Honda Slide Atas

Seperempat Abad Provinsi Banten: Ilusi Pembangunan dan Kesejahteraan

 

Oleh: Alzeiraldy Idzhar Ghifary
Aktivis KAMMI Banten

Tanggal 4 Oktober 2025 menjadi momentum peringatan seperempat abad lahirnya Provinsi Banten. Dengan mengusung tema “Kolaborasi Kuat untuk Banten Maju, Adil, dan Merata”, perayaan kali ini sejatinya bukan sekadar seremoni tahunan.

PT Sankyu Pahlawan

Ia mestinya menjadi ruang refleksi mendalam: apakah setelah 25 tahun berdiri, Banten sudah benar-benar maju, adil, dan merata sebagaimana cita-cita awal pemekaran dari Jawa Barat pada tahun 2000 lalu.

Jika menilik data Outlook Banten 2024 terbitan Pattiro Banten, jawaban atas pertanyaan itu jauh dari memuaskan. Memang ada capaian positif, mulai dari naiknya Indeks Pembangunan Manusia (IPM), menurunnya pengangguran, hingga turunnya angka kemiskinan secara rata-rata provinsi.

Namun, di balik itu terdapat ironi besar: kemajuan yang timpang, ketidakadilan yang struktural, dan pemerataan yang masih menjadi utopia.

Dengan kata lain, tema HUT ke-25 masih lebih tepat disebut harapan ketimbang cerminan realitas. Banten yang kita saksikan hari ini adalah provinsi dengan dua wajah: satu sisi gemerlap di Tangerang Raya, satu sisi lain suram di Pandeglang dan Lebak.

Mengukur Tingkat Kemajuan

Kemajuan sering diukur lewat Indeks Pembangunan Manusia (IPM), yang mencerminkan kualitas hidup dalam tiga dimensi: pendidikan, kesehatan, dan standar hidup layak.

Dari sisi angka, memang ada kabar baik. IPM Banten naik dari 69,47 pada 2013 menjadi 74,48 pada 2024. Secara kategori, Banten masuk tinggi menurut Badan Pusat Statistik.

Namun, ketika kata “maju” dimaknai sebagai kemajuan menyeluruh, Banten belum bisa menyandangnya. Sebab capaian itu sangat timpang antarwilayah.

Kota Tangerang Selatan mencatat IPM 82,89, sejajar kota metropolitan. Kota Tangerang menyusul dengan 80,02. Sebaliknya, Kabupaten Pandeglang dan Lebak hanya sekitar 66–67. Jurang lebih dari 15 poin ini menunjukkan perbedaan kualitas hidup yang ekstrem dalam satu provinsi.

Pendidikan adalah wajah paling telanjang dari ketimpangan ini. Rata-rata Lama Sekolah (RLS) Banten memang naik dari 8,17 tahun (2013) menjadi 9,23 tahun (2024). Tetapi di Lebak hanya 6,61 tahun—setara tamat SD—sementara di Kota Tangerang 11,14 tahun.

Artinya, ketika anak-anak di Tangsel menyiapkan diri masuk perguruan tinggi, anak-anak di Lebak banyak yang sudah berhenti sekolah di usia SMP.

Harapan Lama Sekolah (HLS) pun mempertegas jurang. Anak di Tangsel diproyeksikan sekolah hingga 14,7 tahun (setara S1), sementara anak di Lebak hanya 12,1 tahun (setara SMA kelas 1). Ini bukan sekadar angka, melainkan masa depan generasi.

Dari sisi kesehatan, Angka Harapan Hidup (AHH) Banten naik dari 69,04 tahun (2013) menjadi 74,97 tahun (2024). Perbaikan signifikan terjadi di Pandeglang, yang melonjak dari 62,83 ke 74,22 tahun. Namun, lonjakan itu hanya menutup jurang lama; posisi akhirnya tetap lebih rendah dibanding Tangsel atau Kota Tangerang.

Dengan fakta ini, sulit menyebut Banten sudah maju. Ia hanya maju di sebagian wilayah utara, sementara selatan masih berlari di tempat.

Banten dari Perspektif Keadilan

Keadilan berarti setiap warga memiliki kesempatan setara untuk berkembang. Tetapi data menunjukkan bahwa ketidakadilan masih membelenggu Banten. Pertama, dari sisi pengangguran terbuka (TPT).

Angkanya memang turun dari 9,9% (2013) menjadi 6,68% (2024). Namun, detail menunjukkan ironi: lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)—yang seharusnya siap kerja—justru paling rentan, dengan pengangguran 11,58%. Dunia pendidikan vokasi dan dunia industri di Banten masih terpisah jurang. Anak-anak dari keluarga sederhana yang memilih jalur SMK berharap cepat bekerja, tetapi justru terjebak dalam permasalahan pengangguran.

Kedua, dari sisi pembangunan sosial. Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak memang menurun, tetapi masih tercatat 894 kasus sepanjang 2024. Ironisnya, kasus terbanyak justru terjadi di kota-kota maju seperti Tangsel dan Kota Tangerang.

Ini menunjukkan bahwa kemajuan material tidak otomatis menjamin keadilan sosial. Perempuan dan anak masih menghadapi diskriminasi, kekerasan, dan kerentanan di ruang publik maupun privat.

Ketiga, dari sisi fiskal daerah. Kabupaten/kota dengan basis industri (Tangerang Raya, Cilegon) memiliki kemandirian fiskal relatif tinggi, sementara Pandeglang dan Lebak sangat bergantung pada transfer pusat. Jurang fiskal ini memperlebar ketidakadilan pembangunan. Dengan kondisi demikian, kata “adil” dalam tema HUT ke-25 masih sebatas slogan.

Termasuk dari perspektif pemerataan pembangunan. Data kemiskinan menunjukkan adanya permasalahan serius. Secara provinsi, angka kemiskinan turun dari 7,13% (2013) menjadi 4,93% (2024).

Tetapi jika dilihat per kabupaten/kota, gambarnya timpang. Pandeglang justru meningkat drastis: dari 4,72% (2013) menjadi 7,91% (2024). Sebaliknya, Tangsel berhasil menurunkannya hingga 3,1%. Pertumbuhan ekonomi pun demikian.

Tangsel stabil di 5,65% pada 2024, sementara Cilegon minus -2,66% akibat gejolak industri baja. Lebak melambat, dan Pandeglang meski tumbuh relatif tinggi, basisnya rapuh karena bergantung pada pertanian dan perikanan. Inilah pola two speed development: utara melaju cepat, selatan tertinggal jauh. Pemerataan masih jauh dari kenyataan.

PR Pemerintah Baru

Di tengah paradoks tersebut, kini estafet kepemimpinan berada di tangan Gubernur Andra Soni dan Wakil Gubernur Dimyati Natakusumah.

Mereka datang dengan tujuh program unggulan. Beberapa di antaranya sangat relevan dengan problem aktual yang menjadi sorotan: pendidikan rendah, pengangguran SMK tinggi, ketimpangan wilayah, dan lemahnya infrastruktur desa.

Pertama, program Sekolah Gratis. Ini adalah langkah konkret menjawab persoalan pendidikan. Pemprov Banten sudah menyiapkan anggaran Rp144 miliar untuk membebaskan SPP siswa kelas X SMA/SMK swasta mulai tahun ajaran 2025/2026. Sekitar 1.200 sekolah swasta menyatakan ikut, meski ada sebagian sekolah besar yang menolak.

Jika konsisten diperluas ke semua jenjang, program ini bisa menekan angka putus sekolah dan memperbaiki IPM, terutama di Lebak dan Pandeglang. Tetapi hambatan teknis dan anggaran masih besar.

Kedua, program transportasi BARATA dan integrasi MRT. Konektivitas adalah kunci pemerataan. Upaya Pemprov mendukung proyek jalur MRT Kembangan–Balaraja adalah langkah awal.

Bank Indonesia Banten mencatat proyek transportasi massal ini sudah menjadi magnet investasi, mendongkrak ekonomi 5,19% pada triwulan I 2025. Namun, realisasi masih berupa rencana. Jika jalur hanya berhenti di utara, disparitas selatan tetap tak terpecahkan.

Ketiga, program Desa Tangguh dengan dana Rp300 juta per desa. Janji ini menyasar langsung akar ketimpangan di pedesaan. Hingga 100 hari pertama, Pemprov meluncurkan Bangun Jalan Desa Sejahtera (Bang Andra) dengan pembangunan jalan antar desa sepanjang 12 km di delapan titik.

Tetapi informasi desa-desa penerima dana Rp300 juta masih minim. Jika tidak menyasar Lebak dan Pandeglang, program ini hanya kosmetik.

Keempat, program PLAT-A (Pelatihan Vokasional). Ini penting untuk mengatasi TPT lulusan SMK yang tertinggi di Banten. Namun, hingga kini belum ada laporan nyata soal implementasi: mitra industri, jumlah peserta, hingga outcome. Tanpa langkah konkret, PLAT-A berisiko sekadar slogan.

Empat program ini sebenarnya langsung bersentuhan dengan problem inti Banten: pendidikan, infrastruktur, pengangguran, dan pemerataan wilayah. Realisasi setahun terakhir menunjukkan ada kemajuan awal, terutama Sekolah Gratis, tetapi masih jauh dari cukup untuk membalikkan tren timpang selama 25 tahun.

Maka pekerjaan rumah bagi Andra–Dimyati jelas:
1. Perluasan Sekolah Gratis agar berdampak signifikan pada IPM.
2. Percepatan realisasi BARATA/MRT hingga menyentuh selatan.
3. Akuntabilitas Desa Tangguh, dengan prioritas desa miskin di Lebak dan Pandeglang.
4. Implementasi nyata PLAT-A, dengan indikator lulusan terserap industri.

Tanpa langkah-langkah tersebut, Banten hanya akan mengulang pola lama: janji pemerataan tanpa realisasi.

Dari Ilusi ke Kenyataan

Tema HUT ke-25, “Kolaborasi Kuat untuk Banten Maju, Adil, dan Merata”, adalah arah yang benar. Tetapi hari ini ia masih lebih menyerupai doa ketimbang realitas.

Banten memang mencatat kemajuan rata-rata: IPM naik, pengangguran turun, kemiskinan menurun. Tetapi angka itu menutupi kenyataan timpang: Tangsel gemerlap, Pandeglang terpinggirkan; urban bisa kuliah, rural berhenti di SMP; industrialisasi padat modal, warga lokal tak terserap. Inilah yang layak disebut ilusi kesejahteraan. Seolah-olah Banten sejahtera, padahal hanya sebagian kecil wilayah yang menikmatinya.

Kini bola ada di tangan Andra Soni dan Dimyati Natakusumah. Apakah mereka mampu mengubah ilusi menjadi kenyataan? Apakah mereka berani memindahkan pusat gravitasi pembangunan dari utara ke selatan, dari rata-rata ke pemerataan, dari angka ke manusia?

Jika iya, maka 25 tahun berikutnya bisa menjadi era kebangkitan Banten yang sesungguhnya. Jika tidak, sejarah akan mencatat bahwa pemekaran Banten hanyalah pemisahan administratif tanpa makna substantif bagi rakyatnya.***

WP-Backgrounds Lite by InoPlugs Web Design and Juwelier Schönmann 1010 Wien