Masa Depan Politik Perempuan Pada Pileg 2019 dan Feminis Post Kolonialisme
*) Oleh: Agus Hiplunudin
FAKTA BANTEN – Pada 25 Mei 2018, setelah mengisi seminar tentang “Sosialisasi Redesain USO” bersama Hj Kartika Yudhisti., B. Eng., M. Sc., anggota DPR RI Komisi I di Hotel Le Dian Serang-Banten. Penulis berbincang: “Bagaimanakah menurut Ibu kompetisi politik perempuan di 2019?” tanya penulis pada waktu itu. “Ya 2019 mendatang lebih banyak lagi perempuan yang naik untuk mencalonkan diri berkompetisi ke DPR RI—berbeda dengan tahun 2014 silam dari kalangan perempuan jarang yang mencalonkan diri. Jadi kalau dulu saya cukup diuntungkan (saingannya sedikit),” paparnya sambil tersenyum.
Pernyataan Kartika Yudhisti tersebut mencerminkan bahwasanya perempuan Indonesia tengah bangkit dalam perpolitikkan, ini mengindikasikan kemajuan gender capaian para feminis post kolonialisme. Dalam konteks sejarah perkembangan feminisme terbagai menjadi dua fase. Fase pertama, feminisme lahir bersamaan dengan era pencerahan Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Worlky Montagu dan Marquis de Condarcet, keduanya merupakan anggota perserikatan perempuan ilmiah. Dari Eropa gerakan ini berpindah ke Amerika kemudian berkembang pesat setelah Jhon Stuart Mill menerbitkan buku The Subjection of Women. Fase kedua, lahir setelah terjadinya perang dunia kedua, di mana lahir negara-negara baru yang terbebas dari jajahan Eropa dan memberikan perempuan hak pemilihan di parlemen—inilah feminis post kolonialis salah satunya Indonesia yang merdeka dari Belanda pada pasca Perang Dunia II tersebut.
Fakta menunjukkan bahwa keterwakilan perempuan di parlemen Indonesia hanya berkisar 10 persen sejak digelar pemilu pertama pada tahun 1955 hingga 2004. Perlu digaris bawahi prestasi tertinggi diperoleh dari Pemilu 1987 yang menempatkan 65 perempuan dari 500 anggota DPR, artinya keterwakilan perempuan di parleman mencapai angka 13 persen dan pada pemilu 1999 yang dianggap terbuka, transparan, dan demokratis mengantarkan 45 perempuan ke kursi parlemen, artinya hanya 9% saja. Sementara fakta hasil pileg 2014 menunjukkan hanya 17 persen saja perempuan yang duduk di parlemen. Padahal telah direalisasikan; dimana satu perempuan di setiap tiga laki-laki calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Ketentuan ini tentunya dibuat oleh KPU dalam Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2013 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota guna mengejar 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen.
Sementara dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 disebutkan bahwa keterwakilan 30 persen berlaku di tingkat pusat kepengurusan parpol dan ini mesih menjadi polemik sebab dianggap kurang afirmasi terhadap perempuan dalam politik. Adapun harapan dari afirmasi politik perempuan guna mengejar 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen.
Demikianlah gambaran politik perempuan pada feminis post kolonialisme, lebih lanjut: “Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri, bersuka karena usahanya sendiri dan maju karena pengalamannya sendiri.” Bumi Manusia, Pramoedya Ananta Toer.
Kutipan di atas merupakan ungkapan tokoh perempuan yang bernama Nyai Ontosoroh, berkomentar terhadap kisah Minke yang berusaha mencari uang dengan menjadi makelar perusahaan mebel disela-sela waktu sekolahnya. Ini menggambarkan semangat Nyai Ontosoroh yang begitu kuat akan pentingnya berdikari, berdiri di kaki sendiri. Ketergantungan pada sesuatu yang lain membuat lemahnya watak seseorang dan hilangnya harga diri. Nyai Ontosoroh merupakan salah satu tokoh dalam novel Bumi Manusia, satu dari empat karya Pramoedya Ananta Toer dikenal orang sebagai karya tetralogi Pulau Buru yang cukup fenomenal dan dilarang terbit semasa pemerintahan Orde Baru, Soeharto.
Nyai Ontosoroh merupakan citra perempuan dari masyarakat bawah. Ia bernama asli Sanikem, yang memberikan kesan yang jelas atas posisinya dalam stara sosial Jawa secara tradisional. Selain itu, ia adalah perempuan, sosok yang masih dimarjinalisasi dalam strata sosial masyarakat Jawa yang patriarki, terlebih dalam iklim kolonialisme, penjajahan Belanda.
Salah satu pesan moral yang terkandung dalam novel itu di mana Nyai Ontosoroh memiliki cita-cita perjuangan, yakni; kesadaran identitas sebagai bangsa pribumi yang harus terlepas dari perasa-perasaan inferior, dan itu akan menentukan nasib bangsanya di masa yang akan datang.
Feminisme post kolonial dapat difahami dari pengalaman masa lalu yang bersumber dari penghayatan perempuan dimana mereka telah mengalami penindasan gender dan mengalami subordinasi atau penindasan berdasarkan SARA, suku, agama, dan ras. Perempuan Indonesia semasa zaman kolonial menjadi gundik orang Belanda. Para gundik diberlakukan secara buruk dan tentu saja berwajah patriarki, belum lagi para gundik atau nyai secara gender mendapat cemoohan dari perempuan Belanda—mereka menghina istilah nyai sebagai perempuan ban serep, barang inpentaris, dan sejenisnya. Pergundikan merupakan potret pengalaman buruk bagi perempuan-perempuan yang hidup di negara-negara terjajah seperti Indonesia. Tentu saja hal tersebut menyisakan traumatis dan menimbulkan perasaan inferior berkepanjangan bagi kaum perempuan.
Selain dari itu pada era kolonialis Belanda seorang laki-laki Belanda dilarang menikahi perempuan pribumi; soalnya perempuan pribumi dianggap ras bawah/perempuan asal negara terjajah—kendati demikian pergundikan tetap berlangsung dan hal tersebut begitu kental patriarkinya. Belum lagi kebijakan Coen yang menyatakan bahwa anak-anak hasil pergundikan akan menyisakan sifat-sifat buruk seperti berwatak pemalas, boros, dan suka bersenang-senang, sehingga banyak pula anak hasil pergundikan yang diterlantarkan. Selama kurang lebih tiga setengah abad lamanya perempuan Indonesia hidup dalam suasana pergundikan, tersubordinasi, termarjinalkan, dan inferior.
Setelah para penjajah hengkang dari Indonesia tentunya suasana inferioritas terhadap perempuan tidak serta merta menghilang, budaya patriarki terbentuk sedemikian rupa—mengakar dan mendarah daging. Di negara post kolonialisme seperti Indonesia budaya patriarki terlembagakan sehingga perempuan dipandang sebelah mata. Telah tujuh puluh tiga tahun Indonesia merdeka dan perempuan Indonesia sedang bangkit melawan perasaan-perasaan inferior itu.
Afirmasi action 30 persen keterlibatan perempuan dalam pencalonan legislatif di pemilu 2019 merupakan langkah yang konkrit untuk mengembalikan kepercayaan diri para perempuan Indonesia. Karenanya afirmasi tersebut haruslah didukung oleh semua pihak—dimana peraturan perundangan ditegakkan. Demi melawan inferioritas pada perasaan perempuan post kolonialis kiranya afirmasi action 30 persen keterlibatan perempuan dalam kepengurusan partai politik dan pencalonan legislatif harus mengakar dari pusat hingga daerah, sehingga lambat laun perasaan dan pandangan inferior pada perempuan post kolonialis dengan segera hilang digantikan oleh perasaan persamaan gender. Perasaan persamaan gender sangat diperlukan untuk membangun politik indonesia ke arah yang lebih baik.
Dengan keterlibatan perempuan dalam politik, hal ini akan mengilhami kebijakan-kebijakan publik yang peka gender seperti kebijakan terhadap ibu hamil dan ibu menyusuai, kebijakan terhadap bayi dan anak, kebijakan kota ramah lingkungan dan seterusnya. Kendati terkadang timbul pertanyaan: Apakah benar jika perempuan berkuasa kebijakan akan peka gender? Pertanyaan tersebut akan tergantung pada struktur budaya, masih patriarkikah? Atas karenanya afirmasi action keterlibatan perempuan dalam partai politik dan pemilu merupakan salah satu usaha nyata untuk mencairkan budaya patriarki di Indonesia.
Kembali pada tulisan awal, dimana Kartika Yudhisti menyatakan: “,,,2019 mendatang lebih banyak lagi perempuan yang naik untuk mencalonkan diri berkompetisi ke DPR RI—berbeda dengan tahun 2014 silam dari kalangan perempuan jarang yang mencalonkan diri. Jadi kalau dulu saya cukup diuntungkan (saingannya sedikit),,,.”
Kutipan tersebut menandakan masa depan politik perempuan Indonesia semakin baik dan menunjukkan kemajuan; ini mengindikasikan bahwa perasaan inferioritas perempuan Indonesia sebagai kaum feminis post kolonialis—telah meluntur tergantikan oleh perasaan persamaan gender—perasaan perempuan merdeka, independen, dan modern. (*)
*) TENTANG PENULIS
Agus Hiplununudin bergiat sebagai Dosen Filsafat Ilmu di STISIP Setia Budhi Rangkasbitung-Banten. Salah satu bukunya yang telah terbit “Politik Gender” diterbitkan Calpulis (Garaha Ilmu), Yogyakarta.
Email :
agus.hiplunudin@yahoo.com
Hp/WA: 0817742204
Fb : @Agus Hiplunudin
IG : agus hiplunudin
Bermukim di Desa Nemeng Kp Parakan Mesjid, Rangkasbitung, Lebak-Banten.