Semakin Banyak Ruas Jalan yang Rawan Macet di Kota Cilegon
*) Oleh: Ilung (Sang Revolusioner)
SEBAGAI warga Kota Cilegon, kita mungkin sering mengalami atau terjebak kemacetan di beberapa ruas jalan yang semakin kesini makin banyak titik-titiknya. Baik kemacetan di jalan Protokol (Nasional) maupun di jalan perkotaan.
Kemacetan di Cilegon umumnya terjadi pada saat pagi, siang dan sore hari, disaat orang umumnya berangkat dan pulang bekerja atau sekolah. Banyaknya ruas jalan yang macet yang selain di Lampu Merah dan Perempatan, sering terjadi pada titik-titik mulai dari jalan Protokol seperti di kawasan Simpang Tiga sampai PCI, jalan DI Pandjaitan, Jalan Ki Wasid, Jalan P. Tendean atau Cilegon-Bojonegara, Kawasan perlintasan Kereta Api: Belakang Supermall, Jombang Kali, Djublin, Krenceng, Jalan Raya Cilegon-Merak khususnya di sekitar ASDP, dan sebagainya.
Dengan semakin banyaknya jumlah kendaraan di Kota Cilegon, tentunya berbanding lurus dengan semakin padatnya jumlah penduduk di Kota ini. Tentunya hal ini menjadi salah satu faktor signifikan penyebab kemacetan, selain terbatasnya sumberdaya untuk pembangunan dan belum optimalnya pengoperasian fasilitas lalu-lintas yang ada.
*Kemacetan Akibat Faktor Jumlah Penduduk Pemilik Kendaraan*
Kepadatan penduduk di Cilegon, sepertinya tidak sebagaimana normalnya reproduksi manusia (homogen) ditambah dengan pencanangan program KBnya. Namun semakin pesatnya kepadatan penduduk di Cilegon sepertinya juga didominasi oleh kaum urban dari luar kota. Hal ini didasari dari rumus sosial: masyarakat pesisir (seperti Cilegon) memiliki karakter heterogen atau terbuka. Selain itu, semakin menjamurnya perumahan-perumahan di Cilegon menjadi indikatornya, dan tentunya hal ini juga konsekuensi dari semakin pesatnya eksistensi industri dan bisnis perdagangan jasa yang mengundang orang dari luar kota datang ke Cilegon.
“Loh, membahas kemacetan kok isinya sensus penduduk, yang bikin macet kan kendaraan?” Tentu tidak, karena ada penduduk maka macet, dan tidak akan ada kemacetan kalau tidak ada penduduk. Maka perlu juga sedikit diuraikan.
Walaupun objeknya benar yang macet adalah kendaraan, tapi penduduk yang membawa kendaraan. Tidak mudah memang untuk mengurangi atau sekedar membatasi jumlah kendaraan di negara ini, bila melihat realitas kendaraan-kendaraan yang dijual bebas layaknya kerupuk itu, tapi masih mending krupuk mah tidak dikredit, sedangkan kendaraan?
Sampai sejauh ini saya kira belum ada regulasi pemerintah baik pusat maupun daerah untuk membatasi jumlah apalagi penjualan kendaraan, walaupun persoalan macet ini sudah lama terjadi di banyak kota-kota besar di negara ini. Namun persaingan merk produsen untuk bisa menjual unit kendaraan sebanyak-banyaknya terus saja mengeksploitasi pasar, iklan-iklannya terus menggelitik menggoda penduduk untuk bisa memilikinya walaupun harus kredit atau bahkan ada yang terkesan cuma sekadar untuk mempersaingkan gengsinya.
Kalau bukan (rumus kapitalis) agar mendapat untung sebanyak-banyaknya, lalu apa?
“Kalau dibatasi kan, takut melanggar Hak Asasi Manusia?” Mungkin seperti itu jawaban yang sering saya dengar, dan sepertinya belum saya temui pengambil kebijakan yang mencari, menganalisa dan menyadari asal usul, apa, siapa, darimana dan bagaimana Hak Asasi Manusia (HAM) dan pelajaran (naluri) kapital itu, apakah sudah sesuai dengan konstitusi dan peradaban bangsa ini?
Setelah sejenak mengurai subjek-objek utama kemacetan yang meninggalkan pertanyaan diatas-yang silahkan dieksplorasi jawabannya. Kita kembali pada persolan kemacetan, situasi atau keadaan tersendatnya atau bahkan terhentinya lalu-lintas yang disebabkan oleh banyaknya jumlah kendaraan melebihi kapasitas jalan. Padahal Kemacetan lazimnya terjadi di kota -kota besar, terutamanya yang tidak mempunyai transportasi publik yang baik atau memadai ataupun juga tidak seimbangnya kebutuhan jalan dengan kepadatan penduduk, seperti Cilegon ini. Tapi Cilegon, kan kota kecil kok macet?
*Faktor Sumberdaya*
Walau hanya kota kecil secara luas wilayah, namun APBD Kota Cilegon yang sudah hampir 2 Triliun ini tidak tepat kiranya kalau dianggap sumberdayanya terbatas. Kalau yang menjulukinya “Kota Segaris”, mah mungkin ada, yang maksudnya cuma ada jalan besar protokol/nasional tanpa adanya jalan-jalan besar di wilayah perkotaan sebagaimana di Kota-kota lainnya.
Dengan sudah dibangunnya Jalan Lingkar Selatan (JLS) yang saya kira pemanfaatannya lebih pada kendaraan-kendaraan dari industri dan tambang, belum begitu efektif meminimalisir kemacetan di kota ini. Juga rencana dibangunnya JLU yang salah satu tujuan utamanya adalah mengurai kemacetan. Bukan saya pesimis, namun rute JLU juga sempat mendapat penolakan karena rute yang dianggap tidak kompatible untuk tujuannya tersebut.
Pembangunan jalan-jalan yang sudah banyak dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Cilegon melalui Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang, dalam beberapa tahun terakhir inipun saya kira lebih cenderung pada peningkatan dimensi tinggi jalan ketimbang pelebaran jalan dengan membebaskan lahan agar bisa menampung lebih banyak kendaraan. Sehingga kurang begitu signifikan mengurai kemacetan yang ada. Yang patut kita pertanyakan kepada pemangku kebijakan kota adalah, dengan anggaran sebegitu besarnya, kenapa ruas-ruas jalan tidak dilebarkan?
Selain itu, pengoperasian trayek Angkutan Umum (Angkot) di Cilegon juga lebih terkonsentrasi di jalan protokol saja. Yakni, Cilegon-PCI-Serang, Cilegon-Merak, Cilegon-Anyer. Padahal keberadaan Angkot sebagai angkutan umum ke Lintas setiap Kecamatan bahkan Kelurahan, baik secara langsung maupun tidak langsung bisa mengurangi minat penduduk untuk memiliki/menggunakan kendaraan pribadi. Sehingga tidak begitu memadati ruas-ruas jalan dan bikin kemacetan.
Akan tetapi, kenapa di usianya yang ke-18 tahun, Pemkot Cilegon tidak kunjung membuatkan terminal-terminal Kecamatan untuk Transit Angkot selayakanya di Kota lain? Sebenarnya seberapa serius Pemkot Cilegon untuk mengurangi kemacetan?
*Faktor Kurang Optimalnya Pengaturan Fasilitas Lalu-lintas*
Di banyak titik ruas jalan yang sering terjadi kemacetan di Cilegon, mungkin faktor ini juga mempengaruhi terjadinya kemacetan. Namun dalam hal ini perannya saya kira lebih pada kesadaran penduduk. Seperti Parkir sembarangan disisi jalan, bahkan yang di jalan protokol diberi SK, banyaknya PKL yang mempersempit ruas jalan.
Selain kesadaran penduduk, petugas Satlantas dan Dishub juga kadang membiarkan Angkot-angkot yang mangkal di sisi jalan yang rawan macet seperti di depan Supermall dan pusat-pusat keramaian lainnya.
Dan kemacetan-kemacetan yang terjadi selain di jalan utama protokol seperti di Jalan Cilegon Bojonegara, belakang Supermall, Jombang Kali dan sebagainya, bisa jadi karena kurang optimalnya atau jarang terlihatnya petugas Satlantas dan Dishub yang mengatur lalu lintas disana untuk mengurai kemacetan.
*Solusi Mengurangi Kemacetan di Cilegon*
Walaupun macet itu sendiri merupakan solusi untuk meminimalisir jatuhnya korban kecelakaan akibat ngebutnya kendaraan. Bahkan macet juga konon kabarnya sebagai latihan sabar selain mancing ikan. Lho, kok? Ya sudah, tinggal dikembalikan pada keinginan penduduk Cilegon, ingin tetap macet apa tidak?
Kalau ingin tidak macet ya upayakan punya niat kesadaran diri untuk memilih naik kendaraan umum agar kendaraan pribadinya tidak memadati jalanan, masih mending motor, lha inimah cuma mau ngopi saja naik mobil? Syukur-syukur kalau penduduk Cilegon lebih gemar membudayakan jalan kaki ‘kaya wong bengen’ dijamin nggak bakalan kejebak macet. Kan yang macet kendaraan? Hehehe
Dan sebaliknya para petugas Satlantas dan Dishub Cilegon juga mau terjun dan mengatur lalu-lintas untuk mengurai kemacetan di ruas-ruas jalan selain protokol sebagaimana sudah saya sebutkan diatas.
Secara umum, Pemkot Cilegon juga sudah selayaknya merencanakan untuk dilaksanakannya; Peningkatan kapasitas, salah satu langkah yang penting dalam memecahkan kemacetan adalah dengan meningkatkan kapasitas jalan /parasarana seperti:
1. Memperlebar jalan, menambah lajur lalu lintas sepanjang hal itu memungkinkan,
2. Mengubah sirkulasi lalu lintas menjadi jalan satu arah,
3. Mengurangi konflik dipersimpangan melalui pembatasan arus tertentu, biasanya yang paling dominan membatasi arus belok kanan.
4. Meningkatkan kapasitas persimpangan melalui lampu lalu lintas, persimpangan tidak sebidang/flyover,
5. Mengembangkan inteligent transport sistem,
6. Memberikan sanksi jika ada yang melanggar,
7. Keberpihakan kepada angkutan umum.
Kalau ada pembatasan pada jam tertentu terhadap angkutan umum bus dan truk-truk besar tidak melewati jalan protokol, Pemkot Cilegon juga bisa mengadopsi pembatasan kendaraan pribadi.
Walau langkah ini belum begitu populer di Indonesia, tetapi bila kemacetan semakin parah harus dilakukan manajemen lalu lintas yang lebih ekstrem sebagai berikut:
1. Pembatasan penggunaan kendaraan pribadi menuju suatu kawasan tertentu seperti yang direncanakan akan diterapkan di Jakarta melalui Electronic Road Pricing (ERP). ERP berhasil dengan sangat sukses di Singapura, London, Stokholm. Bentuk lain dengan penerapan kebijakan parkir yang dapat dilakukan dengan penerapan tarip parkir yang tinggi di kawasan yang akan dibatasi lalu lintasnya, ataupun pembatasan penyediaan ruang parkir dikawasan yang akan dibatasi lalu lintasnya,
2. Pembatasan pemilikan kendaraan pribadi melalui peningkatan biaya pemilikan kendaraan, pajak bahan bakar, pajak kendaraan bermotor, bea masuk yang tinggi.
3. Pembatasan lalu lintas tertentu memasuki kawasan atau jalan tertentu, seperti diterapkan di Jakarta yang dikenal sebagai kawasan 3 in 1 atau contoh lain pembatasan sepeda motor masuk jalan tol , pembatasan mobil pribadi masuk jalur busway, dan sebagainya.
*
Semoga tulisan ini bisa menginspirasi para pemangku kebijakan dan penduduk Kota Cilegon. (*)
*) Penulis adalah wartawan Fakta Banten
