Kuliah Lapang Ala Mahasiswa UIN, Belajar Kopi Khas Banten yang “Rare” di Indonesia
PANDEGLANG – Pengabdian masyarakat tak selalu harus membosankan dan terjebak dalam rutinitas yang monoton.
Hal ini dibuktikan oleh Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi (FSAINTEK) Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin (UIN SMH) Banten.
Mereka menjalani pengalaman unik yang memadukan eksplorasi ilmiah dengan nuansa lokal yang kuat. Bukan kisah horor seperti dalam film ‘KKN di Desa Penari’, melainkan cerita penuh pengetahuan tentang kopi yang menjadi sajian utama program kuliah lapang mereka.
Sebanyak 35 mahasiswa dan 6 petani kopi lokal terlibat dalam program yang dilaksanakan di kawasan Gunung Karang, tepatnya di Kampung Citaman Lawang Taji, Kelurahan Juhut, Kecamatan Karangtanjung, Kabupaten Pandeglang.
Didampingi dua pakar dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Dr. Lili Dahliani dan Prof. Dr. Lisdar A. Manaf, para mahasiswa diajak mengenal lebih dalam berbagai jenis kopi lokal yang dibudidayakan oleh masyarakat setempat.
Kegiatan ini merupakan program kolaborasi dosen antara UIN SMH Banten, IPB, Asosiasi Kopi Indonesia (ASKI), Pusat Pelatihan Pertanian dan Perdesaan Swadaya (P4S) Citaman Lawang Taji, Komunitas Lingkungan Kokoleceran, dan BUMAS Kelurahan Juhut.
Kegiatan dilaksanakan sepanjang bulan Juni 2025 dengan pendekatan yang tidak hanya edukatif, tetapi juga partisipatif.
Eni Nuraeni, dosen ekologi dari UIN SMH Banten, menjelaskan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari kuliah lapangan dalam mata kuliah Ekologi serta rangkaian program pengabdian masyarakat.
“Selain mahasiswa kami juga mengajak beberapa petani kopi lokal untuk bersama belajar dan semoga kegiatan ini membawa dampak positif terhadap semua pihak, khususnya masyarakat Gunung Karang,” tutur Eni, Rabu (18/5/2025).
Selama kuliah lapang, mahasiswa berkesempatan mengenal beragam jenis kopi yang ditanam oleh petani lokal seperti Robusta, Arabika, Arobusta, Liberika, dan Excelsa.
Mereka mempelajari cara penanaman, proses pengolahan, hingga potensi ekonomi dari masing-masing varietas. Salah satu pengetahuan yang menarik perhatian adalah keberadaan kopi langka yang dikenal sebagai ‘Leupeh Lalay’.
“Ternyata kita punya kopi yang langka, yaitu biji kopi yang dihasilkan dari sisa makan kelelawar atau disini umum disebut leupeh lalay, yang dimana kopi ini hanya dihasilkan di 4 daerah di Indonesia,” jelas Eni.
“Kopi Leupeh Lalay juga memiliki citarasa yang khas karena sentuhan alami dari proses pengolahannya yang natural. Citarasa kopi ini memiliki rasa yang manis seperti manisnya buah apel Malang, sedikit pahit seperti pahitnya kulit buah jeruk, dan rasa asamnya seperti rasa buah belimbing yang belum matang,” imbuhnya.
Sementara Menurut Linda, perwakilan dari ASKI DPD Banten, kegiatan ini sangat penting karena selama ini informasi mengenai kopi Banten masih sangat minim di tengah masyarakat kita.
“Kopi menjadi salah satu komoditas perkebunan utama di Indonesia, tetapi kalau masyarakat ditanya terkait kopi Banten, 95% tidak tahu,” ujarnya.
Linda menambahkan bahwa secara umum masyarakat hanya mengenal kopi sebatas bentuk bubuknya, padahal tanaman kopi memiliki keragaman yang kaya dari sisi varietas maupun morfologinya.
Dalam kegiatan ini, mahasiswa juga diajarkan membedakan ciri fisik tanaman kopi, misalnya kopi Arabika yang daunnya lebih kecil, Robusta dengan daun menjuntai ke bawah, serta Liberika yang memiliki daun dua kali lebih besar dibanding varietas lainnya.
Kegiatan ini juga mengedukasi peserta tentang pentingnya sistem tanam berkelanjutan. Gunung Karang sebagai kawasan pegunungan yang sejuk memang cocok untuk budidaya kopi, tetapi jika dilakukan secara monokultur dan tanpa pengelolaan yang tepat, dapat menimbulkan kerusakan ekologis dalam jangka panjang.
Dr. Lili Dahliani menekankan pentingnya metode budidaya kopi berbasis konservasi seperti yang diterapkan di Gunung Karang.
“Budidaya tanaman kopi di Gunung Karang dapat dilakukan secara onfarm, artinya kopi hanya ditanam di kawasan yang diijinkan sebagai lahan pertanian, tidak di kawasan lindung. Hal ini sebagai salah satu strategi konservasi Citaman Lawang Taji,” ujarnya kepada mahasiswa dan peserta kuliah lapang.
Kuliah lapang menjadi media pembelajaran kontekstual yang efektif, memungkinkan mahasiswa memahami langsung teori-teori yang selama ini hanya mereka temui dalam buku.
Inisiatif dari FSAINTEK UIN SMH Banten ini menjadi langkah nyata dalam memperkenalkan kekayaan hayati Banten, serta menanamkan kesadaran akan pentingnya konservasi berbasis kearifan lokal sejak dini. (*/ARAS)
