Setya Novanto dan Cermin Peradaban Bangsa

BI Banten Belanja Nataru

Oleh: Dr.S.Nainggolan

HIRUK pikuk soal menghilangnya Novanto ini, didominasi caci maki dan kebencian yang amat dahsyat terhadap sosok SN, yang memang dalam perkara korupsi E-KTP ini berkali kali mampu mematahkan tuduhan KPK terhadap dirinya. Bahkan, SN sudah berkali kali pula sebelumnya menghadapi perkara perkara besar, mulai dari Cessie Bank Bali, “papa minta Saham”, dan terakhir skandal E-KTP, yang merugikan negara triliunan rupiah.

Caci maki ini telah membuyarkan beberapa substansi persoalan Novanto ini dalam perspektif berbangsa. Yang jika kita tidak sensitif, maka sesungguhnya kita tidak menyentuh persoalan sesungguhnya.

Setidaknya ada 3 hal penting yang harus kita dalami dalam situasi ini.

Pertama, Novanto bukanlah penjahat dalam pengertian hitam putih. Artinya, kita sulit menempatkan diri kita sebagai alat ukur yang sah untuk menilai Novanto sebagai penjahat, seperti yang kita lakukan terhadap maling, pencuri, pembunuh, pelacur dsb.

Mengapa demikian? Karena Novanto dalam sistem sosial politik kita merupakan bagian dari sistem politik yang ada. Sistem politik ini adalah sebuah sistem yang memang permisif dan toleransi atas orang orang yang berkarakter seperti Novanto.

Novanto adalah tangan kanan Jokowi saat ini. Dia bekerja dalam simbiosis mutualisma dengan Jokowi, baik dalam mendukung Jokowi untuk kembali jadi presiden 2019, maupun dalam mengamankan DPR RI untuk memuluskan agenda rezim Jokowi di parlemen.

Novanto adalah tangan kanan Prabowo Subianto pada Pilpres 2014 lalu. Dia bekerja siang malam untuk memenangkan Prabowo jadi presiden.

Novanto adalah tangan kanan Jusuf Kalla, ketika JK menjadi ketua umum Golkar beberapa tahun lalu. Novanto merupakan bendahara yang berfungsi mencari sumber sumber pembiayaan Partai dan politik JK.

Novanto adalah pendukung utama Ahok dalam Pilkada DKI. Bersama Yorys Raweyai, Novanto menggalang konglomerat konglomerat untuk berpawai “kebhinnekaan” mendukung Ahok.

Dalam arus rakyat, Novanto adalah pemilik gelar ‘Gus’. Dia mendapatkan kartu anggota NU diberikan langsung oleh Ketua Dewan Syuro dan Ketua Tanfidziah NU, beberapa saat lalu. Bahkan dia melakukan safari politik ke pesantren-pesantren.

Pijat Refleksi

Jadi, jejak Novanto selama 20 tahun belakangan ini, menunjukkan bahwa bangsa kita memang memproduksi elit elit nasional dengan karakter Novanto.

_Kedua,_ kasus Novanto yang berani melawan KPK ini sebenarnya terjadi ketika KPK sebagai institusi anti korupsi yang awalnya sangat didambakan, terjebak dalam arus politik kekuasaan. Novanto melakukan Pra Peradilan atas pentersangkaannya tentu karena ada preseden pra peradilan atas Budi Gunawan yang ditersangkakan kasus “rekening gendut” dan pentersangkaan Surya Dharma Ali.

Rakyat melihat berbagai kasus, baik di masa SBY, seperti “kasus Hambalang” maupun di masa Jokowi, kasus Sumber Waras dan “Bus Transjakarta”, terkesan ada pilih kasih dalam memilih tersangkanya.

Menurunnya kredibilitas KPK, tentu saja membuat Novanto dan pengikutnya di DPR berani melawan KPK secara terbuka tanpa malu di hadapan rakyat

_Ketiga,_ persoalan Novanto ini berimpit dengan sosoknya sebagai Ketua DPR RI. DPR RI adalah simbol sistem konstitusi dan hukum di negara ini. Karena mereka memproduksi UU dan (bersama DPD).

Sudah jelas bahwa Novanto menjabat DPR RI karena dukungan rezim yang berkuasa. Bahkan, sebelumnya dia Ketua DPR yang sudah mundur karena dicurigai melakukan tindakan aib untuk menjual kekuasaannya dalam kasus “Papa Minta Saham” Freeport. Namun, rezim mendukung kembali Novanto mengambil alih kepemimpinan Golkar dan sekaligus DPR RI, dengan barter politik dukungan Golkar secara dini untuk Jokowi 2 periode. Dengan posisinya sebagai Ketua DPR, sekali lagi Novanto adalah simbol Rakyat Indonesia.

Dari tiga persoalan yang kita bahas di atas, muncul pertanyaan bagi kita: Apakah kebencian yang muncul secara bombastis terhadap Novanto saat ini merupakan refleksi adanya keinginan rakyat untuk mendelegitimasi sistem sosial politik korup yang ada ataukah sekedar situasional dan temporer?

Pertanyaan ini penting untuk melihat tanggung jawab kita sebagai sebuah bangsa yang “civilized”. Yang hari ini simbol rakyatnya dijadikan buronan dan disaksikan seluruh dunia.

Jika rakyat menginginkan perubahan tentu delegitimasi atas sistem sosial yang ada harus diwujudkan dan gerakan rakyat harus menunjukkan kemarahan besar. Kemarahan besar harus merujuk pada keinginan menyingkirkan sistem sosial politik busuk yang mengkooptasi bangsa ini. Lalu juga menyingkirkan elit elit politik busuk, semuanya. Serta membangun sistem sosial dan elit politik yang ideal, seperti yang dilakukan bangsa bangsa besar.

Sebaliknya, jika yang terjadi hanya puas pada sirkulasi elit dari Novanto yang asli ke Novanto Novanto lainnya, maka sesungguhnya rakyat pun sudah masuk dalam jebakan sistem sosial politik busuk yang berkepanjangan.

Saat ini adalah saat bangsa kita mengukur diri kita. Yakni mengukur kebanalan yang selama ini

NOVANTO CERMINAN KONDISI BANGSA INI. (*/Republika)

PJ Gubernur Banten
WP-Backgrounds Lite by InoPlugs Web Design and Juwelier Schönmann 1010 Wien