Anak Tukang Sampah di Cilegon Ini Lolos Kuliah ke China, Siap Terbang Pada 16 Maret 2025

 

CILEGON – Mimpi besar tak selalu lahir dari kenyamanan. Bagi Hery Yuanda, seorang pemuda berusia 23 tahun asal Kecamatan Citangkil, Kota Cilegon, Provinsi Banten, perjalanan menuju cita-cita justru ditempa oleh kerasnya hidup.

Lahir dari keluarga sederhana, dengan ayah kandung seorang tukang sampah, hidupnya penuh keterbatasan. Namun, keterbatasan itu tak pernah menjadi alasan baginya untuk menyerah.

Kini, perjuangan panjangnya mulai membuahkan hasil. Ia berhasil lolos kuliah ke China, sebuah pencapaian yang tak banyak diraih oleh anak-anak dari latar belakang seperti dirinya.

“Alhamdulillah, bisa lolos kuliah di China, Negeri Tirai Bambu. Negara yang memang saya impikan. Apalagi Negara China ini kan negara Adidaya nomor dua setelah Amerika Serikat, merupakan rival abadinya dalam menguasai pasar ekonomi dunia. Dan kalo di agama saya ada hadits yang bunyinya tuntutlah ilmu hingga ke Negeri China,” kata Hery Yuanda saat diwawancarai pada Rabu (12/3/2025).

Kalau semuanya berjalan lancar, pada Minggu, 16 Maret mendatang, ia akan terbang ke Negeri Tirai Bambu untuk menuntut ilmu.

Tapi di balik keberhasilan ini, ada kisah pilu yang jarang diketahui banyak orang.

Hery bukan hanya lahir dari keluarga kurang mampu, tetapi juga tumbuh dalam situasi keluarga yang tidak utuh.

Orang tuanya bercerai ketika ia masih kecil, pada saat Hery duduk dibangku sekolah dasar kelas 1, yang akhirnya membuat hidupnya semakin berat.

Setelah perceraian itu, keadaan ekonomi keluarga semakin sulit.

Ayahnya tetap bekerja sebagai buruh pabrik di Kota Cilegon, sedangkan Hery bersama Ibunya yang tengah mengandung adik perempuannya, pindah ke kampung, ke Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.

Ibu Hery tidak memiliki pekerjaan namun harus tetap membiayai hidup Hery dan adik perempuan nya.

Dengan kiriman uang dari bapaknya, yang nyaris tak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari di kampung, mau tak mau ibunya harus mencari pekerjaan, menafkahi keluarga sebagai status single mom.

Pernah, suatu ketika, ibunya menikah lagi dan pergi ke Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, dan sejak itu, Hery harus berjuang sendiri di kampung, saat dirinya masih mengenyam bangku sekolah menengah pertama (SMP) kelas 3.

Ia harus hidup sendiri di kampung selama satu tahun, sambil menunggu dirinya lulus dari bangku SMP.

Di usianya yang masih sangat muda, ia belajar bertahan sendiri, tanpa ada yang benar-benar mengurusnya.

Ia harus mencari makan sendiri, mengurus kebutuhannya sendiri, dan tetap bertahan di sekolah meski segala keterbatasan menghadangnya, dengan uang yang tidak seberapa yang dikirimkan bapaknya setiap bulan.

Meski hidup dalam kondisi sulit, Hery tak pernah menjadikan kemiskinan sebagai alasan untuk menyerah.

Sejak SD hingga SMA, ia selalu menjadi salah satu siswa terbaik di sekolahnya.

“Ya saat itu, pada saat kelas 3 SMP, saya pulang sekolah dan rumah kosong. Tidak ada makanan, tidak ada yang menyambut. Tapi saya tahu, kalau saya ingin hidup lebih baik, saya harus bertahan dan terus belajar. Makanya dari SD sampai SMA, saya tetap belajar dan mengejar prestasi di sekolah dan Alhamdulillah selalu peringkat pertama, dan itu yang menjadi hiburan saya disaat hati saya kosong ketika berada di rumah. Makanya saya lebih suka berada di sekolah, belajar, mengikuti kegiatan organisasi dan lain sebagainya,” cerita Hery dengan mata berkaca-kaca.

Di bangku SD, ia sudah menunjukkan kecerdasannya dengan selalu meraih juara kelas.

Guru-gurunya sering kagum dengan semangat belajarnya yang luar biasa, meskipun ia harus belajar dengan hanya ditemani seorang Ibu tanpa adanya kehadiran seorang Bapak.

Di SD hingga SMP, ia aktif mengikuti berbagai lomba non-akademik. Seperti pramuka dan tembang macopat.

“Di perpustakaan juga saya aktif, membaca buku pada saat istirahat, itu waktu saya SMP. Karena uang saku terbatas, bahkan gak ada, makanya saya harus prihatin dan menghemat. Dibanding istirahat saya pakai buat jajan, mending saya baca buku di perpustakaan,” ujar Hery.

“Pernah saya juga, karena ingin jajan seperti yang lain, saya jadi tukang beli makanan titipan punya teman-teman gitu. Jadi ongkos jalan atau ongkos kirimnya, saya pakai buat jajan, buat makan, buat beli es,” imbuhnya.

Prestasi Hery tak berhenti, saat SMA, Hery juga kerap membawa pulang piala dan piagam penghargaan. Dan ia, semakin dikenal sebagai siswa berbakat yang penuh semangat di sekolahnya.

Hery pernah menjuarai Kompetisi Sains Madrasah (KSM) Peringkat 2 untuk kategori Ekonomi Terintegrasi. Dirinya juga pernah meraih Juara 2 tingkat Provinsi Banten di bidang Olimpiade Sejarah.

Hingga pada saat lulus dari MAN, dirinya dinobatkan sebagai siswa terbaik dengan nilai tertinggi.

Namun, di balik semua prestasi itu, ia tetap harus menghadapi kenyataan pahit.

Ketika teman-temannya bisa fokus belajar dengan dukungan penuh dari keluarga, Hery justru harus membagi waktu antara belajar dan bekerja.

Ia pernah menjadi tulang punggung keluarga di usianya yang masih belasan tahun, mencari cara untuk membantu ayahnya yang semakin tua dan kelelahan yang tadinya bekerja sebagai buruh pabrik, karena Covid-19, akhirnya bekerja sebagai tukang sampah.

“Ya pernah lah, mondok, terus sambil jualan, terus jadi wartawan juga, buat membantu Bapak di Cilegon, sama membantu Ibu di Purwakarta, Jawa Barat, yang tinggal bersama adek-adek saya juga. Dan di satu sisi harus mengumpulkan uang juga untuk bisa kuliah ke luar negeri. Karena pastinya ada biaya untuk kursus bahasa mandarin, pembuatan paspor, visa, dan lain sebagainya,” jelas Hery.

Warga Kapudenok Julalen, Kelurahan Lebak Denok, Kecamatan Citangkil itu akhirnya berhasil lolos seleksi kuliah di China.

Tepatnya di jurusan Electronic Information Engginering and Technology, Guilin University of Electronic Technology (GUET) yang berada di Kota Guilin, Provinsi Guangxi, China

Sebuah pencapaian luar biasa bagi seorang anak dari latar belakang seperti dirinya.

“Ya ini butuh perjuangan, bahkan orang tua aja selalu bilang kalau saya ini nekad. Tapi saya tidak menyerah, saya buktikan kalau saya bisa,” tegasnya.

Namun, meski disana nantinya Hery mendapatkan uang saku, perjuangannya belum berakhir.

Ia masih membutuhkan biaya keberangkatan dan kebutuhan awal saat tiba di China.

Ayahnya yang bekerja sebagai tukang sampah dengan gaji Rp700 ribu, dibagi untuk bayar kontrakan rumah Rp500 ribu per bulan, dan biaya makan yang mau tidak mau harus cukup Rp200 ribu, tentu tidak mampu menanggung biaya ini.

Hery sudah berusaha mencari dana dengan berbagai cara, tetapi jumlah yang dibutuhkan masih cukup besar.

“Saya sudah sampai di titik ini, tiket sudah dipesankan tanggal 16 Maret 2025, dan saya tidak ingin berhenti hanya karena terkendala biaya lain yang memang harus saya bayarkan. Saya ingin berangkat, belajar dengan sungguh-sungguh, menuntut ilmu, dan suatu hari nanti kembali untuk membantu orang lain yang mengalami kesulitan seperti saya,” ucap Hery penuh harap.

Hery adalah bukti bahwa mimpi besar bisa lahir dari kondisi sesulit apa pun.

Ia telah menunjukkan bahwa keterbatasan ekonomi bukan penghalang untuk sukses.

Kini, ia hanya tinggal selangkah lagi untuk mencapai impiannya.

Bagi siapa pun yang ingin membantu, sekecil apa pun dukungan yang diberikan akan sangat berarti bagi masa depan Hery.

Ia tidak hanya ingin kuliah untuk dirinya sendiri, tetapi juga ingin kembali ke Indonesia dan berkontribusi bagi negeri ini.

“Tujuan saya kuliah, saya mau cari ilmu, cari relasi, buka akses, buka jaringan, untuk orang-orang Indonesia khususnya untuk warga Cilegon. China ini luar biasa mantap, mengapa tidak? dia adalah negara kedua yang mengatur pasar ekonomi dunia,” tutup Hery. ***

WP-Backgrounds Lite by InoPlugs Web Design and Juwelier Schönmann 1010 Wien