Deby Rosselinni*
FAKTA BANTEN – Waktu berjalan seperti roh-roh dalam lembah yang senyap. Sementara di tengah kegelapan malam aku duduk sendiri di sudut kamarku. Aku merasa seperti bumi yang kehilangan matahari. Sungguh! Aku berusaha sekuat tenaga yang masih tersisa, untuk menutup teliga dengan kedua telapak tanganku.
Aku ingin tuli!
Seakan dadaku hancur karena tak tahan menanggung beban yang harus kusimpan. Dan beberapa kali kukutuk hidup ini dengan pasang mata yang telah banjir bagai air bah.
Pintu kamarku masih saja meneror, meminta agar dibukakan. Tapi, kakiku enggan untuk meninggalkan pertapaanku yang sunyi. Lalu, kutenggelamkan wajahku, dan menangis pilu. Laksana gunung berapi, bayangan mama dan papa meletuskan kekecewaan yang membuat rusuh kehidupanku.
“Malam yang malang, sebab tak ada kebahagiaan yang hinggap pada malam, hanya ada kegelapan yang mengkhawatirkan,” tawaku getir. Mencoba menghibur diri.
Atau barangkali, malamlah yag menertawakanku dengan menyebutku manusia paling sial dan malang untuk hidup di dunia. Bahkan aku tak diperbolehkan merasakan kasih sayang kedua orangtuaku lebih lama! Ah, aku hanya tahu bahwa mala mini aku kembali bersedih seperti malam-maam yang lain ketika mengunjungiku.
Mataku menyapu sekeliling ruangan yang gelap yang kuanggap kamar. Sengaja kumatikan lampunya. Karena tiba-tiba mataku menghendaki kebutaan. Di samping kanan pintu ada tempat pembaringan, tiga langkah ke depan meja belajar usang yang di atasnya terdapat tumpukan buku-buku berlapis debu, almari yang berisikan pakaian-pakaian yang angkuh, dan pintu yang tertutup dengan lubang kunci yang kecil dan memperlihatkan secercah cahaya.
“Manda? Buka pintunya, sayang. Ini Mamah.” Suara perempuan setengah baya itu kadang terdengar memilukan di telingaku. Atau barangkali menjijikkan, bagiku.
“Manda? Cepat keluar! Dasar anak tak tahu diri!” suara ini berasal dari lelaki kekar dan berwajah sangar dan dingin. Tak ada kehidupan dalam sorot matanya, hanya ada peti kematian yang dipenuhi roh hantu jahat. Dan, aku benci dia!
“……….pelangi datang setelah hujan, dan hujan datang setelah langit menjadi gelap!……”
Waktu masih tetap berjalan, dan akan tetap berjalan hingga aku mati kelak. Kali ini ia berjalan seperti bayang-bayang menakutkan dengan seribu penderitaan yang menghiasinya. Aku yang melihatnya hanya bisa menggigit bibir mengusir hitam dalam bilik hati. Meskipun hanya kesia-siaan belaka.
Mamaku telah memutuskan untuk pergi meninggalkan papa, dengan alasan tak cukup kuat untuk menghadapi semua perilaku gila yang ada pada diri lelaki bermata kematian itu. Sebagaimana semua suami, papa mengamuk tak terima dengan keputusan Mama, lalu menuduh wanita berwajah menor itu telah mempunyai kekasih lain dan mengkhianatinya.
Mereka akhirnya berperang dari detik ke detik, dan berlajut malam ke malam; saling menuduh tidak setia, saling mengutuk, dan saling membenci satu sama lain. Aku bersama segala impian yang kumiliki menjadi tumbal yang dipersembahkan mereka di tempat penjagalan.
Keegoisan mereka telah menjamah jiwaku yang beku. Dan membuatnya seperti daun keringn di musim gugur. Beberapa teman-temanku (bukan teman dalam arti yang mengertiku, mereka hanyalah manusia penuh denda dan penyakit dalam hati yang hanya bernafsu pada kehormatan) mengolok-olokkan dan menganggap aku adalah anak paling sial sebangsa anjing, sebab tak mempunyai keharmonisan keluarga serta mengatakan bahwa aku pembawa sial hingga kedua orang tuaku berpisah dengan melukiskan kebencian di mata mereka.
Pendapat tetanggaku, bahwa aku menjadi mangsa yang menggigi dalam cengkeraman kedua orangtuaku, yang digunakan untuk tetap bertahan menjadi sepasang kekasih yang mulai resah di tahun terakhir ini. Hingga suatu malam mama membuat sebuah keputusan, dan semua berakhir begitu saja.
Tak usah terlalu banyak membicarakan sosok wanita menor itu, sebab ia sudah sering menjadi pergunjingan para manusia berjiwa batu di dunia ini. Tak heran, jika para malaikat, dan iblis mengenalnya. Ia terkenal dan telah menjelma menjadi manusia dengan kepercayaan pada nuraninya yang tak bisa dikalahkan. Bahkan sang roh dalam kedamaian belum tentu dapat memutuskan hubungan batinnya dengan raganya.
Aku adalah kesedihan dalam jiwaku sendiri. Ingin rasanya pergi diam-diam dari dunia ini. Mengendap-endap perlahan di bawah sayap-sayap malam yang begitu kejam. Asalkan tak kutemui para manusia dengan mata merah kebencian dan bau gosong karena terlalu memanggang diri, agar selalu tampak hebat dengan kemewahan yang ada.
“Manda? Ayolah, sayaang! Mama membawa mainan kesukaanmu. Keluarlah!” ujar mama pantang menyerah. Ah, wanita itu tak kenal kata mundur, kecuali tentang ikatan sucinya yang ia lepas begitu saja, atau mungkin memang ia telah berusaha keras, namun gagal.
Ah, aku sudah terlalu kaku untuk memainkan sesuatu, Mah.
Ada bisikan angin yang membuatku termenung, mengingat kejadian beberapa tahun yang silam; ketika aku sedang berlibur dengan Mama dan Papa, di sebuah taman. Kami bahagia, aku bermain kuda-kudaan dengan papa, dan mama menyuapi aku dengan makanan lezat buatanya. Kenangan itu seakan menggosok bilik hatiku, dan satu, dua, tiga, serta ribuan air mata kupersembahkan untuk kenangan manis yang mungkin takan pernah bisa terulang kembali. Sebab waktu terlampau kejam untuk mengasihaniku.
“Lihat! Anak itu menjadi anak yang manja. Ajarkanlah kenyataan! Jangan membunuhnya dengan angan-angan yang menipu. Sadarlah!” teriak Papa.
“Aku tahu apa yang telah aku ajarkan padanya,” kata mama dengan penekanan yang tegas. “Dan aku tahu apa yang terbaik untuknya!”
“Dusta!” bentak Papa kasar.
Aku masih bisa mendengar percakapan memuakkan itu dari dalam kamar, walaupun aku berusaha untuk menjadi tuli.
“Kau hanya mengajarkan tentang mawar dan pelangi. Ingatlah bahwa pelangi datang setelah hujan, dan hujan datang setelah langit menjadi gelap!” lanjutnya.
“Aku tak peduli!”
“Aku tak ingin ia mengalami kepahitan sepertiku! Aku tak ingin kau kubur impiannya dengan paksa, dan aku tak ingin kabut hitam menyelimutinya. Seperti kematian yang menyelimutimu,” protes Mama.
“Bla… bla… bla.”
Dan terjadilah pertempuran yang melelahkan. Mama tetap membela hati nuraninya, dan papa terus mencacinya sebab langkah konyol mama.
Dengarkanlah jeritan hatiku, Mama dan Papa! Mengapa kalian ditakdirkan untuk menjadi musuh setelah saling mencintai. Adakah yang salah denga cinta? Ataukah kalian yang sedang bermasalah?
Kristal-kristal itu pecah, mencair dan menyeruak keluar sebagaimana saat pipiku basah olehnya. Ada keharuan serta duka di dalamnya, hanya saja api yang ganas sedikit demi sedikit membakarnya.
Aku merasakan panas menggerogoti tubuhku, lalu aku berteriak seolah tak tahan lagi akan kenyataan yang terjadi; “Tinggalkan aku! Aku ingin sendiri.”
“Kumohon, pergilah!” pintaku, mengendorkan nada suaraku. Memelas, seperti pengemis yang meminta sesuap nasi. Bagaimanapun, berada di posisiku yangn sangat melelahkan, dan membuat sengsara sebab duka, penderitaan tak pernah rela melepasku.
Aku menarik napas untuk menghentikan tangisku, dan air mata itupun terbang ke langit. Mencoba mencari embun, pelangi, dan cahaya.
Setelah itu tak ada lagi kegaduhan yang kudengar.
Yah, aku tuli! Dan benar-benar menjadi tuli. Haruskah aku bahagia dan merayakan pesta kegembiraan palsu sebab aku tuli? [*]
Biodata Penulis.
Deby Rosselinni, gadis sederhana yang suka membaca dan gemar menulis. Hidup dalam imajinasi, dunia dongeng, tertumpuk buku-buku tua, mengatakan bahwa sedikit kegilaan itu perlu. Tinggal di Cilegon Banten. Kelahiran 06 Desember 1997. Mahasiswi di Universitas Ageng Tirtayasa (UNTIRTA) jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia. Kegembiraan terbesarnya adalah terus menulis. Beberapa karyanya sudah dimuat media lokal Banten. Karya yang diterbitkan, The Mistery Checkered Floor and Gods (kumpulan cerpen tunggal) 2012; Simfoni Cinta Khanzah (sebuah novel tunggal) 2014; Bukan Cerita Cinderella: Gilalova 6 (kumpulan cerpen bersama) 2015; Kurajut Cintamu lagi (kumpulan cerpen bersama) 2015; Ibu (kumpulan cerpen bersama) 2015; Aidhil Fitri (antologi puisi bersama tiga negara, terbit di Malaysia) 2016. Kesibukkannya menjadi guru les privat anak-anak, dan pengurus di GAKSA (Gabungan Komunitas Sastra Asean), berorganisasi di Pelajar Islam Indonesia (PII) Banten. Impiannya membuat Taman Rosselinni, yang telah didesainnya sejak masa kanak-kanak; sebuah perpustakaan besar, galeri lukisan, taman bermain anak, kebun mawar dan segala hal yang disukainya.