SERANG – Perjuangan masyarakat Pulau Sangiang, Kecamatan Anyar, Kabupaten Serang, belum selesai sampai putusan pengadilan semata terhadap kasus sejumlah warga yang dikriminalisasi. Keinginan yang kuat bagi warga, adalah bisa kembali dan menetap tanpa adanya permasalah hukum di tanah leluhur yang telah mereka diami selama hampir 4 generasi lamanya.
Bukannya menolak atau tidak menerima terhadap putusan pidana ringan dari hakim Pengadilan Negeri Serang, tetapi masyarakat secara tegas ingin melindungi kedaulatan tanah leluhur Pulau Sangiang yang sudah ditempati hampir puluhan tahun. Warga berharap apa yang sudah diupayakan para leluhur untuk bisa diwariskan kembali kepada generasi berikutnya.
Karenanya, dengan didampingi LBH Rakyat Banten sebagai kuasa hukum, warga menyerahkan pernyataan banding ke Pengadilan Tinggi, atas kasus hukum tiga warga Pulau Sangiang, yaitu Mardaka, Lukman dan Masrijan, yang telah diputus bersalah karena telah menggadaikan dan atau menyewakan lahan yang bukan haknya sebagaimana KUHP pasal 385 ke-4 atas lahan yang diklaim milik PT Pondok Kalimaya Putih (PKP) di Pulau Sangiang.
“Upaya ini merupakan upaya hukum biasa yang dimana salah satu tujuannya untuk kepentingan Reforma Agraria, untuk memperbaiki struktur ketimpangan lahan dan mengembalikan tanah pada esensinya sebagai alat produksi yang berdampak pada peningkatan produktivitas serta menaikkan taraf hidup masyarakat,” kata Arfan Hamdani, sebagai pengacara masyarakat kepada faktabanten.co.id, Rabu (29/5/2019).
Arfan Hamdani menjelaskan, Konsep Reforma Agraria yang diusung Pemerintah Republik Indonesia saat ini adalah dengan melakukan legalisasi aset dan redistribusi lahan atau disebut Tanah Objek Reforma Agraria (Tora). Ternyata hal ini belum sampai kepada masyarakat yang berada di Pulau Sangiang, hampir 4,1 juta hektar tanah pelepasan kawasan hutan yang dijanjikan Pemerintah Pusat belum sampai ke warga Pulau Sangiang.
“Sangat penting bagi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Banten dan Pemerintah Kabupaten Serang khususnya untuk mengidentifikasi tanah yang menjadi objek Reforma Agraria di lokasi konflik. Jangan sampai membuat masyarakat tidak bisa lagi mengakses lahan untuk penghidupannya,” ungkap Arfan.
Dijelaskan Arfan, seraya mengutip kata dari Mochammad Tauhid dalam bukunya Masalah Agraria sebagai masalah penghidupan dan kemakmuran Rakyat Indonesia (1952), Agraria tak lepas dari persoalan tanah dan persoalan hidup dan sumber penghidupan manusia, perebutan tanah berarti perebutan sumber kehidupan bagi manusia.
“Sedangkan kalimat suatu hak pengguna sebidang tanah oleh rakyat Indonesia di atas tanah negara (landsdomein) atau tanah partikulir harus dibaca sebagai suatu hak pengguna sebidang tanah, sebagaimana diatur dalam UU Pokok Agraria. Hal inilah yang membuat kami dari Kuasa Hukum Masyarakat Pulau Sangiang untuk terus memperjuangkan hak masyarakat tersebut,” terang Arfan.
Seperti diketahui Dalam Bab I pasal 6 UUPA No 5 tahun 1960 semua hak tanah memiliki fungsi sosial. Dengan keberadaan PT PKP di Pulau Sangiang, hal itu yang membuat lahan masyarakat Pulau Sangiang sudah tidak berfungsi kembali gimana semestinya.
“Menteri ART/BPN Sofyan A Jalil pernah mengatakan ‘Tujuan kami adalah bagaimana memfasilitasi sehingga tidak lagi terjadi sengketa, kita ingin memiliki kepastian hukum di pertanahan’. Hal ini serupa dengan penyataan Presiden Jokowi di sela pembukaan rapat terbatas. Presiden mengatakan ‘saya pernah menyampaikan konsesi yang diberikan kepada swasta maupun BUMN, kalau di tengahnya ada Desa, ada kampung yang sudah bertahun-tahun hidup disitu kemudian mereka malah menjadi bagian dari konsesi itu. Berikan kepada masyarakat kampung Desa, kalau yang diberi konsesi sulit-sulit cabut konsesinya’,” jelas Arfan.
Sejalan dengan Undang-undang No 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau kecil. Dan juga putusan Mahkamah Konstisusi nomor 3/PPU-VIII/2010 telah memandatkan dan menegaskan bahwa negara harus menjamin terpenuhinya Hak Konstitusi. Salah satunya adalah hak untuk mengelola wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
“Pada Bab I bagian V pasal 20 ayat 1 disebutkan hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpengaruh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Mengingat adanya hak bagi masyarakat inilah yang terus kami perjuangkan. Jadi pada intinya harapan kami sebagai pengacara daripada tiga orang masyarakat Pulau Sangiang yang sudah diputus bersalah, namun kami terus upayakan hukum melalui banding hari ini, jadi jangan sampai permasalah hak atas tanah menjadi permasalah terus menerus yang diderita oleh masyarakat Pulau Sangiang kedepannya,” tandas Arfan. (*/Eza Y,F)