Berlomba-lomba Dalam Kehebatan

Dprd ied

*) Oleh: Ilung (Sang Revolusioner)

DI SUATU PERKAMPUNGAN nelayan yang semakin terpinggirkan oleh industri yang makin tumbuh pesat, masih ada kakek-kakek yang hampir setiap hari pergi melaut untuk menangkap ikan. Meski hasilnya tak tentu, ia tetap setia mendayung perahu geteknya mengarungi lautan hingga bermil-mil jauhnya. Bahkan karena kerja kerasnya dari laut yang telah mencukupi kehidupan diri dan keluarganya, sang kakek enggan menggunakan mesin dan alat tangkap modern yang bisa mengotori laut.

Diusianya yang sudah diatas 60 tahun fisik si kakek masih nampak prima. Selain itu, rasa kepeduliannya pada alam serta pengendalian (puasa) dari obsesi mendapatkan hasil lebih bisa ditaklukkannya. Hebat? Ya itu menurut kita. Tapi bagi sang kakek, hal itu biasa saja.

Menjadi hebat atau tidak hebatnya seseorang merupakan penilaian orang lain. Kehebatan bisa diakui karena daya kemampuan yang dimiliki seseorang lebih dibandingkan dengan lainnya.
Suatu kemampuan seseorang, bisa diperoleh berkat anugerah dari Tuhan dan juga hasil usaha berlatih untuk meningkatkan kemampuannya.

Meski demikian, menjadi hebat bukanlah keharusan. Tetapi pada umumnya, keinginan menjadi hebat sering kali sangat menggiurkan, terutama di masa-masa muda. Dengan kemampuan lebih ketimbang orang pada umumnya, seseorang dapat terkenal dan dikagumi banyak penggemar. Budaya populer semakin mendukung upaya meraih pengakuan, bahkan dengan cara-cara instan, kemampuan yang sedikit di atas rata-rata dapat dipoles dan dipublikasikan sehingga nampak lebih hebat.

Banyak hal yang terkait dengan kehebatan, dan ini bukanlah soal benar-salah ataupun baik-buruk. Bisa soal kekuatan, keahlian, kepandaian, daya tahan, kecepatan, ketelitian serta dalam mengoptimalkan batasan dan pengendalian diri. Seseorang yang kaya dengan seringnya memberi santunan, mungkin kita menyebutnya hebat karena intensitas pemberiannya yang lebih dari orang kaya lainnya.

Namun, seorang pejabat dan politisi bisa tampak merakyat dengan postingan foto-fotonya bersama rakyat. Padahal bisa jadi aslinya ia anti kritik dan suka memperkaya diri enggan hidup seperti rakyat pada umumnya. Begitu pula seorang maling yang mampu mencuri di tengah orang banyak tanpa ketahuan bisa dikatakan hebat ketimbang koruptor di kantornya.

Kehebatan yang berkelompok atau kolektif yang bekerjasama jauh lebih rumit ketimbang kehebatan perorangan. Tim sepak bola Misalnya, Selain keahlian setiap pemain memainkan bola, di antara mereka harus terjadi kekompakan dan kejelian baik saat menyerang maupun bertahan. Setiap pemain mesti benar dan baik dalam memainkan peran dalam posisinya. Satu saja pemain bermain buruk apalagi melakukan blunder menghalau bola, gawang bisa kebobolan. Maka permainan bola sebaik apapun dari rekan lainnya akan menjadi penunjang indahnya permainan dan hasil akhir pertandingan.

dprd tangsel

Keinginan supaya dinilai hebat sering kali menjadi beban. Padahal, asalkan konsisten yang dilakukan benar dan dijalankan sebaik mungkin, pengakuan kehebatan bakal menjadi efek dari yang diusahakan. Justru manakala pengakuan kehebatan dijadikan tujuan perbuatan, ketika yang dilakukan tidak mendapat tanggapan positif dari orang lain akan muncul kekecewaan. Alih-alih meneruskan kebaikan yang sudah jalan, bisa jadi berhenti dan enggan untuk melanjutkan.

Kecenderungan anti terhadap kritik tanpa disadari muncul dari orang-orang yang sedang memburu kehebatan dirinya. Merasa selalu benar atas setiap yang dilakukannya. Bisa jadi pada kondisi ekstrem akan menuhankan kemampuan dirinya dan pencapaian-pencapaian yang dihasilkan dari usahanya. Puncak evolusi “Hari Keempat” akan dipenuhi orang-orang yang merasa hebat. Manusia-manusia yang mengakui dirinya sebagai pusat peradaban. Tidak cukup berlomba-lomba untuk berbuat baik dan merasa benar sendiri, namun usahanya itu semata-mata ditujukan supaya mendapat pengakuan hebat dari orang-orang di sekitarnya.

Bisa jadi untuk mendapatkan perolehan suara, kampanye politik tentu berisikan visi-misi hebat supaya mendapat dukungan dari rakyat peserta pemungutan suara. Kampanye tentu akan berisikan janji-janji dan program-program kerja yang menonjolkan keberpihakan mereka terhadap kepentingan rakyat banyak. Yang terjadi bukan musyawarah untuk mufakat, tetapi debat yang dilemparkan kepada publik untuk menjatuhkan lawan politik supaya nampak dirinya lebih hebat di mata masyarakat.

Memasuki akhir Ramadhan 1439 Hijriyah ini, dengan puasa kita sudahkah berproses diri dalam rangka membuktikan bahwa kita bukanlah orang yang gemar unjuk kehebatan, kita lebih terlatih untuk menyembunyikan kehebatan kita serta tidak peduli pada kehebatan manusia, karena Sejatinya yang Hebat hanyalah Allah semata.

Dengan puasa, sudahkah kita semua menyadari bahwa memang tidak ada yang lebih hebat di antara kita. Ketika kita memiliki keunggulan, tetapi dengan keunggulan itu bukan digunakan untuk mengungguli yang lainnya.

Sebagaimana dianjurkan dalam Al-Qur’an, agar kita ber-Fastabiqul Khairat, bahkan bukan Fastabiqul Haq, kita tidak disuruh untuk berlomba-lomba dalam kebenaran, apalagi melihat mainstrem sekarang dimana kita sering berdebat dengan kebenaran masing-masing yang berujung pada perpecahan satu sama lain terlebih dipadu dengan “Fastabiqul Hebat”. Dan faktanya fenomena ini sudah semakin memanas mendekati Pemilu 2019 inim

Saya hanyalah orang awam mengetahui, tapi dalam Al-Qur’an ada anjuran untuk berlomba-lomba berbuat kebaikan, Fastabiqul Khairat. Namun entah karena karena apa saya kok bisa menuliskan relaitas fenomena yang saya anggap berlangsung saat ini, dimana semakin marak perlombaan-perlombaan kehebatan.

Semoga dari apa yang dituliskan ini, kita bisa bersama-sama menyadari bahwa sebuah keindahan terbangun atas fondasi kebenaran dan kebaikan yang dikelola dengan presisi yang tepat. Kalaupun nanti pada kolom komentar acara muncul tafsir lain, itu mungkin terjadi. Dan kita bisa ngaji bareng. (*)

*) Penulis adalah Jurnalis Fakta Banten Online

Golkat ied