Oleh: Misroji, Penulis, Depok-Jawa Barat
KESAN itu yang saya rasakan, baik saat jelang datangnya pergantian tahun 2017 ke 2018, maupun pada detik-detik terakhir. Dan bukan hanya saya saja yang menangkap dan merasakan kesan itu, tapi juga beberapa rekan sejawat yang tinggal di Ibu Kota dan sekitarnya—sebagai barometer perayaan penyambutan tahun baru.
Benar kenyataannya. Sepekan, tepatnya saat kaum Kristiani merayakan Natal, 25 Desember, saya mengamati suasan di pusat-pusat belanja warga seperti pasar tradisional dan sekitarnya. Di sana tak seperti tahun-tahun silam dimana bunyi suara khas trumpet dari yang bernada soft hingga hard, terdengar di sana-sini.
Di lingkungan tempat kita tinggal yang biasanya suara trumpet sudah ‘berisik’ dibunyikan oleh anak-anak, kali ini nyaris tak terdengar. Anak-anak di rumah juga tumben tidak merengek-rengek minta dibelikan trumpet .
Beda sedikit dengan petasan dan kembang api yang pada pergantian tahun baru sekarang masih terdengar, meski tak seheboh seperti tahun-tahun silam. Fenomena apa ini?
Tak mudah mencari jawabannya. Namun, bila kita cermat dan rajin mengamati informasi dan berita media yang berkeliaran setiap saat, kita pun sebenarnya dapat sedikit ‘merangkai-rangkai’—untuk tidak mengatakan menganalisa—fenomena tersebut.
Atas informasi dan berita yang bertebaran dalam ruang dan waktu yang berbeda, maka setiap orang pun berhak untuk memberikan penilaian atas fenomena yang cukup berbeda dalam geliat masyarakat terhadap sambutan tahun baru.
Saya coba memberikan opini terhadap hal tersebut dengan mengajukan setidaknya dua reasoning. Pertama, dalam beberapa tahun terakhir, setidaknya 10 tahun, kita mendapati munculnya ‘tradisi’ baru yang coba dibangun atau dimunculkan atau dipelopori oleh kalangan aktivis Islam. Tradisi baru itu adalah cara penyambutan tahun baru Masehi dengan pendekatan spiritual-agama (spiritual-rejigious approach), mana mereka yang tersentuh dengan nilai-nilai Islam menyambut datangnya tahun baru tersebut dengan mendekati rumah Tuhan (masjid).
Mereka mengistilahkan acara penyambutan itu dengan “Muhasabah Akhir Tahun” atau istilah lainnya, yang inti peringatannya adalah untuk pendekatan diri pada sang Khalik. Meski sejatinya mereka beralibi bahwa acara itu bukan dimaksudkan sebagai penyambutan tahun baru, namun lebih kepada “cara lain” untuk tidak terlibat dalam penyambutan yang dilakukan oleh kebanyakan masyarakat umum, sebagaimana tradisi kuat yang berkembang di kalangan orang-orang Barat—dimana mereka menghabiskan malam tahun baru dengan gaya hedonis dan mengukurnya dengan materialis.
Tradisi baru yang dibangun oleh kalangan Islamis itu rupanya tetap terjaga setiap tahun dan kian meluas pengaruhnya. Ditambah lagi dengan munculnya kebangkitan Islam dengan gerakan Aksi Bela Islam yang juga fenomenal, itu kian memantik semangat umat Islam untuk kembali memiliki ruh Islam dalam setiap waktu dan momentum. Ajakan untuk tidak meramaikan tahun baru dengan hura-hura juga bermunculan lewat media sosial.
Sebaliknya, ajakan untuk berdoa dan berdzikir di masjid bertebaran di medsos.
Reasoning kedua adalah bertepatan dengan munculnya wabah virus diferi dalam beberapa pekan di pengujung tahun lalu. Tak main-main, sudah banyak korban yang terserang penyakit ini dan sejumlah orang, baik anak-anak maupun dewasa, berujung maut.
Nah, salah satu penyebaran yang harus diwaspadai adalah penularan melalui air liur ataupun ludah seseorang yang telah terjangkit difteri. Direktur Surveilans dan Kerantina Kesehatan Kemenkes RI, dr. Elizabeth Jane Soepardi, MPH, DSc., seperti dikutip oleh sejumlah media, mengimbau masyarakat untuk tidak tidak bergantian menggunakan trumpet pada perayaan tahun baru—selain juga tidak diperkenankan bergantian alat makan dengan orang yang diduga menderita difteri. Kemenkes menyarankan agar satu trumpet diperuntukkan hanya untuk satu orang, tidak untuk ditiup secara bergantian.
Pesan dari lembaga pemerintah yang kredibel itu tentu memberikan penekanan kewaspadaan masyarakat. Terlebih masyarakat yang kian melek media dan mengetahui bahwa penderita difteri umumnya memiliki gejala seperti flu tapi ternyata difteri dan dalam hitungan waktu dapat mengancam jiwa penderitanya.
Bisa jadi dua alasan di atas yang menyebabkan perayaan tahun baru sekarang cukup berbeda dengan tahun-tahun silam. Bisa jadi masalah ekonomi dan lainnya turut menyertainya. Tapi, tampaknya faktor demikian tidak terlalu kuat. Allahu a’lam. (*/Islampos.com)