Gerakan Seratus Bunga Mekar ala China Sedang Berlangsung di Indonesia?
Oleh : Desmond J Mahesa (Ketua DPD Gerindra Banten dan Anggota DPR RI)
JAKARTA – Permintaan Presiden Jokowi yang mengharapkan masyarakat agar lebih aktif menyampaikan kritik terhadap kinerja pemerintahannya masih ramai dibicarakan disosial media. Bukan sekadar kritik, tapi kritik itu kalau bisa disampaikan dengan pedas dan keras.
“Karena dengan kritik itulah pemerintah akan membangun lebih terarah dan lebih benar,” ujar Pramono Anung dalam pesannya melalui kanal media sosial Sekretariat Kabinet, di Jakarta, (9/2/2021).
Permintaan Presiden dan juga Sekretaris Kabinet yang meminta masyarakat mengkritik kinerja pemerintahannya mengingatkan kita pada permintaan serupa yang pernah disampaikan oleh Mao Zhedong, pemimpin China saat membuka pintu warganya untuk memberikan kritik kepada pemerintah yang dipimpinnya. Permintaan Mao Zedong itu kemudian dikenal dengan Hundred Flowers Movement atau Gerakan Seratus Bunga Mekar di China.
Lalu apa sesungguhnya gerakan Gerakan Seratus Bunga Mekar di China ?. Bagaimana relevasi gerakan itu dengan pernyataan Presiden Jokowi yang mengharapkan kritikan dari masyarakat Indonesia ?. Bagaimana tips aman untuk menyampaikan kritik kepada penguasa ?
Gerakan Seratus Bunga
Dikutip dari Wikipedia, Mao Zedong adalah seorang tokoh filsuf dan pendiri negara Republik Rakyat China. Ia memimpin sebagai Ketua Partai Komunis China dari berdirinya negara tersebut pada tahun 1949 sampai 1976 atau hingga saat kematiannya.
Pada akhir tahun 1956 atau tujuh tahun setelah Tentara Merah berhasil mengalahkan perlawanan dari tentara nasionalis (saat ini menjadi Taiwan), Mao mengumumkan sebuah kebijakan baru yang belum pernah ada sebelumnya.Kebijakan ini dinamainya dengan Kampanye Seratus Bunga dengan sebuah motto “Biarkan seratus bunga berkembang dan seratus pikiran yang berbeda-beda bersaing” apa adanya.
Mao mengatakan bahwa kritik terhadap birokrasi mendorong pemerintahnya untuk berubah ke arah yang lebih baik ke depannya. Hal ini benar-benar mengejutkan masyarakat China, terutama kalangan mahasiswa, pengamat politik, dan kaum intelektual lainnya.
Pemerintah berdalih ingin mendapatkan kritik dari rakyat sebagai bentuk kompromi terhadap Partai Komunis China agar bisa menghindari penindasan kejam terhadap rakyatnya. Mao menyebutkan kampanye ini sebagai gerakan liberalisasi yang mulai diberlakukan dimasa pemerintahannya.
Awalnya kebijakan ini ditanggapi secara skeptis dan dipandang curiga. Hanya segelintir cendekiawan yang menyampaikan kritiknya, itupun dilakukan dengan bahasa yang amat hati-hati dan halus untuk menghindari kemungkinan marahnya penguasa.
Tetapi kemudian Mao Zhedong berusaha meyakinkan masyarakat, bahwa kritik terhadap pemerintah adalah hal yang amat disukainya. Sekali lagi kampanye ini ditekankan untuk lebih massive agar semua rakyat China memahaminya.
Pada akhirnya kampanye ini kemudian disambut dengan baik oleh seluruh warga China. Banyak warga memberikan kritik & saran kepada rezim komunis itu secara terbuka. Pemerintah menerima ribuan surat setiap hari dari para warga yang menyampaikan kritikannya. Terutama mengenai keadilan sosial dimana terdapat jelas kesenjangan hidup antara ara pejabat partai komunis dengan rakyat jelata.
Berbagai macam cara dilakukan masyarakat untuk menyampaikan kritikan kepada pemerintah China. Ada yang memasang poster di sekitar kampus, berkumpul di jalan-jalan, mengadakan pertemuan dan menerbitkan artikel majalah agar bisa dibaca oleh pemerintah dan masyarakat pada umumnya.
Mahasiswa di Universitas Beijing misalnya, membuat “Tembok Demokratis” di mana mereka mengkritik pemerintah melalui pemasangan poster dan surat yang ditujukan kepada penguasa.Tak hanya itu, aksi unjuk rasa dan pemasangan poster serta penerbitan berbagai artikel turut dilakukan oleh mahasiswa dan media.
Banyaknya kritik dan masukan yang disampaikan oleh rakyatnya tak urung membuat Mao Zedhong terkejut dan tidak menyangka. Bahwa ternyata banyak permasalahan yang terjadi atas berbagai kebijakannya sehingga begitu banyak kritik muncul dari masyarakat yang dipimpinnya.
Banyaknya permasalahan yang di ketahui dari kritikan kritikan rakyat itu bisa mengancam eksistensi kekuasaannya. Oleh karena itu dirinya menilai semua ini harus disikapi melalui kebijakan selanjutnya. Sehingga kalau pada awalnya ia menganggap kritikan masyarakat itu bisa dijadikan sarana untuk membangun kinerja pemerintahnya, tetapi pada akhirnya dianggap justru menjadi ancaman terhadap eksistensi Mao dan partai yang didirikannya.
Pada tanggal 8 Juni 1957, Mao Zedong menyatakan Kampanye Seratus Bunga dihentikan di seluruh negara. Ia mengumumkan bahwa sekarang sudah waktunya setelah menabur bunga, kini giliran untuk memetik “gulma beracun”nya.
Akhirnya sekitar 700.000 kalangan intelektual yang sebelumnya rajin melancarkan kritiknya ditangkapi oleh aparat pemerintah, termasuk di dalamnya Luo longqi dan Zhang Bojun yang dikenal sebagai aktivis pro-demokrasi di China.
Seluruh kalangan intelektual tersebut kemudian dipaksa oleh Mao untuk mengakui perbuatannya bahwa mereka telah mengorganisir sebuah konspirasi rahasia untuk melawan ideologi Sosialisme Komunisme yang saat itu sedang menjadi ideologi partai berkuasa dan negara China.
Pemerintah mengirim para aktivis, terutama tokoh terkemuka untuk tinggal di kamp kerja paksa dalam rangka melaksanakan “pendidikan ulang” dalam tahanan di seluruh negara. Aparat bergerak cepat dan ratusan ribu oposisi ditangkap serta disiksa di penjara. Ribuan orang hilang tak jelas dimana rimbanya. Diyakini ada sekirat 4 juta jiwa menjadi korban aparat setelahnya.
Tindakan kejam dari pemerintah komunis tersebut menandai berakhirnya era kebebasan mengkritik pemerintah yang semula digalakkan oleh penguasa China. Mao selanjutnya memfokuskan pemerintahannya untuk membentuk Kampanye Anti-Kanan (Anti-Kapitalisme) di akhir 1957 guna mencegah munculnya kembali gelombang besar para pengkritik di pemerintahan yang dipimpinnya.
Relevansinya Bagi Indonesia
Gerakan seratus bunga di China ini dicurigai berkaitan dengan pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang ingin mendapatkan saran dan kritikan dari masyarakat terhadap pelayanan publik dan kinerja pemerintahnya.
Hubungan gerakan seratus bunga mekar di China era Mao Zedhong dengan pernyataan presiden Jokowi agar masyarakat berkenan mengkritik kinerja pemerintahnya di singgung oleh beberapa tokoh bangsa diantara oleh mantan Juru Bicara Presiden Abdurrahman Wahid, Adhie M Massardi dan Rizal Ramli, mantan menterinya.
“Gerakan Seratus Bunga, 1956-57, Tiongkok mendorong warganya untuk mengungkapkan pendapatnya secara terbuka. Setelah kampanye, Mao menindak mereka yang mengkritik rezim. Itu adalah upaya untuk mengidentifikasi, lalu menganiaya,” tulis Rizal Ramli dikutip twitternya, Sabtu (13/2).
Hal yang sama dikatakan mantan Juru Bicara Presiden Abdurrahman Wahid, Adhie M Massardi. Dia mengatakan, jebakan Mao itu, menyebabkan banyak kaum intelektual ditangkap dan disiksa.“Mao rindu kritik. Ketika Ketua Mao nafsu lawan-lawan politiknya, dia kampanye sok baik: Biarkan 100 Bunga Berkembang. Setelah itu dia bilang: Wo sudah siap keluar. lalu Polisi Merah bergerak. Lebih 1/2 juta kaum populer disiksa dalam penjara. Ribuan lainnya lenyap,” tulis Adhie M Massardi di twitternya.
Apakah pernyataan dari Presiden Jokowi yang meminta kritik kepada masyarakat itu meniru langkah serupa yang dilakukan oleh Mao Zedhong ketika berkuasa di China ?. Sejauh ini memang belum terlihat tanda tanda akan mengara kesana. Namun tidak ada salahnya juga untuk melakukan langkah langkah antisipasinya.
Kalau memang hal itu yang nantinya terjadi dimana kritik akan berujung penangkapan penangkapan maka berarti alamat berakhirnya era demokrasi di negara kita. Karena kebebasan berpendapat dibungkam sehingga bangsa kita akan kembali ke masa masa kelam saat Orba berkuasa dimana ruang ruang perbedaan pendapat dikebiri sedemikian rupa.
Seperti kita maklumi bersama, selama Orba berkuasa lebih dari tiga dekade ditandai pembungkaman kebebasan secara besar-besaran bagi hak hak rakyatnya. Pemerintah mengontrol hampir semua aspek kehidupan warga negara. Suara kritis ditekan karena dianggap mengganggu ketertiban termasuk media.
Oleh karena kondisi tidak mengenakkan tersebut maka lahirlah orde reformasi dimana kebebasan sipil kembali mendapatkan tempatnya.Di era reformasi ketika dipimpin oleh Presiden Habibie, Indonesia benar benar memulai kehidupan baru sebagai bangsa yang menjamin kebebasan sipil bagi seluruh rakyatnya.
Saat itu Habibie yang menjadi presiden menggantikan Presiden Soeharto memanggil Panglima ABRI, Mendagri, Menlu, beberapa perwakilan Partai Golkar, serta pimpinan MPR untuk membahas situasi terkini negara.
Salah satu poin keputusannya adalah membuka keran kebebasan pers di Indonesia. Ia ingin semua orang bebas berbicara. Pada saat bersamaan, Habibie meyakini keputusannya mampu meredam ketegangan yang muncul pasca tumbangnya Orba.Gebrakan Habibie tak hanya berhenti sampai di situ saja. Habibie juga tercatat membebaskan 115 orang tahanan politik yang masuk penjara pada masa Orba.
Tradisi untuk menjaga salah satu buah reformasi yaitu kebebasan menyatakan pendapat termasuk mengkritik penguasa ini terus dipertahankan pada era presiden presiden berikutnya meskipun dengan variasi yang berbeda beda tergantung pada siapa yang berkuasa.
Pada era Presiden Gus Dur, Megawati maupun Susilo Bambang Yudhoyono, kebebasan menyatakan pendapat termasuk mengkritik penguasa masih terasa terjaga dengan baik meskipun ada juga mereka yang berseberangan dengan pemerintah yang kemudian di masukkan ke penjara.
Sebagai contoh dua aktivis Benteng Demokrasi Rakyat (Bendera), Ferdi Semaun dan Mustar Bonaventura divonis tujuh bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, karena terbukti melakukan tindak pidana pencemaran nama baik, terhadap beberapa petinggi negara dan individu, salah satunya Presiden SBY, Rabu (13/10/2011).
Tetapi tren adanya tokoh tokoh politik dan warga masyararakat yang mengkritik penguasa kemudian di tangkap untuk dimasukkan ke penjara ini semakin menjadi jadi pada era presiden Jokowi berkuasa. Setelah oposisi yang terlembaga berhasil dijinakkan sehingga menjadi tidak berdaya, giliran tokoh tokoh bangsa yang masih berseberangan pendapat dengan penguasa terkesan dicari cari kesalahannya.
Sebagian dari mereka kini sudah berhasil di amankan di penjara melalui tuduhan tuduhan yang terkesan mengada ada. Sebutlah diantaranya tokoh FPI Habib Riziek Shihab (HRS) hingga pentolan pentolan KAMI (Koalisi Aksi Menyelematkan Indonesia). Saat ini tokoh tokoh KAMI seperti Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat dan Anton Permana sedang melakoni sidang sidang atas tuduhan yang dialamatkan kepadanya.
Setelah oposisi formal melalui Parlemen berhasil dilemahkan menyusul telah dikandangkannya tokoh tokoh oposisi ekstra parlemen seperti FPI, HTI dan KAMI maka diakui atau tidak perlawanan oleh kaum oposan memang semakin melemah saja. Melemahnya peran oposisi ini menjadikan pemerintah semakin kuat sehingga bisa melakukan apapun tanpa adanya kontrol atas kebijakan kebijakannya.
Bisa dipahami kalau perlawanan dari kelompok oposisi ini makin melemah karena secara umum masyarakat memang mulai berhitung untuk menyampaikan asprasi atau opininya karena takut terancam masuk penjara.
Hal ini sangat berasalan karena didukung oleh perangkat yang dimiliki oleh penguasa dalam mengamankan kekuasaannya. Selain ada Undang Undang ITE yang dikenal sebagai pasal karet karena sangat lentur penerapannya. Belum lagi adanya buzzer penguasa yang siap melaporkan mereka mereka yang berani kurang ajar pada pemerintah yang berkuasa.
Mungkin itu sebabnya sehingga ketika presiden meminta supaya masyarakat mengkritik pemerintahannya ditanggapinya masyarakat nada curiga. Jangan jangan semua itu hanya jebakan saja karena masih adanya dipelihara buzzer dan UU ITE untuk menjeratnya.
Karena itu orang seperti Rocky Gerung, dosen Filsafat Universitas Indonesia, mencurigai permintaan presiden agar masyarakat bersedia mengkritik pemerintahannya,salah satunya untuk memetakan kekuatan oposisi yang masih tersisa.
“Karena itu saya selalu mencurigai bahwa ucapan Presiden Jokowi adalah umpan untuk memetakan sisa-sisa oposisi,” katanya.
Kita berharap permintaan Presiden untuk masyarakat agar mau menyampaikan kritiknya tidak berlanjut pada upaya untuk penangkapan penangkapan para pengkritik untuk dimasukkan ke pejara. Jangan sampai gerakan seratus bunga ala China yang berujung penangkapan penangkapan di impor masuk ke Indonesia karena bertentangan dengan kehidupan demokrasi yang telah menjadi kesepakatan bersama.
Harus diingat bahwa kebebasan yang dirasakan bangsa Indonesia saat ini merupakan buah hasil reformasi yang dipelopori oleh mahasiswa. Sebuah gerakan rakyat yang telah berhasil menumbangkan penguasa orba dengan tumbal korban nyawa dan harta benda yang tidak sedikit jumlahnya.
Harus Memahami Caranya
Permintaan presiden kepada masyarakat agar berkenan mengkritik kinerja pemerintahannya, akhir akhir ini justru memuculkan rasa kuatir dan curiga. Kuatir kalau kalau setelah mengemukakan pendapatnya langsung di tangkap aparat untuk kemudian dijebloskan ke penjara.
Karena bisa saja ruang kritik itu memang dibuka seluas luasnya tapi tidak ada jaminan bagi para pengkritik untuk mempertanggungajwabkan hasil kritikannya. Jadi ada jaminan kebebasan untuk mengkritik tapi tidak dijamin kebebasannya setelah kritik dilontarkannya.
Karena kekuatirannya itu pula sampai sampai mantan Wakil Presiden Yusuf Kalla merasa perlu mempertanyakan kepada Presiden bagaimana caranya agar masyarakat bisa mengkritik pemerintah tanpa harus dipanggil polisi untuk mempertanggungjawabakan kritikannya.
“Tentu banyak yang ingin melihatnya, bagaimana caranya mengkritik pemerintah tanpa dipanggil polisi seperti yang dikeluhkan oleh Pak Kwik atau siapa saja. Tentu itu menjadi bagian daripada upaya kita semua,” kata Jusuf Kalla dalam diskusi virtual di kanal PKSTVRI seperti dilihat detikcom, Sabtu (13/2/2021).
Pertanyaan dari pak JK itu sepertinya memang ada unsur “ledekannya”pada penguasa. Tapi pertanyaan seperti itu memang dirasa perlu supaya ketika orang mengkritik bisa mengolah kritikannya sedemikian rupa sehingga aman pada akhirnya.
Menanggapi pernyataan dari Pak JK, Juru Bicara (Jubir) Presiden Joko Widodo, Fadjroel Rachman sebagaimana dikutip media menyatakan bahwa sebagaimana Pasal 28E ayat 3 UUD 1945 setiap orang memang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapatnya. Namun hak tersebut dibatasi oleh undang-undangan yang berlaku tentunya.
“Pasal 28J, dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang. Dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis,” bebernya.
Maka dari itu, Fadjroel menyebut jika masyarakat ingin mengkritik pemerintah melalui media sosial maka perlu membaca dan menyimak UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dimana salah satunya adalah ketentuan pidana di Pasal 45.
“Perhatikan baik-baik ketentuan pidana pasal 45 ayat (1) tentang muatan yang melanggar kesusilaan. Lalu ayat (2) tentang muatan perjudian, ayat (3) tentang muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, ayat (4) tentang muatan pemerasan dan/atau pengancaman,” ungkapnya.
“Lalu Pasal 45a ayat (1) tentang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang merugikan konsumen. Kemudian ayat (2) tentang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu atas SARA. Lalu pasal 45b tentang ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi,” paparnya.
Penjelasan yang disampaikan oleh Juru Bicara (Jubir) Presiden Joko Widodo, Fadjroel Rachman terkesan sangat normatif dan tidak menjawab persoalan yang ada karena dalam prakteknya UU ITE tersebut banyak mengandung pasal karet yang bisa menjerat siapa saia.
Sejak pertama kali diundangkan pada 2008, pasal-pasal pidana di UU ITE sudah dianggap bermasalah dalam penerapannya. Setelah digemparkan dengan kasus Prita Mulyasari, seorang Ibu yang dipidana karena mengirimkan kritik kepada pelayanan sebuah Rumah Sakit, UU ITE terus memakan korban jiwa.
Pada tahun 2016, setelah rangkaian kasus pada akhirnya dilakukan uji materi UU tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun revisi itu ternyata tidak menghentikan daya rusak pasal-pasal pidana karet yang ada di UU ITE, yaitu terhadap mereka yang menggunakan hak menyuarakan pendapatnya.
Musuh besar kebebasan berekspresi dan berpendapat di ruang online kali ini tidak hanya Pasal 27 ayat (3) UU ITE tentang penghinaan, melainkan ada “tamu” baru, yaitu Delik “kesusilaan” dalam pasal 27 ayat (1) UU ITE dan delik “ujaran kebencian” dalam pasal 28 ayat (2) UU ITE. Dimana pengaturan dalam pasal pasal tersebut dinilai sangat karet sehingga bisa menjadi alasan untuk menjerat siapa saja.
Korban pun berjatuhan, Baiq Nuril, perempuan korban pelecehan seksual yang akhirnya merima Amnesty pertama dari Presiden Jokowi adalah tamparan keras pada problem rumusan dan praktik penggunaan pasal-pasal pidana di UU ITE. Terakhir, perdebatan mencuat ketika Jerinx, seorang musisi yang mengkritik persoalan rapid test pada sebuah organisasi yang kredibel, justru dijawab dengan pidana.
Laporan yang dihimpun koalisi masyarakat sipil menunjukkan sejak 2016 sampai dengan Februari 2020, untuk kasus-kasus dengan pasal 27, 28 dan 29 UU ITE, menunjukkan penghukuman (conviction rate) mencapai 96,8% (744 perkara) dengan tingkat pemenjaraan yang sangat tinggi mencapai 88% (676 perkara).
Laporan terakhir SAFEnet menyimpulkan bahwa jurnalis, aktivis, dan warga kritis paling banyak dikriminalisasi dengan menggunakan pasal-pasal karet yang cenderung multitafsir dengan tujuan membungkam suara-suara kritis. Sektor perlindungan konsumen, anti korupsi, pro demokrasi, penyelamatan lingkungan, dan kebebasan informasi menjadi sasaran utama.
Maka, bahaya laten pembungkaman terpapar jelas dalam pasal-pasal pidana UU ITE. Dalam kacamata ini, semua bisa kena, hari ini mereka, mungkin besok bisa menjadi kita yang terkena. Oleh karena itu sangat wajar kalau Pak JK mengemukakan kegelisahannya lalu mempertanyakan bagaimana caranya mengkritik penguasa dengan aman tanpa harus khawatir dipanggil polisi setelahnya.
Sesungguhnya kalau mau jujur ada solusi yang sangat konkrit agar rakyat bisa mengkritik pemerintah dengan aman tanpa rasa curiga. Salah satu caranya adalah dengan tidak memberlakukan UU ITE dan ketentuan pidana lainnya yang ada di KUHP (KUHPidana).
Selain itu membubarkan buzzer buzzer penguasa yang suka lapor kalau ada masyarakat yang mengkritik penguasa. Tidak kalah pentingnya adalah menyetop dana APBN yang dipakai untuk mengongkosi mereka dan terakhir membebaskan tahanan politik yang sekarang masih mendekam di penjara.
Dengan empat langkah tersebut maka Insya Allah rakyat akan merasa aman menyampaikan kritikan kritikannya sesuai harapan pemerintah tanpa ada rasa curiga. Tapi kalau empat langkah solusi konkrit tersebut tidak dilakukan sebenarnya masih ada upaya aman lainnya untuk mengkritik penguasa sesuai dengan yang disarankan oleh Mantan Kepala Staf Umum TNI, Suryo Prabowo melalui akun twiternya J Suryo Prabowo (@JSuryoP1) February 13, 2021
Adapun tips aman yang disampaikan oleh Suryo Prabowo agar bisa mengkritik dengan aman kepada penguasa diantaranya adalah : jangan pernah melakukan kritik melalui media sosial (medsos seperti facebook, twitter, insagram, atau yang lainnya) karena polisi dapat menangkapnya dengan tuduhan melanggar UU ITE yang sarat jerat pidananya. Kalaupun terpaksa mau mengkritik maka tulislah kritikan itu lalu ditempel di kamar tidur atau ditulis di buku harian saja.
Cara lainnya menurut Suryo Prabowo adalah dengan menulis kritikan itu melalui spanduk, selebaran, poster, pamflet atau sarana propaganda lainnya. Tapi jangan kemudian dipasanganya di jalan sehingga orang bisa melihatnya, cukup ditempel di dinding kamar tidur atau tulis di buku harian,” ujarnya.
Selanjutnya, pria yang juga menjabat sebagai Ketua Pelaksana KKIP ini mengimbau kepada para pengkritik untuk melontarkan kritikan hanya dalam hati saja dijamin lebih aman daripada harus mewujudkan dalam bentuk lisan atau tulisan karena bisa berbahaya.
Cara aman mengkritik yang disarankan oleh Suryo Prabowo itu konon dulu banyak diamalkan oleh para kritikus pada jaman penguasa Orba. Makanya kalau masyarakat mulai banyak yang melakukan metode mengkritik seperti yang disampaikan oleh Suryo Prabowo ini berarti kita telah memasuki era baru yaitu suatu era ketika reformasi belum terjadi di Indonesia. Apakah dengan begitu kita ini sebenarnya sedang mengarah untuk kembali ke sana ?
Bagaimanapun saat ini beragam cara untuk bisa mengkritik secara aman pada penguasa patut di pelajari sebagai antisipasi kalau kalau pemerintah nanti benar benar menerapkan secara murni dan konsekuen gerakan seratus bunga mekar ala China di Indonesia.
Kiranya tidak ada salahnya kalau kita semua mengantisipasi secara dini kebijakan kebijakan pemerintah yang tidak terduga. Semua perlu dilakukan untuk bisa menghindarkan diri dari kemungkinan jerat pidana karena kritikan kita kepada penguasa. (*/Red/LJ)