Bawaslu Cilegon: Pemberi dan Penerima Politik Uang Terancam Penjara 6 Tahun

CILEGON – Selain ketidaknetralan aparatur sipil negara (ASN), praktik money politics atau politik uang, menjadi atensi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kota Cilegon jelang tahap pencoblosan. Hal tersebut, sesuai dengan regulasi yang ada dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

“Betul itu sesuai pasal 187,” kata Ketua Bawaslu Kota Cilegon Siswandi, Selasa (27/10/2020).

Baginya, politik uang atau jual beli suara dengan uang, merupakan kejahatan dalam pemilu. Sehingga Bawaslu dan jajaran terkait akan memantau hal tersebut. Dimana, kemungkinan itu ada di H-3, sampai H-1 jelang tahap pencoblosan.

“Kemungkinan itu, berdasarkan pengalaman kami. Nanti di masa tenang kami akan intensifkan patroli dengan tim patroli anti money politics,” jelas Siswandi.

Siswandi berharap, meski ditengah kesulitan saat pandemi, dan potensi money politics terbuka, masyarakat diminta tak menerima uang tersebut. Jangan sampai dengan pemikiran ingin yang instan, pemilu menghasilkan pemimpin yang tidak ideal.

Kartini dprd serang

“Sehingga, nantinya hasil pemilu itu menghasilkan pemimpin yang tidak ideal, terutama dari segi kualitas. Cukup 5 menit di Kotak suara jangan mau suara kita dibayar,” tuturnya.

Disamping menghasilkan pemimpin yang tidak ideal, money politics memberikan dampak kecacatan terhadap demokrasi itu sendiri. Selain pemberi, dan penerima praktik money politics, Bawaslu juga menjelaskan aturan itu bisa menjerat Pasangan Calon (Paslon).

“Selain menjerat pemberi, dan penerima. Bahkan bisa berpotensi pembatalan calon,” pungkasnya.

Perlu diketahui, UU 10 Tahun 2016 pasal 187 A ayat 1 dan 2 Tentang Pilkada, ditegaskan pemberi maupun penerima ‘uang politik’ bisa dijerat pidana berupa hukuman penjara.

Pada Pasal 187A ayat (1), Undang-Undang tentang Pilkada diatur, setiap orang yang sengaja memberi uang atau materi sebagai imbalan untuk mempengaruhi pemilih maka orang tersebut dipidana penjara paling singkat 36 bulan, dan paling lama 72 bulan, plus denda paling sedikit Rp200 juta hingga maksimal Rp1 miliar.

Pada Pasal 187A ayat (2), diatur ketentuan pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum, menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (*/A.Laksono)

Polda