Yang ‘Fasis’ Tumbuh, Yang ‘Demokratis’ Hilang

Oleh: TB. Brachman Ariawira Reksa

Sesudah perang dunia ke II, demokrasi secara formal menjadi dasar penyelenggaraan negara-negara di dunia. UNESCO pada tahun 1949 mengatakan bahwa untuk pertama kalinya dalam sejarah, demokrasi dinyatakan sebagai nama yang paling baik dan wajar untuk semua sistem organisasi politik dan sosial yang diperjuangkan oleh pendukung-pendukungnya.

Demokrasi mencegah tumbuhnya pemerintahan otoriter yang kejam dan licik. Demokrasi juga menjamin hak asasi bagi warga negara, yang tidak diberikan oleh sistem-sistem pemerintahan lainnya yang tidak demokratik. Kebebasan pribadi yang lebih luas bagi warga negara turut dijamin dalam sistem pemerintahan demokrasi. Warga negara diberi kesempatan sebesar-besarnya untuk menentukan nasibnya sendiri.

Di antara sistem pemerintahan yang ada di dunia, demokrasi adalah sistem pemerintahan yang memberikan legalitas bagi rakyatnya untuk menjadi konstituen. Terminologi demokrasi sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu demos (rakyat) dan cratos (kekuasaan/berkuasa). Secara khusus, Abraham Lincoln pernah mengungkapkan pengertian demokrasi sebagai “goverment of the people, by the people, and for the people”.

Demokrasi tidak lahir dengan sendirinya, demokrasi lahir sebagai bentuk pemikiran, perdebatan dan polemik panjang mengenai bagaimana pranata kehidupan dapat dilakukan dengan baik. Demokrasi terikat pada etika, moral, nilai-nilai sakral oleh karena itu, dalam menjalankan sistem pemerintahan yang demokratik, maka pemilu di anggap sebagai jalan utama untuk mencapai keberhasilan demokrasi. Miriam Budhiardjo mengatakan dalam bukunya, bahwa semakin tinggi tingkat partisipasi politik rakyat, maka tingkat demokrasi juga bertambah baik.

Hal ini juga berlaku untuk sebaliknya, semakin rendah tingkat partisipasi politik rakyat maka semakin buruk kondisi demokrasi di negara tersebut. Hal ini dapat kita simpulkan bahwa melalui pemilu, maka partisipasi masyarakat secara kolektif akan terlihat. Oleh karena itu, pemilu selalu menjadi tolak ukur keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis.
Dengan sedikit gambaran di atas kita dapat mengetahui bahwa sistem penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis melalui pemilu selalu memberikan penghormatan kepada suara mayoritas.

Akhir-akhir ini, dalam pelaksanaan pemilu di Indonesia isu tentang mayoritas dan minoritas menjadi begitu sensitif. Sebagai contoh sederhana adalah agama mayoritas di Indonesia adalah Islam. Hal ini kemudian dimanfaatkan oleh elit politik untuk dijadikan identitas politik dan dijadikan alat untuk “menendang” kelompok minoritas. Di dalam pemilu yang demokratis, siapapun dapat menjadi kontestan, tanpa memandang agama dan ras. Namun, pada praktiknya kaum-kaum minoritas selalu menjadi bulan-bulanan dalam pemilu.

Pemilu 2004 menjadi pemilu pertama di Indonesia yang di anggap paling demokratis, hal ini disebabkan dalam pemilu 2004, rakyat diberikan kesempatan untuk memilih secara langsung wakil-wakil rmereka yang akan duduk di parlementer. Bukan hanya itu, pada pemilu 2004 juga, untuk pertama kalinya rakyat Indonesia dapat memilih presidennya secara langsung.

Namun, tidak dapat dipungkiri, di balik semarak penyelenggaraan pemilu 2004 yang dianggap demokratis itu, justru tumbuh bibit-bibit permainan politik yang licik nan keji. Semakin demokratis suatu pemilihan umum, maka semakin membuka peluang besar bagi siapapun untuk mencalonkan diri. Semakin banyak kontestan politik yang ikut bertarung dalam pemilu, maka persaingan untuk mendapatkan suara rakyat semakin berat. Semakin demokratis suatu pemilihan umum, maka semakin terbuka identitas para kandidat. Semakin terbuka identitas para kandidat, maka semakin besar peluang antar kandidat untuk menyerang pribadi kandidat lain.

Inilah kenyataan yang harus kita sadari, bahwa demokrasi hari ini berjalan ke arah kekejian demi mendapat sebuah jabatan. Pemilu 2004 hanya pembuka bagi kekejian dan kelicikan penyelenggaraan politik yang dikabarkan demokratis. Di pemilu 2009, 2014 dan di pemilu 2019 kita dapat lihat secara bersama-sama, bahwa pemilu yang seharusnya menjadi jalan utama untuk mencapai penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis justru berubah menjadi arena pertempuran yang saling menjatuhkan dengan menyerang pribadi kontestan lain.

Kita dapat melihat bagaimana Wiranto menggunakan isu etnisitas dan agama sebagai isu kampanyenya di pemilu 2009. Atau bagaimana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) terkena kasus penistaan agama dan gugur dalam pilgub Jakarta. Atau masih hangat di ingatan kita mengenai pilpres 2019 yang mana agama menjadi isu paling sering muncul untuk menjatuhkan pribadi masing-masing capres dan bagaimana partai-partai seperti PSI mengangkat isu intoleransi dan perda syariah atau yang paling fenomenal adalah isu anti poligami sebagai jalan mengurangi korupsi.

Lalu sebutan apa yang paling pantas untuk menjuluki seluruh kekacauan yang terjadi di tengah penyelenggaraan demokrasi negeri ini? Apakah julukan FASISME-RELIGIUS tepat untuk menamai kondisi proses penyelenggaraan pemilu negeri ini?

Aksi saling menjatuhkan atas nama agama yang sering terjadi belakangan ini menyadarkan kita bahwa agama menjadi komoditas dari gerakan fasis itu sendiri untuk mendapatkan sebuah kursi kekuasaan.

Didukungnya kecanggihan teknologi hari ini yang melebur segala batas membuat masyarakat mudah mendapat informasi dan terprovokasi, akhirnya pemilu yang demokratis hanya menjadi angan. Agama menjadi komoditas fasisme karena belakangan ini melalui kecanggihan teknologi, pembahasan agama semakin sering menjadi topik di media sosial. Topik pembahasan agama ini mungkin dapat di indikasikan sebagai rindunya masyarakat terhadap kehidupan religius, namun hal ini justru di jadikan komoditas oleh para elit politik. Agama yang menjadi identitas secara eksklusif maka akan hilang nilai spritualnya dan kehilangan moranya sendiri, sehingga menjatuhkan pribadi orang lain dalam kontestasi politik seolah menjadi hal yang halal. Agama kemudian menjadi bahan perbandingan manusia yang satu dengan yang lain.

Mungkin ketika kita menghubungkan hal ini dengan eskatologi akhir zaman, maka sebenarnya kita dapat memahami bahwa hari ini, perjalanan politik manusia sedang berada di masa-masa menuju akhir zaman. Agama mulai kehilangan nilai agungnya dan menjadi komoditas untuk saling menghancurkan. Keadaan yang kita anggap sebagai kehidupan yang demokratis ini pada nyatanya hanyalah kehidupan yang dikekang oleh perilaku fasis.(***)

Penulis merupakan mahasiswa semester 1, Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP-UNTIRTA

 

Honda