Flaring Startup di Industri Kimia di Cilegon, Rumah Hijau Ajak Publik Pahami Dampaknya

 

CILEGON — Flaring atau pembakaran gas saat startup pabrik kimia yang saat ini terjadi di Cilegon mungkin terdengar seperti proses teknis biasa.

Namun, NGO lingkungan Rumah Hijau mengingatkan bahwa proses ini menyimpan berbagai risiko yang penting untuk dipahami, baik oleh perusahaan maupun masyarakat di sekitarnya.

“Menghimbau kepada perusahaan dan masyarakat terdampak flaring startup pada perusahaan kimia,” ujar Supriyadi, NGO Rumah Hijau, Rabu, (21/5/2025).

Yadi menekankan bahwa flaring bukan hanya masalah industri, tapi juga menyangkut lingkungan hidup, kesehatan warga, dan stabilitas sosial di wilayah sekitar.

Menurutnya, proses pembakaran gas saat memulai kembali (startup) pabrik atau unit produksi—bisa memiliki beberapa dampak negatif, baik dari sisi lingkungan, kesehatan, ekonomi, maupun sosial.

“Ini artinya, satu tindakan teknis bisa berbuntut panjang jika tak dikelola dengan baik,” ungkap Yadi.

Dari segi aspek lingkungan, flaring juga dapat menghasilkan berbagai jenis polusi udara seperti CO₂, CO, NOx, SO₂, dan senyawa organik volatil (VOC) yang dapat mencemari udara.

“Gas-gas ini juga berkontribusi pada pemanasan global dan perubahan iklim, jika tidak ditangani secara tepat,” tambahnya.

Lebih jauh, Supriyadi menjelaskan bagaimana gas seperti SO₂ dan NOx dapat menimbulkan hujan asam.

Menurutnya, SO₂ dan NOx dapat bereaksi dengan uap air di atmosfer.

Amdal Mayora Tangerang

“Hal tersebut dapat menghasilkan hujan asam yang merusak vegetasi, tanah, dan perairan,” lanjutnya.

Selain itu, api besar saat flaring bisa menghasilkan kebisingan dan polusi cahaya, mengganggu ekosistem malam hari dan masyarakat sekitar.

Dampak lain yang tak kalah penting adalah gangguan kesehatan. Paparan langsung terhadap gas buang (seperti SO₂, NOx, dan partikulat) dapat menyebabkan asma, bronkitis, dan penyakit paru-paru lainnya.

“Beberapa senyawa berbahaya dari flaring bersifat karsinogenik (menyebabkan kanker) bila terpapar dalam jangka panjang.” imbuhnya.

Dari segi ekonomi, praktik flaring sebenarnya membuang potensi energi yang bisa dimanfaatkan.

Ia juga mengingatkan bahwa perusahaan berisiko dikenai sanksi jika tidak dilakukan sesuai aturan.

“Perusahaan dapat dikenai denda atau sanksi dari Pemerintah.” jelas Yadi.

Tak jarang, masyarakat sekitar merasakan langsung dampak sosialnya.

Bau menyengat, suara bising, dan polusi cahaya dari flaring sering dikeluhkan warga sekitar. Dalam jangka panjang, hal ini bisa memicu ketegangan.

“Ketika masyarakat merasa dirugikan atau tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan, bisa muncul ketegangan dengan perusahaan,” tambah Supriyadi.

Meski begitu, ia mengakui bahwa flaring dalam beberapa kondisi memang diperlukan, seperti saat startup atau kondisi darurat. Tapi, harus dibatasi frekuensinya, dikelola dengan sistem pemantauan yang ketat, dicari alternatif teknologi seperti gas recovery system.

Edukasi dan transparansi, menurutnya, adalah kunci agar perusahaan dan masyarakat bisa berjalan beriringan tanpa mengorbankan kesehatan dan lingkungan. (*/Ika)

WP-Backgrounds Lite by InoPlugs Web Design and Juwelier Schönmann 1010 Wien