Menuntut Ketegasan Pemerintah dan Kepastian Konstitusional Putusan MK Tentang Sekolah Swasta Gratis

 

Oleh: Baehaki – Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pamulang

DALAM sistem negara hukum Indonesia, setiap lembaga negara memiliki batas kewenangan yang telah ditetapkan dalam konstitusi. Namun dalam praktiknya, tidak jarang terjadi dinamika penafsiran konstitusi yang memunculkan polemik yuridis maupun kebijakan.

Salah satunya terlihat dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pembiayaan pendidikan dasar di sekolah swasta.

Putusan ini membuka perdebatan baru mengenai pembagian kewenangan antara lembaga yudikatif, legislatif, dan eksekutif, serta konsekuensi anggaran negara dalam implementasi kebijakan pendidikan gratis yang inklusif.

MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi terhadap Pasal 34 ayat (2) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Dalam amar putusannya, MK menyatakan bahwa negara, baik pemerintah pusat maupun daerah, wajib menjamin pendidikan dasar tanpa memungut biaya, termasuk di sekolah swasta. Hal ini mengacu pada Pasal 31 ayat (2) UUD 1945.

“Putusan MK ini menegaskan bahwa pendidikan dasar wajib digratiskan tanpa memandang siapa penyelenggaranya, baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat,” kata Ketua MK Suhartoyo.

Namun, menurut Menteri Pendidikan, sekolah swasta masih dapat memungut biaya dalam kondisi tertentu. Di sinilah letak persoalan, ketika tafsir yudikatif dan kebijakan eksekutif tampak tidak sinkron.

Menurut Jimly Asshiddiqie (2006), salah satu prinsip penting dalam negara hukum adalah keseimbangan antar cabang kekuasaan negara (checks and balances), yang hanya dapat terwujud apabila masing-masing lembaga menjalankan kewenangan secara proporsional, tidak saling tumpang tindih, dan menghormati batas-batas konstitusional.

Sebagai mahasiswa hukum, saya memandang bahwa MK perlu lebih berhati-hati dalam membentuk norma interpretatif yang berimplikasi pada kebijakan teknis dan fiskal.

Dalam teori hukum tata negara, Mahkamah Konstitusi adalah negative legislator, bukan positive legislator (Kelsen, 1945). Artinya, MK bertugas membatalkan norma yang bertentangan dengan konstitusi, bukan membentuk norma baru.

Putusan ini bisa menimbulkan kerancuan. Kebijakan teknis pendidikan dan pembiayaannya adalah ranah pemerintah dan DPR, bukan Mahkamah Konstitusi.

Tanpa kejelasan pelaksanaan dari pemerintah, putusan ini bisa memicu ketidakpastian hukum bagi sekolah swasta, yang selama ini bergantung pada dana masyarakat untuk menjalankan operasional.

Data MK menunjukkan keterbatasan kapasitas sekolah negeri. Pada tahun ajaran 2023-2024, hanya 970.145 siswa SD yang tertampung di sekolah negeri, sementara 173.265 siswa lainnya ditampung oleh sekolah swasta.

Angka ini menunjukkan bahwa sekolah swasta berperan signifikan dalam pemenuhan hak atas pendidikan dasar.

Karenanya, seperti dikatakan Satjipto Rahardjo (2009), “hukum tidak boleh hanya berhenti pada rumusan normatif, melainkan harus menyentuh kenyataan sosial masyarakat.”

Dalam konteks ini, kebijakan pembiayaan pendidikan harus mempertimbangkan realitas bahwa sekolah swasta mengisi celah yang tidak mampu ditutupi negara.

Oleh karena itu, jika negara mewajibkan seluruh pendidikan dasar digratiskan, maka negara harus menyusun peta jalan anggaran yang inklusif dan dapat dijalankan dengan adil.

Jika negara memang mewajibkan semua jenjang pendidikan dasar gratis, maka harus ada kejelasan dalam alokasi anggaran, termasuk bagi sekolah swasta yang selama ini bertumpu pada iuran siswa.

Putusan MK mencerminkan kehendak konstitusional untuk mewujudkan keadilan sosial dalam akses pendidikan dasar.

Namun, tanpa kebijakan turunan yang jelas dari pemerintah dan tanpa koordinasi lintas sektor, putusan ini dapat menimbulkan kebingungan normatif dan administratif.

Sejalan dengan pendapat Hans Kelsen, kekuasaan kehakiman sebaiknya tetap berada dalam batas peran yudisial.

Sebaliknya, pemerintah dan DPR harus merespons putusan MK dengan menyesuaikan kerangka regulasi dan anggaran secara sistemik.

Sebagai mahasiswa hukum, saya berharap ada sinergi antara yudikatif, legislatif, dan eksekutif untuk mewujudkan sistem pendidikan nasional yang konstitusional, adil, dan berkelanjutan. ***

WP-Backgrounds Lite by InoPlugs Web Design and Juwelier Schönmann 1010 Wien