Ini Potensi Gempa Jika Terjadi Patahan Sesar Lembang Bandung

FAKTA BANTEN – Dalam kurun waktu tiga bulan terakhir, beberapa wilayah di Indonesia diguncang gempa bumi. Sebut saja gempa yang melanda Lombok.

Gempa bumi terjadi di Kabupaten Lombok Utara, Lombok Timur, Lombok Barat, Kota Mataram, Kabupaten Sumbawa, dan Kabupaten Sumbawa Barat dengan kekuatan 6.4 SR (24 Juli 2018), 7.0 SR (5 Agustus 2018), 6.2 SR (9 Agustus 2018) dan 6.9 SR (19 Agustus 2018).

Setelah Lombok, gempa bumi juga terjadi di Sulawesi Tengah. Gempa di Donggala dan Palu berkekuatan 7,4 magnitudo terjadi pada Jumat sore (28/9/2018).

Tidak hanya gempa, tsunami pun melanda Palu dan menyebabkan lebih dari seribu orang meninggal dunia dalam bencana tersebut.

Gempa Sulteng tersebut diketahui disebabkan oleh aktivitas sesar Palu Koro.

Sedangkan gempa Lombok disebabkan oleh Sesar Naik Flores atau Flores Back Arc Thrust.

Dilansir Tribun Jabar dari Kompas.com sesar adalah patahan pada tubuh bumi yang mengalami pergerakan.

Di Indonesia, terdapat beberapa wilayah yang memiliki patahan geser, termasuk Bandung dan sekitarnya.

Diketahui, di wilayah Bandung terdapat Sesar Lembang yang memanjang horizontal 29 kilometer mulai Kecamatan Ngamprah, Cisarua, Parongpong, hingga Lembang atau titiknya dari Batu Loceng sampai Padalarang (Ciburuy).

Infografis Sesar Lembang ()

Berkaca dari peristiwa masa lalu, Bandung pernah diguncang gempa berkekuatan sekitar 6,5 hingga 7 pada abad ke-15 dan tahun 60 SM. Gempa tersebut diyakini dipicu oleh sesar aktif Lembang.

Masih melansir dari Kompas, karakteristik Sesar Lembang sebagai sesar aktif, artinya suatu saat nanti Sesar Lembang dapat berpotensi gempa bumi dan akan terulang di tempat yang sama.

Ahmad Solihin, Kepala Sub-Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Wilayah Barat PVMBG, mengatakan, Sesar Lembang juga diketahui menghasilkan patahan-patahan kecil yang tidak teridentifikasi.

Sesar Lembang, ujarnya, adalah patahan lempeng bumi yang aktif akibat subduksi yang melintas ke kawasan Lembang, sekitar 15 kilometer ke utara dari pusat Kota Bandung.

“Secara garis besar, ada tiga sesar yang membentang di Jawa Barat, yakni Sesar Cimandiri, Sesar Lembang, dan Sesar Baribis. Sangat mungkin ada sesar-sesar kecil dalam jumlah banyak yang muncul dari ketiganya dan sampai sekarang belum teridentifikasi,” ujar Ahmad di ruang kerjanya, Senin (7/8/2018).

Ahmad mengatakan, tentu saja yang paling parah terdampak bencana adalah wilayah yang berada di dekat pusat bencana.

Di Sesar Lembang, ujarnya, salah satunya adalah kawasan Cigadung, Kecamatan Cibeunying Kaler. Dari Cigadung ke titik Sesar Lembang, jaraknya hanya sekitar lima kilometer.

“Tahun 2011 sempat ada gempa berpusat di Lembang. Gempanya kecil, sekitar tiga skala Richter tapi waktu itu efeknya terasa hingga ke kawasan Cimuncang. Dinding-dinding rumah saya rusak,” ujar Ahmad.

Kawasan Cekungan Bandung yang secara geologis merupakan bekas danau Bandung Purba, ujarnya, akan menguatkan guncangan gempa itu.

Kontur tanah di Cekungan Bandung cenderung labil karena bekas lumpur dan letusan gunung api.

Semua peserta AYVP 2017 (Asean Youth Volunteer Programme) mengunjungi lokasi longsor di Kampung Cikaramat Desa Cikahuripan Lembang, Jumat (4/8/2017). Para relawan asal 10 negara di Asean ini akan ikut menyosialisasikan pengurangan risiko bencana Sesar Lembang selama 26 hari lamanya. (TRIBUN JABAR/MUMU MUJAHIDIN)

“Kalau ada guncangan, efeknya ke Cekungan Bandung tentu akan lebih kuat karena kondisi geologisnya itu,” ujar Ahmad.

Patahan-patahan yang belum teridentifikasi akan makin memperparah gempa di Cekungan Bandung lantaran patahan yang kecil juga akan menghasilkan gempa yang skalanya kecil.

Menurut Ahmad, besar kecilnya gempa dihasilkan oleh dekat atau jauhnya jarak antara lempengan pada suatu sesar.

Lantas, seberapa besar kekuatan gempa itu?

Peneliti Utama Pusat Survei Geologi (PSG), Badan Geologi, Asdani Soehaimi, menjelaskan, kekuatan gempa akibat Sesar Lembang diperkirakan tidak akan lebih besar dari gempa Palu-Donggala 7,4 magnitudo.

“Mungkin kekuatannya tidak sebesar Sulawesi, jadi berdasarkan perhitungan saya dia lebih kecil dari pada enam magnitudonya, tidak lebih dari pada itu,” ujarnya saat ditemui di Aula Museum Geologi, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Jumat (5/10/2018).

Asdani menjelaskan, Sesar Lembang terbagi menjadi beberapa segmen. Segmen-segmen itu, tidak serta-merta dapat bergerak secara bersamaan.

Karena patahan Lembang itu terbagi menjadi beberapa segmen.

“Jadi ada segmen satu, dua dan tiga, atau segmen barat, tengah, dan timur. Jadi, tidak secara serta-merta dia bergerak secara bersamaan, pasti segmen per segmen,” kata Asdani.

Lebih lanjut, kata Asdani, jika dibandingkan dengan Patahan Opak yang membentang dari pesisir Pantai Bantul hingga ke Prambanan sepanjang 40 kilometer dengan arah 30 derajat Timur Laut, Patahan Lembang tidak seaktif patahan yang mengakibatkan gempa Yogyakarta pada 2006 itu.

Pasalnya, Patahan Lembang tak seperti Patahan Opak yang berdekatan dengan sumber gaya gempa buminya, yaitu subduksi di selatan Yogyakarta.

Mudrik Rahmawan Daryono, peneliti gempa dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan bahwa sesar Lembang memiliki pergerakan sekitar 3 milimeter per tahun.

“Jadi setiap tahun dia bergeraknya selalu 3 milimeter. Ketika sesarnya tidak lagi bisa menahan gerakan sekitar 4 meter, maka dia harus melepaskan energinya,” imbuh Mudrik, seperti dikutip dari Kompas.com.

Dengan pernyataan itu, Mudrik membantah pesan berantai yang mengatakan sesar Lembang dapat mengakibatkan aktivitas gempa dengan magnitudo lebih dari 8,0.

“Kalau (magnitudo) 8,0 itu kekuatan luar biasa besar dengan skala ratusan kilometer. Sementara kalau di sesar Lembang dia panjangnya 29 kilometer,” jelasnya.

Pertanyaan selanjutnya, seberapa besar kerusakan yang ditimbulkan bila terjadi gempa bumi di jalur Sesar Lembang?

Deputi Bidang Geofisika BMKG Dr. Ir. Muhamad Sadly, M.Eng mengatakan, hasil pemodelan peta tingkat guncangan (shakemap) oleh BMKG dengan skenario gempa dengan kekuatan M=6,8 dengan kedalaman hiposenter 10 km di zona Sesar Lembang (garis hitam tebal), menunjukkan bahwa dampak gempa dapat mencapai skala intensitas VII-VIII MMI (setara dengan percepatan tanah maksimum 0,2 – 0,4 g) dengan diskripsi terjadi kerusakan ringan pada bangunan dengan konstruksi yang kuat.

Dinding tembok dapat lepas dari rangka, monument/menara roboh, dan air menjadi keruh.

Sementara untuk bangunan sederhana non struktural dapat terjadi kerusakan berat hingga dapat menyebabkan bangunan roboh.

Secara umum skala intensitas VII-VIII MMI dapat mengakibatkan terjadinya goncangan sangat kuat dengan kerusakan sedang hingga berat. (*/Tribun Jabar & Kompas)

Honda