Gipkabi: Sudah 30 Tahun, “Baja” Krakatau Steel Cs Tak Memenuhi Standar

JAKARTA – Gabungan Industri Produk Kawat Baja Indonesia (Gipkabi) menentang rekomendasi Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) kepada Kementerian Perdagangan (Kemendag) untuk memberikan pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD). Adapun bea masuk tersebut, yakni sebesar 10,2%-13,5% yang diberlakukan selama 5 tahun.

Rekomendasi ini merupakan kelanjutan dari hasil penyelidikan KADI atas impor kawat baja (steel wire rod/SWR), berdasarkan permohonan yang diajukan oleh PT Ispat Indo dan PT The Master Steel MFc. Diduga, ada dumping (harga yang rendah) yang berakibat kerugian material dialami pemohon yang berasal dari negara yang dituduh, yakni China.

Ketua Gipkabi Aryo N Setiantoro menyatakan yang menjadi permasalahan dari impor SWR bukanlah harga melainkan kemampuan industri hulu baja di Indonesia yang tak mampu mencukupi kebutuhan industri hilir baja.

“Karena dumping, harga murah China, ini bukan karena harga murah, yang kami cari adalah kepastian pasokan dan kualitas SWR yang bisa kami pastikan,” ujar Aryo di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Rabu (13/12/2017).

SWR sendiri, digunakan pelaku industri hilir baja sebagai bahan baku untuk pembuatan baut, mur, kawat jembatan dan sebagainya yang digunakan untuk konstruksi. Aryo menjelaskan saat ini kualitas SWR yang diproduksi oleh 4 pelaku hulu yakni PT Krakatau Steel Tbk, PT Gunung Garuda, PT Ispat Indo dan PT The Master Steel Mfc, tak sesuai dengan kebutuhan konstruksi.

“Tidak terjadi perbaikin kualitas sejak 30 tahun lalu, sementara kami di hilir, temen-temen yang produksi kebutuhannya untuk indutstri otomotif dan infrastruktur sangat membutuhkan kualitas tinggi. Mereka juga tidak mampu memenuhi standar kualitas maupun jumlahnya, terjadi overdemand,” paparnya.

Berdasarkan data Gipkabi, permintaan akan SWR tiap tahun mencapai 2,5 juta MT. Di mana sebanyak 1,8 juta MT didapatkan dari produsen lokal, sedangkan sebanyak 700.000 berasal dari impor.

“Dengan ketimpangan 1 juta ton, kenapa hulu tak investasikan teknologinya, ubah ke teknologi yang lebih baru, mereka hanya menambah kapasitas SWR yang mudah dibuatnya. Kalau bisa hasilkan kualitas tinggi sudah pasti kita akan beli dari lokal, ngapain impor, berapa pun harganya,” jelasnya.

Aryo menjelaskan saat ini impor sudah mengalami penurunan. Dimana rata-rata per bulan impor SWR di 2017 sebesar 40.000 metrik ton (MT). Ini jauh lebih rendah dari angka di tahun lalu yang tiap bulannya berkisar 60.000-70.000 MT. Oleh sebab itu, menurutnya tak ada yang perlu dikhawatirkan dari impor SWR.

“Kalau ini disetujui, mau ga mau kami juga akan tetap impor karena masalah kualitas. Dan perlahan-lahan kita akan mati industri hilir,” pungkasnya.

Total impor steel wire rod Indonesia pada tahun 2015 sebesar 591.061 ton. Impor tersebut sebagian besar berasal dari China, sebesar 502.274 ton atau 85% dari total impor. (*/okezone.com)

Honda