Menguak Kalkulasi Politik Dibalik Revisi UU Pemilu, Siapa yang Untung?

Dprd ied

JAKARTA – Pada tanggal 26 November 2020 yang lalu, DPR RI telah memasukkan revisi UU Pemilu kedalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas bersama dengan 37 RUU lainnya. Selanjutnya pada hari Jumat, 15 Januari 2021, Badan legislasi (Baleg) DPR dan Menkumham telah mengetok palu atas 33 RUU Prolegnas 2021 yang dianggap prioritas untuk segera dilakukan pembahasan tahap selanjutnya.

Namun ibarat sebuah mobil, pembahasan lanjutan belum bisa dilakukan kalau belum distater melalui kesepakatan di sidang paripurna. Sampai sekarang Prolegnas prioritas belum dibawa ke paripurna. Molornya Pengesahan Prolegnas Prioritas 2021 diduga terjadi karena adanya polemik revisi UU Pemilu yang sampai sekarang masih menimbulkan pro dan kontra.

Keterlambatan pengesahan Prolegnas 2021 itu patut disayangkan karena bisa memunculkan syak wasangka dikalangan masyarakat yang mengamatinya. Seolah olah hal itu mencerminkan proses yang terjadi tidak transparan karena mengandung nuansa kongkalingkong didalamnya.

Pada hal idealnya Prolegnas sebagai instrumen perencanaan Undang Undang , harus selaras dengan dokumen perencanaan lainnya, khususnya dengan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan APBN 2021. Karena dokumen perencanaan yang tidak sinkron dapat berdampak pada tidak efektifnya dukungan pembentukan Undang Undang terhadap pembangunan dan penggunaan anggaran di tahun 2021. Selain itu keterlambatan pengesahan tersebut semakin menurunkan kewibawaan Prolegnas sebagai dokumen perencanaan yang harus menjadi rujukan dalam pelaksanaan kinerja DPR dan Pemerintah yang berkuasa.

Mengapa revisi UU Pemilu yang semula sepakat dimasukkan sebagai UU Prioritas untuk Prolegnas 2021 itu memunculkan pro dan kontra, apa alasannya ?. Kalkulasi politik seperti apa yang mempengaruhi dinamika revisi UU Pemilu sehingga begitu alot pembahasannya?

Memunculkan Pro-Kontra

Rencana pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2022 dan 2023 yang digabung menjadi serentak dengan pemilihan presiden dan wakil presiden (Pilpres) dan pemilihan legislatif (Pileg) 2024, masih memunculkan pro dan kontra.

Apakah Pemilihan serentak berikutnya dilaksanakan pada tahun 2022, tahun 2023 atau tahun 2024? Sampai sekarang masih menjadi tanda tanya karena semua akan tergantung pada hasil kesepakatan bersama revisi UU Pemilu yang belum ada titik temunya juga.

Untuk memahami dasar logika apakah pemilu serentak dilaksanakan tahun 2022, 2023 atau 2024 didasarkan pada dua pemahaman yang berbeda. Pandangan pertama, didasarkan pada sisi periodik dimana pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali sehingga setelah habis masa lima tahun itu akan dilaksanakan pemilu lima tahun berikutnya.

Dengan logika seperti itu maka pilkada yang telah dilaksanakan pada 2015 lalu akan dilaksanakan pilkada lagi pada tahun 2020 yang sudah kelar pelaksanannya. Pilkada yang telah dilaksanakan pada 2017 akan dilaksanakan lagi pilkada pada tahun 2022. Demikian juga pilkada yang telah dilaksanakan pada 2018, akan dilaksanakan kembali pilkada pada tahun 2023.

Pendapat kedua, merujuk pada hukum positif dalam ketentuan peralihan UU Pemilihan, yakni Pasal 201 UU 10/2016. Ayat (8) pasal tersebut menyatakan pemungutan suara serentak nasional di seluruh Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024.

Jika merujuk pada ketentuan tersebut maka siklus periodik normal Pemilihan hanya berlaku pada hasil Pemilihan 2015, yang dilaksanakan pada 2020 (ayat 6 Pasal 201 a quo). Sedangkan hasil Pemilihan 2017 sebagaimana ditentukan ayat (3) berakhir tahun 2022, dan Pemilihan 2018 dalam ayat (5) berakhir 2023, dan selanjutnya Pemilihan serentak nasional dilaksanakan 2024.

Dengan demikian, terhadap hasil Pemilihan 2017 dan 2018 yang berakhir pada 2022 dan 2023, dan mengikuti Pemilihan 2024, maka sesuai ayat (9), ayat (10), dan ayat (11) Pasal 201 UU 10/2016 dimaksud, kekosongan jabatan Gubernur, Bupati dan Walikota yang berakhir masa jabatan pada 2022 dan 2023, akan diisi oleh penjabat sampai dengan terpilihnya kepala daerah defenitif hasil Pemilihan 2024.

Berangkat dari dasar pemikiran yang berbeda tersebut akhirnya juga menuai pro dan kontra khususnya di lingkungan partai politik yang menjadi penentunya. Mereka yang sepakat pemilu dilaksanakan di 2022 dan 2023 memberikan alasan alasannya. Salah satunya disampaikan oleh partai Nasdem melalui juru bicaranya. Ketua DPP Partai Nasdem Saan Mustopa seperti dikutip media mengatakan bahwa pembahasan revisi undang-undang (RUU) Pemilu penting untuk dilakukan segera. Selain alasan hukum, ada dinamika kondisi terkini yang mendorong urgensi pembahasannya.

Alasan pertama, ada putusan MK Nomor 55 MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 (tentang rekonstruksi keserentakan pemilu).Dengan adanya putusan itu, dia berpendapat semestinya ada penyesuaian terhadap UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.

Kedua, adanya Perppu Nomor 2 Tahun 2020 tentang perubahan ketiga atas UU Pilkada Nomor 1 Tahun 2015. Perppu ini mengatur penundaan Pilkada 2020 dari yang sedianya digelar September ke bulan Desember dimana penundaaan ini terkait kondisi pandemi virus corona sehingga diperlukan aturan mengenai pelaksanaan pemilihan di masa bencana.

Ketiga, kata Saan, sejumlah aturan dalam UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 membuat dampak pasca-pelaksanaan pemilu yang berat.”Berkaca dari pengalaman Pilpres 2019 dampak polarisasi bahkan berakibat ke politik identitas, agama dan sebagainya. Itu yang mengkhawatirkan sebab terasa sampai sekarang,” tuturnya.

Keempat, pelaksanaan pemilu serentak sebagaimana diatur dalam UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 menimbulkan beban kerja yang berat bagi penyelenggaranya. Pemilu 2019 yang digelar serentak untuk pileg dan pilpres menyebabkan lebih dari 400 penyelenggara yang meninggal dunia akibat kelelahan dan sakit saat menjalankan tugasnya.

Merujuk kepada berbagai pertimbangan di atas, Saan menilai evaluasi terhadap peraturan pemilu dan pilkada bisa dilakukan dalam pembahasan RUU Pemilu sehingga itulah pentingnya pembahasan RUU Pemilu dengan segera.

Sementara itu Kepala Badan Komunikasi Publik DPP Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra mengatakan, pihaknya menyetujui ketentuan dalam draf Revisi Undang-undang Pemilihan Umum ( RUU Pemilu) terkait pelaksanaan Pilkada 2022 dan 2023. Ketentuan ini berbeda dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada yang mengatur serentak digelar pada 2024.

“Demokrat setuju normalisasi penyelenggaraan Pilkada 2022 dan 2023 dalam RUU Pemilu, termasuk di dalamnya Pilkada DKI 2022,” kata Herzaky dalam keterangan tertulis, Rabu (27/1/2021) seperti dikutip media.

Senada dengan Demokrat, partai Golkar melalui Wakil Ketua Umum DPP Golkar Nurul Arifin menyebut Fraksi Golkar mendukung Pilkada tetap digelar 2022 dan 2023.”Kami dari Fraksi Partai Golkar tetap berharap bahwa Pilkada itu dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang seharusnya pada tahun 2022 kan ada 101 daerah yang pilkada, dan tahun 2023 ada 170,” kata Nurul Arifin seperti dikutip tribunnews.com, (29/01/2020).

Dukungan untuk pelaksanaan pemilu di 2022 dan 2023 juga disuarakan oleh PKS (Partai Keadilan Sejahtera). Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKS Mardani Ali Sera mengatakan, pihaknya menyetujui ketentuan dalam draf revisi Undang-Undang Pemilihan Umum (UU Pemilu) terkait pelaksanaan Pilkada 2022 dan 2023. Ketentuan ini berbeda dengan Pasal 201 Ayat 8 UU Nomor 10 Tahun 2016 yang memuat pelaksanaan Pilkada serentak digelar pada 2024.

“Setuju Pilkada DKI di 2022. Bukan hanya Pilkada DKI, tapi semua Pilkada 2022 dan 2023 penting dijalankan,” kata Mardani seperti dikutip Kompas.com Kamis (28/1/2021). Menurut Mardani, jika Pilkada serentak 2024 tetap dilaksanakan, maka akan ada ratusan pejabat sementara (Pjs) yang memimpin daerah dalam waktu lama. Padahal, kata Mardani, di tengah pandemi Covid-19 ini sejumlah daerah membutuhkan kepala daerah definitif untuk menangani pandemi virus corona.

Selain mendapat dukungan dari partai politik, revisi UU Pemilu juga didukung oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dengan catatan revisi itu harus memperhatikan keputusan Makamah Konstitusi (MK). Hal itu terutama terkait keserentakan Pemilu dan pemilihan kepala daerah (Pilkada). “Revisi UU Pemilu harus memasukan beberapa substansi pengaturan berdasarkan putusan MK,” ujarnya.

Tidak sedikit UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang dilakukan uji materi ke MK. Tidak sedikit juga uji materi tersebut dikabulkan MK,” kata peneliti Perludem Fadli Ramadhanil di Jakarta, Senin (11/1/2021).

Ada yang mendukung revisi UU Pemilu dan pelaksanaan pilkada di tahun 2022/ 2023 namun beberapa fraksi di DPR dengan terus terang menolaknya dengan serangkaian alasan tentunya. PDIP dan PPP menyatakan menolak pilkada digelar pada 2022 dan 2023 sesuai draf RUU Pemilu dan mereka sepakat pilkada tetap digelar serentak pada 2024.”Saya pikir di draf RUU Pemilu belum tentu dibahas dan kami Fraksi PPP berpendapat bahwa RUU [Pemilu] belum relevan untuk diubah,” kata politikus PPP Nurhayati Monoarfa seperti dikutip CNNIndonesia.com, Selasa (26/1).

Begitu pula Ketua DPP PDI Perjuangan, Djarot Syaiful Hidayat yang menyatakan pilkada tak perlu digelar pada 2022 atau 2023. Menurutnya, pilkada serentak tetap harus dilaksanakan pada 2024 bersamaan dengan gelaran pemilihan legislatif dan presiden.”Sebaiknya pilkada serentak tetap diadakan pada 2024. Hal ini sesuai dengan desain konsolidasi pemerintahan pusat dan daerah,” ujarnya.

Pendapat yang hampir sama disampaikan oleh PKB (Partai Kebangkitan Indonesia). PKB mengamini sikap Presiden Jokowi yang cenderung menginginkan pemilu serentak di tahun 2024 mendatang. PKB secara prinsip setuju dengan sikap kepala negara alasannya, saat ini pemerintah tengah sibuk menangani pandemi virus corona.

dprd tangsel

“Secara prinsip setuju agar bisa -benar fokus atasi pendemik covid dan dampaknya,” kata Politisi PKB, Daniel Johan seperti dikutip media, Rabu (3/1). Anggota DPR ini tidak khawatir bila Pilkada digelar serentak dengan Pemilu nasional di 2024 anggaran negara akan bisa membengkak jumlahnya. Dia yakin anggaran untuk Pemilu bareng Pilkada 2024 bisa menghemat biaya.

Dari dinamika pro kontra yang terjadi dalam menyikapi revisi UU Pemiu tersebut pada akhirnya tergambar peta dukungan fraksi di DPR yaitu partai mana yang menjadi pendukung dan partai mana yang menolaknya.

Peta dukungan fraksi di Senayan pada 1 Pebruari 2021 menggambarkan ada Enam fraksi di DPR RI yang sepakat agar pilkada serentak digelar pada 2024 saja. Enam fraksi itu adalah PDIP, PAN, Golkar, PPP, PKB, dan Gerindra. Sementara itu, PD, PKS, dan NasDem menginginkan pilkada digelar pada 2022/2023.

Golkar dan Gerindra yang awalnya cenderung ingin pelaksanaan pemilu di 2022 akhirnya merubah sikapnya. Partai Gerindra yang semula bersikap netral, kini telah menentukan sikap menolak pembahasan UU Pemilu dan tetap menginginkan Pilkada serentak 2024. Demikian juga halnya dengan Golkar yang berbalik haluan mendukung pelaksanaan pemilu serentak di 2024 seperti kehendak kepala negara.

Dukungan Gerindra ini menambah jumlah kursi yang kontra pembahasan UU Pemilu yang telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) di DPR. Dengan tambahan 78 kursi Gerindra maka saat ini kubu pendukung Pilkada serentak 2024 menjadi berjumlah 410 kursi karena sebelumnya mendapat sokongan dari PDI Perjuangan (128 kursi), PKB (56 kursi), PAN (44 kursi), Golkar (85 kursi) dan PPP (19 kursi).

Sedang jumlah kursi kubu pendukung Pilkada 2022 dan 2023 hanya 163 kursi yang berasal dari Partai Nasdem (59 kursi), Demokrat (54 kursi) dan PKS (50 kursi).Dengan jumlah total 575 kursi DPR, maka jika dilakukan voting, kubu pendukung Pilkada 2024 akan menang karena sudah mendapat dukungan lebih dari 50%.

Meskipun sudah hampir bisa dipastikan kubu yang setuju pemilu serentak di tahun 2024 mendatang yang akan menang namun penulis secara pribadi sesungguhnya cenderung untuk sepakat dengan adanya gelaran pilkada di tahun 2022/2023. Pertimbangannya ditengah keterpurukan situasi ekonomi dan sosial akibat pandemi virus corona yang dihadapi oleh rakyat saat ini membutuhkan hadirnya kepemimpinan daerah yang legitimate dan definitif, yang ditentukan oleh rakyatnya.

Bukan pejabat sementara yaitu Pelaksana Tugas (PLT) yang ditunjuk oleh penguasa. Karena hal ini mencederai nilai demokrasi seperti yang tertuang dalam UU Nomor 10 tahun 2016 perubahan atas UU Nomor 1 tahun 2015 Pasal 3 ayat (1) yang menyebutkan bahwa Pemilihan Kepala Daerah dilaksanakan 5 tahun sekali secara serentak dan bukan dengan menunjuk pejabat sementara.

Oleh sebab itu, kepastian adanya rotasi yang normal terhadap kepala daerah yang akan habis masa jabatan pada 2022 dan 2023 menjadi sebuah kebutuhan yang perlu dipertimbangkan dengan seksama. Partai politik melalui anggota DPR mesti menjadi penyelamat rakyatnya. Tidak boleh mengorbankan rakyat hanya karena adanya kepentingan politik sesaat yang menguntungkan kelompok tertentu saja.

Selain itu rencana penggabungan Pemilu dan Pilkada serentak di tahun 2024 mendatang berpotensi menyebabkan kekacauan dalam pelaksanannya. Jika kita belajar dari pengalaman kepemiluan 2019 yang lalu , tentu kita berharap agar ada pemisahan antara pemilu legislatif dengan pemilu presiden. Melihat banyaknya korban baik yang sakit maupun yang meninggal dunia maka harus disiapkan bentuk pemilihan umum lainnya yang dapat mengurangi beban kerja dari para penyelenggaranya.

Oleh karena itulah mengapa penting adanya pemisahan antara pemilu nasional dan daerah supaya bisa mengurangi beban kerja penyelenggaranya. Jika pun ternyata harus dilaksanakan serentak, maka perlu ada pengurangan pelaksanaan tahapannya. Terutama penyederhanaan terhadap formulir rekap yang banyak membuat KPPS “tumbang” sehingga menimbulkan banyak korban jiwa.

Berbagai aplikasi berbasis teknologi dapat juga dijadikan sebagai komponen yang membantu mengurangi beban kerja para penyelenggaranya. Sebab tidak dapat dipungkiri bahwa kedepannya Indonesia tidak menutup kemungkinan dapat menyelenggarakan pemilihan umum dengan cara elektronik voting atau e-voting yang memang dimungkinkan pelaksanannya. Hal ini telah tergambar pada Pasal 98 ayat (3) UU Nomor 10 tahun 2016 yang berbunyi “dalam hal pemberian suara dilakukan dengan cara elektronik, penghitungan suara dilakukan dengan cara manual dan/atau elektronik”.

Kalkulasi Politik

Sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam pengambilan keputusan politik oleh sebuah kekuatan politik akan selalu didasarkan pada pertimbangan pertimbangan tertentu yang seringkali berbeda dengan kenyataan yang sebenarnya. Alasan alasan formal bisa dibuat selogis mungkin tetapi sebenarnya ada “hidden agenda” disana. Apa yang tersirat bisa berbeda dengan yang tersurat sehingga yang nampak nyata tidak selalu begitu faktualnya.

Seperti halnya konstelasi politik di DPR dimana ada partai yang menolak dan menerima revisi UU Pemilu, tentu ada misi misi tertentu yang bermain dibelakangnya. Misi itu seringkali memang tidak di ungkapkan tetapi sebenarnya publik dengan sederhana bisa membaca dan menganalisanya kemana arah dan tujuannya.

Sebagai contoh adanya sikap pemerintah yang menolak normalisasi Pilkada pada 2022 dan 2023, serta menginginkan pemilu serentak di 2024, menimbulkan tanda tanya. Karena sikap ini bertentangan dengan alasan pemerintah ketika memaksakan pelaksanaan Pilkada di 2020 yang lalu ditengah pandemi virus corona.

Pada saat itu pemerintah ngotot memaksakan Pilkada 2020 di tengah pandemi corona dengan alasan tak ingin ada sopir cadangan atau pejabat sementara/pelaksana tugas yang memimpin daerah sebagai Bupati atau Walikota. Pemerintah beralasan butuh kepala daerah definitif karena upaya pengendalian pandemi dan pemulihan ekonomi tak akan efektif dengan mengangkat pejabat sementara.

Tetapi mengapa alasan yang sama tidak digunakan untuk pelaksanaan pilkada di 2022 dan 2023 ?Apakah penolakan terhadap rencana gelar pilkada di 2022 dan 2023 itu karena alasan tidak ada anak dan mantunya yang ikut berkontestasi disana ?. Atau karena akan menghilangkan peluang bagi pemerintah untuk menunjuk “orang orangnya” menduduki jabatan sebagai Gubernur, Bupati dan Walikota yang akan habis masa jabatannya ?.

Seperti diketahui, sebanyak masa jabatan 101 kepala daerah, termasuk DKI Jakarta dan 8 gubernur, akan berakhir tahun 2022. Sedang pada tahun 2023 terdapat 171 kepala daerah yang habis masa jabatannnya, termasuk gubernur Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera Utara.

Jika pilkada di daerah-daerah tersebut dilaksanakan tahun 2024 maka jabatan kepala daerah akan diisi oleh pelaksana tugas (Plt) di mana untuk level gubernur dapat diisi oleh pejabatan setempat yang memenuhi kriteria atau didrop dari pegawai Kementerian Dalam Negeri sesuai arahan penguasa di Jakarta.

Jika yang ditunjuk adalah “orang orangnya” maka diharapkan tidak akan diragukan lagi loyaliasnya. Sehingga daerah yang strategis seperti DKI Jakarta atau Sumatera Utara bisa di isi oleh orang orang sejalan dengan garis politik penguasa. Siapapun tentu tidak ingin mengabaikan kesempatan emas ini berlalu begitu saja. Mungkin inilah salah satu alasan mengapa perlu dilaksanakan pemilu serentak di 2024 bukan di 2022 atau 2023.

Kalkulasi politik lainnya dengan menunda pelaksanaan pemilu ke 2024 bisa menjadi cara halus untuk menjegal Anies Baswedan yang digadang gadang bakal menjadi calon potensial presiden Indonesia selanjutnya. Diakui atau tidak Gubernur DKI Jakarta ini bisa menjadi batu sandungan rencana partai penguasa yaitu PDI-P untuk meneruskan suksesi kepemimpinan Presiden Jokowi setelah habis masa jabatanya.

Bukan mustahil, pada tahun 2024 mendatang, elektabilitas dan popularitas Anies makin melambung saja. Untuk itu, perlu adanya upaya penjegalan sedemikian rupa. Caranya adalah dengan tidak memberikan panggung strategis baginya.

Bila Pilkada serentak akhirnya dilaksanakan pada tahun 2024, otomatis mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini bakal kehilangan panggung kekuasaannya. Dengan begitu, kemungkinan besar sulit bagi Anies mampu mempertahankan elektabilitas dan popularitasnya. Bahkan, bukan mustahil publik akan melupakannya jika dia tidak pintar-pintar mencari panggung untuk mempetahankan popularitasnya.

Berbeda halnya jika Pilkada DKI dilaksanakan pada tahun 2022. Sebagai incumbent, peluang Anies mempertahankan jabatannya cukup besar karena baik birokrasi dan anggaran masih dikuasainya. Dimana mana yang namanya incumbent itu biasanya lebih mudah memenangkan pilkada apalagi kalau ia punya prestasi yang diakui oleh rakyatnya. Mungkin inilah alasan mengapa pemerintah merasa perlu menggeser pilkada tidak di 2022 atau 2023.

Alasan logis lainnya apabila Pilkada serentak terjadi pada tahun 2024, maka secara otomatis daerah-daerah yang masa jabatan pemimpinnya habis pada tahun 2022 dan 2023 akan diisi oleh pelaksana tugas (Plt). Di sini peluang pemerintah yang sedang berkuasa sangat besar peranannya. Karena ia bisa menentukan “orang orangnya” untuk menduduki jabatan jabatan yang kosong tersebut sambil menunggu pelaksanaan pemilu serentak 2024 tiba.

Seperti dikutip dari CNN Indonesia, pada tahun 2022 akan ada 101 kepala daerah yang akan habis masa jabatannya, termasuk DKI Jakarta. Sedangkan pada tahun 2023 lebih banyak lagi yaitu ada 171 daerah yang berakhir masa jabatannya. Bila dijumlahkan maka sebanyak 272 daerah yang bisa di isi pejabat barunya oleh pemerintah yang sedang berkuasa. Sampai sampai ada yang pernah menyebut presiden saat ini adalah presiden yang sangat berkuasa karena bisa menentukan PLT di 272 daerah di Indonesia.

Bila ke-272 daerah ini diisi oleh pelaksana tugas berdasarkan keinginan penguasa, maka sudah hampir dipastikan daerah-daerah tersebut akan memiliki peluang besar untuk mampu memenangkan siapapun calon yang diusung penguasa nantinya. Karena bagaimanapun sangat besar peranan kepala daerah dalam menyokong kepentingan politik pusat yang didukungnya. Bukankah banyak kepala daerah yang selama ini ditugaskan khusus oleh partainya untuk menggiring massanya pada orang-orang yang menjadi pilihannya ?.

Itulah barangkali beberapa kalkulasi poltik yang kiranya mendasari pilihan pilihan partai politik dalam menentukan dukungannya untuk pelaksanaan pemilu di 2024 atau di 2022. Kalkulasi politik seperti ini kiranya wajar wajar saja karena pertimbangan partai politik dalam menentukan pilihan politik seringkali bersifat pragmatis semata bukan didasarkan pada landasan ideologis yang seharusnya menjadi dasar utama dalam menentukan pilihan politiknya. (*/Red/LJ)

Golkat ied