Honda Slide Atas

Pesantren Dan Segala Isinya

 

Refleksi Menjelang Hari Santri 22 Oktober

Oleh: Abdul Jabar, Pengurus NU Kabupaten Lebak dan Mahasiswa Pasca Sarjana Institut Kemandirian Nusantara Kab. Pandeglang

 

Banyak orang dari luar kalangan santri memandang sebelah mata terhadap santri, contohnya adalah memandang Santri sebagai seorang yang polos dan lugu, seseorang yang berpakaian monoton.

Memandang santri tidak mengerti gaya hidup modern atau fashion berpakaian modern, hanya mengerti tentang agama dan tidak mengerti ilmu-ilmu dunia, pandangan itu bisa dikatakan salah besar karena pada kenyataanya santri terlihat lugu dan polos adalah untuk menjaga sopan santun yang kini mulai memudar di kalangan pemuda.

Seorang santri memakai pakaian yang monoton adalah menjaga ciri khas sendiri seorang santri yang memakai sarung dan peci, pandangan orang-orang yang melihat Santri hanya mengerti soal ilmu agama juga sebuah kesalahan pada kenyataannya Santri di pesantren diajarkan ilmu dunia atau ilmu umum meskipun tidak secara rinci.

Santri adalah orang yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan ulama dan dibesarkan untuk menjadi pengikut setia dan penerus ulama.

Kehadiran santri dan pondok pesantren sebagai bagian dari pembagian tugas bagi umat Islam.

Kedekatan Kyai, Ulama, dan Santri dalam pertempuran mungkin tidak bisa disangkal. Kemerdekaan Indonesia tidak bisa dilepaskan dari perjuangan antara Kiai dan Santri.

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, bangsa kolonial ternyata tidak diam begitu saja. Inggris yang berkompromi dengan NICA (Netherlands Indies Civil Administration) untuk menguasai kembali Indonesia, yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Pendiri Nahdhatul Ulama Hadratus Syekh KH. Hasyim As’ari mengajak bibit bersama Kyai dan Santri, mewakili NU di seluruh Jawa dan Madura, untuk berjihad melawan penjajah.

Deklarasi tersebut terjadi pada tanggal 22 Oktober 1945. Deklarasi tersebut kemudian dikenal sebagai fatwa resolusi jihad.

Fatwa jihad tersebut langsung mengobarkan semangat juang rakyat Indonesia di seluruh pelosok tanah air untuk mempertahankan kemerdekaan yang dideklarasikan pada 17 Agustus 1945.

Pengakuan pemerintah terhadap kisah ini tercermin dalam penetapan Hari Santri Nasional. Momen penting untuk mempelajari amalan santri dan umat Islam untuk mewujudkan keyakinannya bahwa “Hubbul Wathan min al-Iman” cinta tanah air adalah bagian dari Iman.

Sebagaimana kita tahu bahwa Indonesia dibangun di atas penghormatan terhadap keberagaman.

Agama, adat, dan budaya lokal adalah simpul-simpul yang menyatukan kita.

Karena itu, pemberitaan yang melecehkan lembaga agama sama saja dengan mengoyak simpul kebangsaan itu.

Menuding pesantren sebagai tempat eksploitasi adalah bentuk penghinaan terhadap warisan budaya spiritual bangsa.

Apalagi jika tudingan itu muncul tanpa riset, tanpa klarifikasi, dan tanpa upaya memahami konteks sosialnya.

Dalam ruang publik digital, narasi semacam ini mudah berubah menjadi fitnah massal yang memecah belah bangsa, bukan mempersatukan.

Tayangan program Xpose Uncensored di Trans7 yang menyoroti kehidupan Pondok Pesantren Lirboyo menimbulkan gelombang reaksi dari masyarakat luas. Banyak pihak menilai liputan tersebut sarat dengan narasi yang tendensius, melecehkan martabat, serta menggiring opini negatif terhadap tradisi luhur pesantren.

Sebagai seorang santri dan bagian dari keluarga besar Nahdlatul Ulama (NU), saya turut merasakan luka yang mendalam dari tayangan tersebut.

Framing negatif terhadap pesantren bukan sekadar persoalan kesalahan teknis. jurnalistik. Ia menyentuh ranah yang jauh lebih dalam-ranah nilai, adab, dan spiritualitas.

Dalam tradisi pesantren, penghormatan santri kepada kiai, termasuk ngesot atau memberi amplop, bukanlah bentuk eksploitasi seperti yang digambarkan, melainkan wujud ta’dzim (penghormatan) dan pengabdian yang berakar pada nilai spiritualitas tinggi. Tradisi ini merupakan bagian dari sistem etika keilmuan Islam yang menjunjung tinggi adab sebelum ilmu.

Ketika media memotret tradisi luhur ini dengan kacamata sinis dan bahasa yang merendahkan, sesungguhnya yang diserang bukan hanya para kiai dan santri, tetapi juga nilai-nilai dasar yang membentuk karakter bangsa.

Pesantren selama ini telah menjadi benteng moral, tempat persemaian akhlak, serta pilar penting dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Ironisnya, peristiwa ini terjadi hanya beberapa hari menjelang Hari Santri Nasional, 22 Oktober momen di mana bangsa Indonesia semestinya memberi penghormatan kepada peran besar para dan santri dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan moral bangsa.

Alih-alih menjadi ruang refleksi atas jasa dan ketulusan para ulama dalam mensyiarkan Islam, publik justru disuguhi tayangan yang menodai kemuliaan mereka.

Semoga momentum ini menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak, bahwa ketulusan dan keikhlasan para dalam membimbing umat tidak layak dipertukarkan dengan sensasi atau rating semata.

Permintaan maaf dari pihak Trans7 patut diapresiasi, tetapi tentu belum cukup. Luka moral yang timbul akibat tayangan tersebut memerlukan bentuk pertanggungjawaban yang lebih nyata.

Dalam konteks ini, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap program itu, memastikan agar pelanggaran terhadap Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) tidak terulang lagi.

Pesantren tidak hanya mencetak ulama, tetapi juga melahirkan nasionalis sejati. Dari rahim pesantren lahir para pejuang, guru, dan negarawan yang membentuk wajah Indonesia hari ini. Karena itu, merendahkan pesantren sama dengan merendahkan salah satu fondasi moral bangsa.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menegur dengan adab dan memperbaiki dengan kasih.

Kritik tetap penting, tetapi harus dibangun di atas kejujuran dan penghormatan terhadap nilai-nilai luhur yang telah menjadi bagian dari jati diri bangsa Indonesia.

Kredibilitas media dan tanggung jawab moral

Kredibilitas media tidak diukur dari keberaniannya menuduh, tetapi dari kesetiaannya pada fakta dan keseimbangan.

Menjaga martabat agama dan lembaga pendidikan keagamaan bukan berarti mengekang kebebasan pers, melainkan mengembalikan media kepada fungsi utamanya: mendidik masyarakat dengan kebenaran.

Gerakan moral #BoikotTrans7 yang bergema di kalangan santri dan umat Islam merupakan ekspresi spontan dari kekecewaan sekaligus bentuk solidaritas membela marwah pesantren.

Ini bukanlah ajakan kebencian, melainkan seruan moral agar media kembali ke khitahnya: menjadi penjaga kebenaran dan keadaban publik, bukan penyebar prasangka.

Bagi media dalam dalam menayangkan siaran berupa isu-isu keagamaan, bila satu kalimat yang salah bisa melahirkan perpecahan. Satu gambar yang dipelintir bisa menyalakan bara yang sulit dipadamkan.

Karena itu, media yang beradab semestinya menyadari bahwa setiap berita bukan sekadar konten, tetapi tanggung jawab moral. Dan ketika media kehilangan rasa hormat terhadap nilai-nilai itu, maka yang terluka bukan hanya pesantren tetapi bangsa ini sendiri.

Bangsa Indonesia membutuhkan media yang menyejukkan, bukan memanaskan. Media yang menegakkan kebenaran tanpa menistakan keyakinan. Media yang memahami bahwa keutuhan bangsa jauh lebih berharga daripada sensasi sesaat.

Kita boleh berbeda pendapat, tetapi jangan sampai berbeda arah dalam menjaga kehormatan negeri ini. Karena di atas segalanya, Indonesia berdiri di atas kejujuran, keseimbangan, dan saling menghormati.***

WP-Backgrounds Lite by InoPlugs Web Design and Juwelier Schönmann 1010 Wien