FAKTA BANTEN – Belakangan media gempita merayakan penurunan angka kemiskinan terendah semenjak era reformasi karena menjadi di bawah dua digit. Pada Maret 2018, Badan Pusat Statistik mencatat angka kemiskinan berada pada 9,82 persen. Namun, kerap luput dari perhatian media adalah definisi “kemiskinan absolut” BPS tersebut serta kaburnya angka penduduk miskin yang sebenarnya.
Pendapatan Rp 401 ribu Itu Bukan Orang Miskin
Dapatkah Anda hidup dengan uang Rp 401 ribu sebulan? Jika dapat, Anda bukanlah orang miskin. Begitulah kira-kira yang disampaikan sebuah istilah statistik garis kemiskinan atau ambang batas kemiskinan. Ini merupakan sebuah angka yang sensitif. BPS mendefinisikan garis kemisinan, “dipergunakan sebagai suatu batas untuk mengelompokkan penduduk menjadi miskin atau tidak miskin. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan.” Dengan kata lain, garis kemiskinan yang rendah akan menghasilkan angka orang miskin sedikit. Namun, jika menaikan standar garis kemiskinan, angka kemiskinan akan melonjak.
Garis kemiskinan nasional pada maret 2018, yang menghasilkan angka kemiskinan 9 persen, adalah Rp 400.995 ribu. Artinya, pengeluaran Rp 401 ribu sudah cukup untuk meningkatkan status dari miskin menjadi nyaris miskin. Ada sedikit standar deviasi atua penyimpangan tergantung kebutuhan setempat. Untuk Jakarta, garis kemiskinan adalah Rp 593,108. Artinya, pendapatan Rp 594 ribu di provinsi dengan UMP Rp 3,6 juta cukup menjadikan Anda mentas dari garis kemiskinan. Ironisnya, Jakarta adalah provinsi yang menurut BPS memiliki angka kemiskinan terendah dengan 3,57 persen.
Bagaimana jika angkanya dinaikan? Jika menggunakan standar lower middle income poverty line dari Bank Dunia dengan angka USD 3,9 atau RP 56 ribu per hari. Maka, angka kemiskinan di Indonesia mencapai 30 persen pada 2016. Indonesia bahkan kalah dari Vietnam dan Samoa dengan torehan 11 dan 9 persen. Thailand bahkan hanya 1 persen penduduk berpendapatan di bawah itu.
Namun, kita semua tahu angka itupun tidak dapat untuk hidup di Jakarta sekalipun. Dengan UMP 3,6 juta, diperkirakan dibutuhkan Rp 116 ribu untuk sekedar hidup minimum dengan standar yang teramat rendah.
Berapa Banyak Penduduk Miskin Sebenarnya?
Lantas, berapa sebenarnya jumlah penduduk miskin di Indonesia? Pertanyaan ini akan sangat bergantung pada garis kemiskinan yang diterapkan untuk mengukur masyarakat. Ketika berkuasa, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama alias Ahok pernah ingin membuat standar baru yang lebih realistis. Terpidana penista agama itu mengusulkan angka UMP per kepala sebagai garis kemiskinan. Ini karena UMP merupakan standar minimum untuk satu orang saja. Jadi, jika Anda hidup berdua dengan pasangan, pemasukan rumah tangga Anda minimal adalah dua kali ump atau Rp 7,2 juta.
Angka itu diperkirakan akan menghasilkan jumlah orang miskin mencapai puluhan persen dan untuk mengurangi kekagetan itu, ia meminta penggunaan nama yang cukup halus, semacam garis kesejahteraan. Sayangnya, proyek yang ia perintahkan pada Badan Pusat Statistik Jakarta itu tenggelam dengan hiruk pikuk pilkada. Tidak terdengar lagi bagaimana juntrungnya dan jikapun diukur, berapa orang yang masuk kategori tersebut.
Jika, kembali, garis UMP yang menjadi acuan miskin, angka kemiskinan kemungkinan besar akan melonjak. Pada penelitian dengan kurun 2014-2015, Organisasi Perburuhan Dunia (ILO) memperkirakan ada 60 persen pekerja hidup di bawah UMP. Artinya, 60 persen pekerja akan dikatakan miskin jika menggunakan standar yang sempat diusulkan Ahok.
Angka itu jelas akan menjulang jika melibatkan faktor berapa orang yang bersandar pada pendapatan buruh yang mendapatkan upah di bawah minimum itu. Sebagai contoh, jika 30 persennya memiliki suami atau istri yang tidak bekerja, jumlah itu penduduk yang diperkirakan miskin akan melonjak dua kali lipat.
Tapi, angka tersebut jelas kita tidak tahu dengan alasan sederhana, butuh sumber daya luar biasa untuk meneliti 250 juta rakyat Indonesia. Selama ini, BPS meruapakan salah satu lembaga dengan sumber daya yang mampu untuk itu. Namun, sayangnya angka kemiskinan yang dikenakan berdasarkan garis yang sangat rendah.
Dengan garis kemiskinan seperti itu, pantaskan kita bangga dengan angka kemiskinan di bawah 10 persen? Apakah kita bisa mengatakan kemiskinan sebenarnya masih parah dan mewabah? Jelas kita tidak dapat karena data sesungguhnya entah disembunyikan atau tidak pernah diukur.
Namun, kita bisa mengasumsikan banyak warga Indonesia masih hidup di bawah kelayakan dengan 32 ribu bayi mesti wafat dan banyak karena tidak bisa mengakses kesehatan layak. Sementara, data Badan PBB untuk anak (UNICEF) tahun 2016 sebanyak 2,5 juta anak Indonesia tidak dapat menikmati pendidikan lanjutan atau SMA. Sebanyak 600 ribu anak hanya lulus sekolah dasar (SD) dan 1,9 juta anak usia Sekolah Menengah Pertama (SMP) tidak dapat mengakses SMA. Apakah mereka hanya di bawah 9 persen? (*/Buruh.co)