Praktek Prostitusi di Lebak Merebak, Faktornya Ekonomi dan Pergaulan Bebas
LEBAK– Kabupaten Lebak, yang dikenal sebagai kota kecil dengan sejuta cerita, ternyata memiliki sisi gelap yang menjadi perhatian, yaitu maraknya pelacuran.
Dunia malam di Rangkasbitung sering kali menjadi pilihan perempuan yang terpaksa menjual diri demi kebutuhan ekonomi.
Pada pukul 10 malam, di beberapa titik kota Rangkasbitung, bahkan banyak kostan-kostan di wilayah Rangkasbitung diduga kerap kali menjadi sarang prostitusi.
Berdasarkan pantauan di salah satu lokasi, terlihat barisan perempuan yang mencari pelanggan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Ketika Fakta Banten menyamar menjadi pelanggan, seorang mucikari datang dan menghampiri seraya menawarkan beberapa perempuan yang berbaris di sepanjang warung remang-remang.
Ia menaktor harga sangat relatif, di mulai dari Rp 50 ribu – Rp 350 ribu, kalau mau dibawa pulang berkisar Rp 500 ribu.
“Mas sini mampir dulu, dipilih-pilih dulu saja semoga cocok,” kata Mucikari.
Bukan hanya itu, aplikasi hijau atau Michet menjadi andalan para pelaku prositusi untuk menggaet pelanggannya tarif per satu kali kencan berkisaran Rp 200 ribu- Rp Rp 500 ribu.
Salah satu pelaku, Mawar (bukan nama sebenarnya), mengaku terpaksa kembali ke pekerjaan ini karena masalah keluarga, kekurangan ekonomi, dan perceraian.
“Sebetulnya saya sudah lama berhenti, tapi karena suami menceraikan saya. Karena saya bingung harus bagaimana dan akhirnya memilih untuk kembali ke pekerjaan ini,” kata dia kepada Fakta Banten, Sabtu (18/1/2025).
PSK lainnya, Bunga (nama samaran) mengatakan, berawal dari berhubungan badan dengan pacarnya kemudian setelah itu ia di tinggalkan sehingga mengakibatkan dirinya frustasi.
“Setelah saya lulus sekolah, hidup saya menjadi hancur karena mantan pacar saya yang tidak bertanggung jawab dia dengan mudahnya menikmati tubuh dan kemudian pergi meninggalkan saya,” terangnya.
“Pacar saya berkata akan bertanggung jawab namun ternyata itu hanya janji manis yang keluar dari mulutnya,” sambungnya.
Sementara itu, Citra mengatakan, bahwa dirinya masih menempuh pendidikan dan malu sekali melakukan hal seperti ini, namun karena beberapa problem yang terjadi di ruang lingkupnya dia terpaksa harus terjun di pekerjaan ini.
“Yah mas gimana saya sangat sedih ketika saya pulang ke rumah saya melihat adu mulut antara ayah dan ibu saya, saya kangen zaman dimana ayah dan ibu bisa kembali seperti dulu,” ungkapnya.
Sementara itu, Aktivis Lebak, Ibnu Athoillah mangaku, sempat melakukan penelitian agar penyakit prostitusi bisa diatasi.
Bahkan, pihak Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lebak sudah melakukan tindakan seperti mengadakan pelatihan dikhususkan bagi para wanita malam.
Namun, ternyata tindakan itu tidak berhasil untuk menekan angka pelacuran.
“Pemerintah juga mengaku sudah pernah mengadakan pelatihan seperti menjahit dan sebagainya,” katanya.
“Tapi sayangnya ketika selesai pelatihan barang yang dikasih oleh pihak penyelenggara, pasti suka di jual lagi, dan akhirnya perempuan itu kembali ke dunia malam,” tutupnya. (*/Sahrul).