Kolaborasi Pemberdayaan untuk Pengantasan Kemiskinan
Oleh: Udhi Tri Kurniawan (General Manager Program Ekonomi, Dompet Dhuafa)
Data yang dilansir BPS pada bulan Maret 2019 tentang kemiskinan memberikan kabar yang menggembirakan. Angka kemiskinan turun dilevel 9,41%. Jumlah orang miskin sebesar 25,14 Jiwa. Tentu 25,14 juta jiwa bukan angka yang sedikit. Jika dilihat lebih mendalam, maka PR bagi penyelesaian kemiskinan di Indonesia masih sangat kompleks. Terdapat 69 juta jiwa yang berada pada kelompok rentan miskin, dimana pendapatan mereka direntang 1,5 kali garis kemiskinan, atau dikisaran 600.000/bulan. 381 Triliun digelontorkan untuk program pengentasan kemiskinan di tahun 2019. Angka ini naik 31,9% dibandingkan tahun sebelumnya. Dengan anggaran sebesar itu, diharapkan dapat menurunkan angka kemiskinan di level 8,5-9,5%. Isu kemiskinan juga berkelindan dengan persoalan ketimpangan. Gap kesejahteraan antara kelompok kaya dengan golongan miskin semakin lebar. Perbandingan kemiskinan desa dan kota juga menunjukkan angka yang mengkhawatirkan. Angka kemiskinan kota “hanya” 6,69% sementara kemiskinan di desa dilevel 12,85%. Jika dilihat dari sebaran wilayah kemiskinan, datanya mengerikan lagi. Indonesia bagian timur menyimpan persoalan kemiskinan yang sangat akut. Maka menempatkan masyarakat desa sebagai prioritas utama intervensi pemberdayaan adalah kebijakan yang harus didorong dan dikawal.
Memahami persoalan kemiskinan adalah hal yang mendasar sebelum merumuskan strategi penyelesaiannya. Jika gagal mengerti inti persoalan yang ada di masyarakat, maka hampir bisa dipastikan akan gagal dalam menyusun desain program yang berorientasi pada penyelesaian kompleksitas kemiskinan. Dalam beragam latar dan bentuknya, kemiskinan seolah mustahil dihilangkan dari keseharian masyarakat, utamanya di pelosok desa. Usaha pemerintah untuk menekan angka kemiskinan melalui skema alokasi dana desa, pada prakteknya, mayoritas dana desa digunakan untuk proyek infrastruktur. Memperbaiki jalan desa, saluran air, jembatan, dan beragam program fisik lainnya tidak dapat secara langsung berpengaruh terhadap peningkatan taraf ekonomi masyarakat. Alokasi program yang mendorong munculnya aktifitas produktif dalam bidang ekonomi, seperti penguatan UMKM, memperkuat jaringan pasar, dan peningkatan kualitas produk nyaris bukan jadi prioritas untuk mendapatkan jatah sumberdaya. Dalam beberapa kasus, pemerintah desa bukan tidak mau menggarap sektor itu, tetapi ada persoalan kapasitas dalam menginisiasi dan menjalankan program dengan skema pemberdayaan.
Beberapa waktu yang lalu, tepatnya bulan Juni 2019, kita diributkan dengan persoalan harga daging ayam. Dilevel peternak rakyat, harga sangat rendah dikisaran Rp 7.000-8.000/kg. Sementara harga di konsumen stabil di angka Rp 25.000/kg. Peternak-peternak rakyat di wilayah Jawa Tengah dan Jogja ramai-ramai membagikan ayam secara gratis sebagai bentuk protes ke pemerintah. Hal ini wajar, karena unit cost peternakan ayam mencapai 18.000/ekor. Dalam beberapa komoditas lain, nasib masyarakat tak jauh berbeda. Petani, peternak, nelayan sebagai penghasil komoditas hanya menikmati sebagian kecil kue margin. Sementara pengepul, pedagang, dan pemilik rantai pasar menikmati margin keuntungan lebih besar.
Persoalan kemiskinan di masyarakat harus direspon dengan baik melalui skema program pemberdayaan. Hal mendasar yang dibutuhkan dalam program pemberdayaan adalah paradigma inklusif dan berkelanjutan. Pemberdayaan harus memberikan ruang bagi semua kelompok untuk mengoptimalkan potensi sumberdaya yang dimilikinya. Masyarakat tidak dipandang sebagai obyek, tetapi harus ditempatkan sebagai mitra setara. Fasilitator harus mampu memunculkan antusiasme dan rasa kepemilikan yang tinggi dari masyarakat terhadap program yang dijalankan. Antusiasme wajib diberikan ruang dan difasilitasi melalui pelibatan dalam semua level program, dari perencanaan hingga evaluasi.
Ada yang mengatakan bahwa pemberdayaan tidak akan mampu berkompetisi dalam ruang persaingan ekonomi terbuka. Pernyataan ini ada benarnya jika pemberdayaan dibangun hanya dengan paradigm sosial. Dalam banyak kasus, produk-produk pemberdayaan kalah bersaing dengan komoditas dan produk hasil industri besar. Kenapa ini terjadi, karena program pemberdayaan didesain tanpa memperhatikan 3 hal utama, asset produksi-produk-pasar. Pertama, aset produksi berpengaruh terhadap kemampuan menghasilkan komoditas terbaik. Masyarakat miskin nyaris tidak memiliki asset produksi, atau jika mereka memilikinya, volumenya sangat terbatas. Kedua, komoditas hasil pemberdayaan harus memiliki kualitas dan kuantitas yang memenuhi kebutuhan pasar. Kualitas dan kuantitas yang baik dihasilkan dari kompetensi yang cukup. Produk pemberdayaan tidak boleh mengesampingkan aspek kualitas dengan dalih value pemberdayaan. Ketiga, jaringan pasar yang dapat menjamin serapan produk yang dihasilkan secara kontinyu. Bahkan jika perlu, sebelum sebuah komoditas diproduksi, jaringan pasar harus sudah dipastikan ada.
Isu keberlanjutan juga menjadi hal penting yang harus bisa dipastikan. Paradigma proyek harus dihindari dengan mendesain program pemberdayaan ekonomi seperti menyusun sebuah rencana bisnis professional yang berkelanjutan. Perencanaan program bisa menggunakan metode-metode yang biasa digunakan dalam dunia usaha. Melakukan studi kelayakan, memetakan potensi pasar, menyusun permodelan bisnis, dan beragam metode-metode lain yang digunakan sebagai upaya untuk memastikan bahwa program dapat berjalan dengan capaian yang optimal.

Kolaborasi
Kolaborasi antara lembaga/entitas dalam isu pemberdayaan menjadi keharusan. Dalam banyak perspektif, kolaborasi dapat meningkatkan daya ungkit kebermanfaatan bagi masyarakat. Daya ungkit yang besar ini dihasilkan dari perpaduan antara ide dan gagasan terbaik, sumberdaya yang cukup, dan jaringan yang kuat. Selain itu, kolaborasi dapat memperkecil stupid cost dan potensi tumpang tindih program, terutama dalam penentuan fokus wilayah garapan. Kolaborasi juga membuka ruang bagi sharing knowledge yang memungkinkan bagi tumbuhnya entitas yang konsen pada isu pemberdayaan. Ruang kolaborasi memungkinkan untuk memperkuat positioning melalui portofilio program yang kuat. Program pengentasan kemiskinan yang dilakukan harus mampu menjalankan fungsinya secara optimal dalam mengelola sumberdaya sebagi instrument penting untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat miskin.
Ruang Lingkup
Kolaborasi antar lembaga zakat dapat dilakukan dalam ruang lingkup yang luas merujuk pada kondisi lembaga zakat yang beragam. Ada lembaga yang kuat secara sumberdaya, tetapi belum cukup bagus dalam portofolio program. Atau sebaliknya, konsep dan implementasi program bagus, tetapi karena sumberdaya terbatas maka program berjalan dalam volume yang kecil. Kondisi tersebut membuka ruang yang lebar bagi potensi kolaborasi. Dalam konteks pemberdayaan, setidaknya ada 3 ruang lingkup kolaborasi yang dapat dilakukan.
1. Ide dan Gagasan
Inti dari program pemberdayaan adalah ide dan gagasan. Gagasan muncul sebagai respon atas problematika yang dihadapi masyarakat. Gagasan ini dipandang sebagai solusi yang ditawarkan. Gagasan harus diturunkan menjadi sebuah konsep yang sistematis dan terukur. Memproduksi ide dan gagasan menjadi langkah utama yang mendasar. Meskipun demikian, ide dan gagasan tak selalu harus 100% penemuan baru. Ia bisa saja berupa penyempurnaan dari konsep-konsep dari yang sebelumnya pernah ada.
Kolaborasi dalam ruang ide dan gagasan diantara lembaga/komunitas bisa dilakukan dengan memilih portofolio program eksisting dari salah satu lembaga yang sudah berjalan dengan cukup baik untuk kemudian dijadikan sebagai program bersama. Pola ini bisa dilakukan dengan skema ekspansi, perluasan, dan penguatan. Kolaborasi bisa juga dilakukan dalam format konsep yang benar-benar baru. Konsep baru ini dihasilkan dari pemikiran secara bersama, disepakati, lalu dieksekusi bersama-sama.
2. Sumberdaya
Kolaborasi sumberdaya dapat dilakukan sebagai upaya untuk memperbesar volume program. Ukuran program yang besar, yang ditunjukkan melalui titik sebaran – jumlah penerima manfaat – dll, diharapkan dapat memberikan dampak kemanfaatan yang lebih luas. Sumberdaya yang cukup juga dapat menaikkan level program ke skala ke-enomian. Sebagai contoh, dalam satu titik pemberdayaan peternak domba rakyat, secara ideal dalam 1 titik minimal populasi 1000 ekor dengan skema kendang komunal. Biaya program tentu relatif besar. Jika program ini bisa disupport oleh banyak lembaga, maka beban biaya dari masing-masing lembaga akan berkurang. Dalam proses implementasi dan monitoring juga bisa dilakukan secara bersama-sama.
3. Jaringan
Ditengah persaingan ekonomi yang berat, jaringan adalah kekayaan yang penting. Jaringan dapat meningkatkan positioning program sehingga target program dapat tercapai. Dalam konteks pemberdayaan ekonomi, jaringan produksi dan pasar menjadi elemen yang sangat penting. Jaringan komoditas yang kuat, yang ditunjukkan dengan titik sebaran dan volume, akan memperkuat usaha untuk membangun kemitraan dengan off taker. Demikian juga jaringan pasar, bagi pelaku-pelaku usaha, jaringan pasar sangat menentukan apakah konsep usaha yang dilakukan dapat berkelanjutan atau tidak.
Di hari Pengentasan Kemiskinan Internasional ini, kita berharap bahwa program-program pengentasan kemiskinan yang dilakukan oleh seluruh stakeholder dapat memberikan dampak yang signifikan. Persoalan kemiskinan bukan hanya menjadi tanggungjawab pemerintah tetapi juga menjadi tanggungjawab seluruh pihak. Bagi pihak swasta, program-program CSR bisa diarahkan kedalam format program pemberdayaan yang berkelanjutan. Sementara bagi entitas dan komunitas masyarakat yang selama ini sudah fokus pada upaya pengentasan kemiskinan, harus dapat terus meningkatkan kualitas programnya dengan dukungan riset dan sumberdaya yang cukup. Dari semua hal itu, harapan kita mulia, semoga dengan segera kemiskinan tak lagi menghantui rumah-rumah saudara kita. Amin. (***)
