti jumlahnya lebih banyak dan lebih bernilai tinggi. Kalau (menangkap) benur legal, lebih sejahtera nelayan ini,” ungkapnya saat acara dialog para nelayan bersama Pegiat Budidaya Lobster Nusantara (PBLN) pada Sabtu (5/8/2023) di Kabupaten Lebak.

Siti mengaku, bahwa saat ini para nelayan masih mencoba menangkap benur dengan jumlah sedikit meski harus dengan sembunyi-sembunyi karena takut ditangkap oleh petugas kepolisian setempat sebagai tambahan untuk penghidupan keluarga.

PCM

Bahkan tak jarang, kata Siti, dirinya pun diminta oleh sang suami untuk membawa benur mengunakan plastik berwarna hitam agar tidak diketahui oleh petugas kepolisian setempat.

“Intinya kami ingin sekali penangkapan benih lobster ini legal, jadi enggak ada istilah sembunyi-sembunyi, bawa lobster pakai plastik hitam supaya enggak kelihatan, apalagi ada pengusaha yang ditangkap. Kalau (menangkap) benur ini legal, lebih sejahtera nelayan,” ujarnya.

Hal senada turut disampaikan Kepala Desa Muara, Ujang yang menyebut bahwa kebijakan pemerintah melarang ekspor benur hanya membuat konflik di antara warga dengan aparat kepolisian setempat.

“Tahun 2021 hampir dikerumuni massa. Karena (polisi) menangkapnya di rumah, sehingga ia (nelayan yang hendak ditangkap) berteriak, massa datang dan mau bentrok (dengan polisi). Saya turun, alhamdulillah dapat dicegah,” ungkap Ujang.

Oleh sebab itu, Ujang pun berharap pemerintah dapat melakukan peninjauan kembali mengenai kebijakan larang ekspor benur sehingga bisa membantu menyelesaikan persoalan-persoalan sosial di lingkup para nelayan di Banten Selatan.

“Yah harapannya pemerintah dapat meninjau kembali larangan ekspor benur, tapi penting juga untuk memberikan pelatihan dan menyediakan teknologi budidaya lobster yang mumpuni, sehingga benur di sini tidak mubazir karena mati oleh predator. Jadi nelayan sejahtera, dan pemerintah pun dapat devisa,” terang Ujang.

Di sisi lain, Wakil Asosiasi Pegiat Budidaya Lobster Nusantara, Syaifullah mengaku, pihaknya berencana membawa aspirasi para nelayan di Kabupaten Lebak ke Komisi IV DPR RI agar mendapatkan pertimbangan atas kebijakan larangan ekspor benur.

Bahkan, kata Syaifullah, pihaknya telah menerima petisi berisi 11 ribu tandatangan dari para nelayan yang meminta kebijakan larangan ekspor benur untuk dihentikan.

“Pada dasarnya nelayan ingin dibuka kembali kran mereka bisa menangkap (benur) secara legal, karena selama ini selalu kucing-kucingan dan mereka selalu dianggap salah. Saat ekspor benur dibuka, itu ekonomi nelayan meningkat, tapi saat ditutup itu nelayan selalu ngeluh. Aspirasi ini akan kita bawa ke DPR RI ke Komisi IV,” ungkapnya. (*/YS)

Bank bnten
WP-Backgrounds Lite by InoPlugs Web Design and Juwelier Schönmann 1010 Wien